Film Ininnawa: An Island Calling memenangi Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2022 kategori film dokumenter panjang terbaik. (arfansabran.id)
Rabiah lahir di sebuah kampung di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, tahun 1957. Pada tahun 1978, dia memulai tugasnya sebagai perawat di Puskesmas Sapuka, Kecamatan Liukang Tangaya. Meski masuk wilayah administrasi Kabupaten Pangkep, Liukang Tangaya lebih dekat dengan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Liukang Tangaya terdiri dari delapan desa dan satu kelurahan. Desa Sabaru, yang terdekat dari ibukota kabupaten, jaraknya 243 kilometer. Kapoposan Bali jadi desa terjauh dengan jarak 594 kilometer. Sedangkan kelurahan Sapuka, ibu kota kecamatan, berjarak 302 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar 24 jam dari daratan.
Arfan sendiri mengenal Rabiah pada tahun 2004. Saat itu Arfan bersama tim Universitas Hasanuddin meneliti tentang penyakit lepra di Liukang Tangaya. Di saat yang sama, Rabiah, sebagai petugas kesehatan, berperan sebagai perawat puskesmas. Yang jadi perhatian Arfan, saat dia meneliti di 30 pulau, masyarakat setempat mengaku perawatan kesehatan mereka ditangani Rabiah. Itu artinya, pelayanan Rabiah menjangkau 30 pulau!
“Sejak itu ada ide bikin filmnya. Tahun 2006 dapat kesempatan ikut workshop Eagle Award Competition. Dan syukur kisah ibu Rabiah lewat dokumenter ‘Suster Apung’ menang waktu itu,” ucap Arfan.
Perjuangan Rabiah turut dituangkan Arfan lewat novel berjudul ‘Suster Apung’. Saat hadir pada diskusi buku itu di yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), 19 Desember 2019, Rabiah bercerita banyak tentang perjuangannya. Bagaimana dia mesti mengarungi lautan dari pulau ke pulau untuk merawat orang sakit karena fasilitas dan tenaga kesehatan terbatas.
Rabiah berkisah, waktu pertama bertugas di pulau, banyak orang masih percaya dukun ketimbang tenaga kesehatan. Pernah satu waktu, dia dijemput menuju sebuah pulau dengan sampan karena ada laporan orang sakit. Namun setelah menerjang gelombang, orang itu enggan ditangani perawat dan lebih memilih dijampi dukun.
Karena tenaga terbatas, Rabiah rela menjalankan peran sekaligus sebagai bidan dan dokter. Dan meski sudah pensiun sejak Juni 2013, dia tetap rela melayani jika ada orang yang butuh perawatan.
“Saya bukan bidan, tapi pekerjaannya bidan juga, dokter juga, saya ambil. Karena kenapa, kalau saya tidak berbuat, mungkin saja orang bisa meninggal. Saya mungkin bisa kena malpraktik karena sudah di luar kewenangan saja. Tapi orang di sana ikhlaskan, menyerahkan ke saya,” kata Rabiah.
Di masa-masa awal Rabiah bertugas, jumlah kapal motor di Liukang Tangaya baru sekitar dua atau tiga. Karena itu, tak jarang, dia mesti menyeberang pulau dengan perahu tanpa mesin. Selain menjangkau puluhan pulau, Rabiah juga harus bersedia menemani jika ada pasien dirujuk ke rumah sakit di ibu kota kabupaten. Perjalanan makan waktu sehari semalam dengan kapal.
“Banyak orang pulau sampai sekarang tidak tahu di mana itu Pangkep. Jadi saya kesulitan kalau merujuk orang. Makanya saya dampingi sampai kembali ke kampungnya orang itu baru saya lepas,” Rabiah melanjutkan.
Film “Ininnawa” hendak mengeksplorasi lika-liku pelayanan kesehatan di kepulauan lewat kisah Rabiah dan anaknya, Mimi, yang mengabdikan hidup mereka untuk masyarakat. Saat Rabiah bersiap pensiun, dia bersiap mengalihkan tanggung jawab tunggal untuk penduduk pulau kepada putrinya.
Di Indonesia, 270 juta orang tersebar di lebih dari 17 ribu ribu pulau. Mengelola sistem perawatan kesehatan merupakan sebuah mimpi buruk. Kecamatan Liukang Tangaya, yang jadi background film “Ininnawa”, menurut data sensus tahun 2020, berpenduduk 19.349 orang. Dikutip dari laman Pemerintah Kabupaten Pangkep, pada tahun yang sama di kecamatan itu terdapat dua puskesmas dengan 24 perawat, 11 bidan, lima tenaga farmasi, lima tenaga gizi, serta sembilan dokter.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin pernah menyinggung bahwa Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan kemandirian di bidang kesehatan. Seperti terbatasnya sumber daya manusia, bahan obat-obatan, dan alat kesehatan. Mengutip Laporan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, Wapres menyebut bahwa 19,7 persen puskesmas masih kekurangan dokter, dan 65,6 persen puskesmas belum punya tenaga preventif dan promotif yang lengkap.
“Kita masih menghadapi masalah sebaran tenaga kesehatan khususnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T),” kata Wapres saat menyampaikan pidato kunci pada webinar “Ketahanan dan Kemandirian Kesehatan Menuju Indonesia Emas 2045”, 25 Maret 2021 lalu.