Melambat untuk Mekar: Setumpuk Cerita dari Pameran Bakkā

Makassar, IDN Times - Melambat menjadi satu-satunya opsi untuk kembali menikmati hidup di masa serba tergesa-gesa. Itu yang disajikan saat mengunjungi pameran bertajuk Bakkā yang dihelat oleh Makassar Biennale dan Tanahindie pada 20-23 Agustus 2024.
Berlangsung di The Wall by Prolog Ecosystem, pameran tersebut ibarat lorong waktu yang mengajak para pengunjungnya untuk berhenti sejenak dan melihat keadaan sekitar. Dalam wawancara dengan IDN Times, Direktur Makassar Biennale yakni Anwar "Jimpe" Rachman menjelaskan bahwa Bakkā memang dirancang untuk mendorong para peserta merasakan dan memahami seni dengan cara yang lebih mendalam.
"Program ini sebenarnya adalah inkubasi untuk membantu teman-teman muda agar lebih berani berkarya," ungkap Jimpe saat ditemui IDN Times selepas acara 25 Tahun Tanahindie yang berlangsung di Kampung Buku, 5 November 2024 silam.
"Melalui pameran ini, mereka belajar tidak hanya menciptakan karya seni tetapi juga bagaimana melakukan penelitian sebagai landasan kreatif," jelasnya.
1. Direktur Makassar Biennale, Anwar "Jimpe" Rachman, memberlakukan satu aturan unik untuk para peserta pameran

Bakkā sendiri diambil dari kosa kata Bugis yang berarti "baru mekar, tumbuh, dan berkembang." Filosofi ini menjadi landasan program, dan diharapkan lokakarya menjadi ruang kolaborasi bagi para peserta muda dari berbagai wilayah dan latar belakang kerja.
Para pesertanya berasal dari tujuh wilayah berbeda. Yakni Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Jayapura, serta Lembata. Salah satu elemen uniknya Bakkā adalah pendekatan "melambatkan yang cepat." Para peserta dari luar Sulawesi diwajibkan menggunakan kapal sebagai moda transportasi menuju Makassar, sedangkan dari Sulawesi Selatan menempuh perjalanan darat.
"Kami ingin mereka punya waktu untuk benar-benar meresapi perjalanan," jelas Jimpe. "Perjalanan dengan kapal memungkinkan peserta memproses pengalaman jiwa dan raga secara bersamaan, sesuatu yang sulit dicapai dengan transportasi cepat seperti pesawat," imbuhnya.
Sosok yang juga dikenal sebagai peneliti tersebut mengaku terkenang kutipan Isabel Allende, seorang penulis kebangsaan Chili yang kini mukim di Amerika Serikat dalam sebuah novelnya :
Bepergian dengan jet tidak baik karena jiwa berjalan lebih pelan daripada raga.
Ini menekankan ketidakseimbangan kecepatan fisik dan kecepatan mental atau emosional di dunia modern. Seseorang dari Makassar memang hanya menempuh waktu satu setengah jam untuk tiba di Jakarta. Tapi, apakah dia siap dengan gegar budaya yang akan menyambutnya?
Hal berbeda justru dialami oleh para penempuh perjalanan laut. Sekitar dua hari, geladak kapal menjadi tempat mengumpulkan informasi berharga tentang kota tujuan. Seseorang akhirnya memiliki gambaran sebelum menginjakkan kaki di dermaga. Melambat pun membuat manusia lebih menghargai koneksi antarpersonal dan sekitarnya.
2. Sebanyak 20 peserta menjalani sesi-sesi lokakarya "santai-tapi-serius" selama dua pekan untuk pendahuluan

Dengan syarat tidak boleh naik pesawat, masa residensi peserta dianggap sudah dimulai saat menuju Makassar. Inspirasi banyak peserta muncul dari perjalanan mereka. Beberapa peserta bahkan mengaku mendapat ide untuk karya dari pengalaman mereka selama berada di kapal. Entah dari hasil interaksi dengan orang-orang di sekitar, atau perenungan di atas moda transportasi yang mereka tumpangi.
"Ada yang cerita, dia lihat orang tua jogging keliling geladak kapal. Itu menarik karena pengalaman kecil seperti itu bisa menjadi karya besar," kata Jimpe.
Lokakarya yang merupakan pra-event Makassar Biennale 2025 ini diselenggarakan di tiga lokasi berbeda yakni Makassar, Malino (Gowa), dan Pucak Tompobulu (Maros). Selama dua minggu yakni 5 hingga 23 Agustus 2024, para peserta mengikuti berbagai sesi diskusi, eksplorasi, dan refleksi bersama. Jimpe menceritakan bahwa mereka merasa waktu yang dilalui terasa sangat singkat, meski sebenarnya cukup panjang.
"Mereka (peserta) bilang santai sekali kelasnya, tapi bebannya jatuh ke mereka," tuturnya. "Proses ini membebaskan peserta untuk menentukan ide dan pendekatan mereka sendiri, tanpa modul atau panduan yang kaku," tambah Jimpe.
Sesi-sesi lokakarya "santai-tapi-serius" Bakkā diisi oleh pendamping dari tim Makassar Biennale lima kota, bersama fasilitator tamu. Kegiatannya pun beragam, mulai dari kelas dalam ruangan hingga aktivitas luar ruangan seperti berkemah, mengunjungi studio seniman, serta berdiskusi langsung dengan praktisi seni dan budaya.
Hal menarik lainnya adalah bagaimana tradisi solidaritas terbentuk di antara para peserta. Jimpe mengisahkan, "Saat teman-teman dari Pangkep pulang, mereka dibawakan kue oleh peserta lainnya. Ini menunjukkan adanya solidaritas dan hubungan emosional yang kuat."
3. Seluruh karya yang dipamerkan mengajak para pengunjung untuk "melambat" sebab terasa sangat personal

Alhasil, sebagai buah dari program "kelas tanpa mesin jet" itu (istilah dari Jimpe sendiri), lahir beberapa karya yang mengajak orang-orang melambat. Salah satunya adalah karya dari FX Yogi berjudul Lautan Waktu yang terinspirasi perjalanannya dari Pelabuhan Sorong. Formatnya mengingatkan pada infografis yang berada di setiap sisi pelabuhan. Tapi, isinya berisi penjelasan bahwa ada tiga "zona waktu" di kapal dan terbagi berdasarkan lantai geladak.
Syamsurya, peserta dari Pangkep, mengajak pengunjung mendengar suasana Gua Karst Sumpang Bitta. dalam karyanya yang berjudul B-Art Karst. Dilengkapi dengan beberapa foto jepretannya, rekaman audio berdurasi 1 menit 21 detik tersebut menjadi caranya untuk kembali melambat untuk terhubung dengan alam. Ini didapat melalui suara air mengalir hingga kicau burung, yang dikombinasikan dengan ketukan beatbox dari mulutnya.
Kesan lebih personal didapat dalam karya Alief, peserta asal Parepare, yang berjudul Memori Ibu. Alih-alih melambatkan waktu, ia justru menghentikan waktu untuk mengenang kembali mendiang ibu dengan dua medium : ayunan tidur yang dilengkapi tiga buah per, serta laci sederhana tempat ia meletakkan dua foto lama sosok yang melahirkannya tatkala masih berusia muda.
Kenangan masa kecil dekade 2000-an diangkat oleh Ilham Uwo Darwis, peserta asal Makassar, melalui karya Beru Bakkā. Suasana hari Minggu nan santai jika melihat karya yang berada di pojok ruangan ini : televisi tabung lawas, kipas angin berdiri, dua buah mainan mobil rakitan merek Tamiya, satu unit PlayStation 2 bersama sepasang stik kontrol, setumpuk kartu permainan Yu Gi-oh!, serta beberapa VCD film Hollywood. Tak lupa, daftar cheat code dari permainan Grand Theft Auto. Bagi pengunjung yang akrab dengan hal-hal tersebut saat masih anak-anak hingga remaja, (termasuk penulis), waktu turut melambat lantaran nostalgia dadakan.
Secara umum, 20 karya yang dipamerkan di Bakkā juga mengangkat topik lain. Mulai dari isu sosial, budaya hingga hasil alam. Dan semuanya berhubungan erat dengan kehidupan sehari-hari seluruh seniman peserta lokakarya.
4. Bertindak sebagai bentuk awal sebelum para pemilik karya mengembangkannya agar lebih matang di masa depan

Proses penciptaan karya dalam Bakkā dimulai dari konsep dasar hingga bentuk awal atau draft. Meski begitu, Jimpe menegaskan bahwa karya yang dipamerkan bukanlah produk akhir, melainkan pijakan untuk pengembangan lebih lanjut. Terlebih pameran ini disebut sebagai semacam pengantar menuju Makassar Biennale 2025.
"Karya-karya ini adalah awal untuk teman-teman mengembangkannya di masa depan, mungkin saat mereka berpameran di kota asal masing-masing," ujarnya.
Proses kreatif di Bakkā juga melibatkan banyak refleksi pribadi, membuat para seniman lebih sering bertanya tentang diri sendiri. Dalam salah satu sesi, Jimpe meminta peserta membawa lima benda yang bisa mewakili diri mereka.
"Meskipun tidak semua berhasil, setelah workshop mereka mulai memahami esensi dari proses ini," ungkapnya. Proses ini membantu peserta keluar dari metode pembelajaran formal yang kerap menaruh kreativitas pada kerangkeng.
Selain itu, Bakkā juga memberikan kesempatan bagi peserta untuk menemukan peran mereka masing-masing di dunia seni. Para peserta residensi ada yang kemudian memutuskan menjadi seniman, peneliti, atau bahkan manajer seni.
"Ada beberapa yang merasa lebih cocok bekerja di belakang layar sebagai fasilitator atau manajer," kata Jimpe. Salah satu contohnya yakni para seniman residensi Parepare yang sekarang aktif di komunitas Rumah Saraung. Ini menunjukkan bahwa lokakarya selama dua pekan ini tidak hanya tentang seni, tapi juga membangun kapasitas individu dalam berbagai peran.
5. Seluruh karya lahir dari proses unlearning, mengganti cara kaku yang kerap membatasi kreativitas

Keunikan pendekatan tanpa modul yang diterapkan di Bakkā ternyata membuahkan hasil. Jimpe menjelaskan bahwa ia lebih memilih metode unlearning untuk menggantikan cara pembelajaran formal nan kaku.
"Kami ingin metode yang berbeda, yang membuat peserta benar-benar berpikir dan merasakan," katanya. "Hasilnya, peserta tidak hanya belajar dari materi tetapi juga dari interaksi dengan orang lain," sambung Jimpe.
Jimpe memang menyoroti pentingnya interaksi dalam proses ini. Salah satu momen menarik ketika fasilitator asal Malaysia bergabung, para seniman residensi awalnya merasa canggung selama beberapa saat. "Tapi ini menunjukkan bahwa adaptasi adalah bagian dari proses," ujar Jimpe.
Dalam waktu singkat, peserta berinteraksi dengan mereka, membuat mereka lebih fleksibel dalam situasi baru. Sebagai penutup, Jimpe menegaskan bahwa Bakkā lebih dari sekadar memamerkan karya seni.
"Program ini kami harapkan pula menjadi ruang praktik menghargai dan membudidayakan praktik-praktik warga di sekitar asal peserta. Pengalaman dan lanskap setiap wilayah berbeda dan tidak dapat diseragamkan. Ruang-ruang semacam ini senantiasa harus dibangun untuk belajar keragaman dalam bentuk apapun," tukas Jimpe.
Bakkā jelas menjadi pengantar yang menjanjikan untuk Makassar Biennale 2025 yang mengangkat tema abadi Maritim. Tapi, seperti apa versi "final" dari karya-karya ini? Patut ditunggu.