Makassar, IDN Times - "Sebelum banjir itu, kami sudah 20 tahun di rumah lama. Pas kalau sudah naik banjir rob, kami mengangkut barang-barang yang tidak bisa kena air."
Pengalaman pahit itu dirasakan Rahmi (17), seorang anak yang tinggal di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dari kejadian itu, ia pun berinisiatif bergerak untuk menjaga kelestarian lingkungan, utamanya di daerah pesisir pantai Donggala. Caranya, antara lain dengan gerakan bersih pantai dan menanam pohon bakau untuk mencegah abrasi pantai semakin parah.
Dikutip dari rilis Save the Children, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, sebaran abrasi pantai di Sulawesi Tengah sebanyak 34 titik, angka ini merupakan terbanyak ketiga di Pulau Sulawesi setelah Sulawesi Selatan (57 titik) dan Sulawesi Tenggara (74 titik). Abrasi pantai berdampak pada penyusutan garis pantai sehingga daratan utama semakin berkurang, berkurangnya sumber daya ikan dan plasma nutfah, serta merusak hutan bakau di sepanjang pesisir pantai sehingga memperbesar risiko bencana.
*
Rahmi merupakan seorang penyintas banjir rob sekaligus gempa dan tsunami, yang akhirnya harus meninggalkan rumah tempat kelahiran karena sudah tidak memungkinkan lagi untuk ditinggali. Banjir rob yang kerap melanda daerah rumahnya di Desa Labean, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala, adalah bukti nyata dampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim.
Menurut Rahmi, dampak banjir rob di Donggala semakin parah usai bencana gempa bumi dan tsunami pada September 2018 lalu. "Setelah bencana kami pindah ke tenda. Di tenda tinggal setahun, kalau hujan banjir, terus dapat bantuan hunian sementara dari pemerintah. Pindah ke huntara di pinggir jalan," kata Rahmi saat berbincang dengan IDN Times didampingi Save the Children Indonesia, Selasa, 31 Mei 2022.