Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi 

Pantang patah arah, meski tuai banyak cibiran  

Makassar, IDN Times - Geby tak pernah sekalipun menyangka, masih bisa mendapatkan ruang aman di lingkungan kampusnya. Dia adalah seorang transpuan yang sementara berkuliah di salah satu universitas swasta di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. “Saya menganggap kampus jadi salah satu tempat yang nyaman bagi saya,” katanya mengawali perbincangan dengan jurnalis, Kamis, 27 Oktober 2022.

Sebelum memutuskan untuk berkuliah pada awal 2019 lalu, dia sangat khawatir. Geby cemas kalau ekspresi gendernya nanti akan dipersoalkan pihak kampus. Dia kemudian mencoba mendaftar di dua kampus swasta lain sebelum kuliah di tempat yang sekarang. Pengumuman pun keluar setelah menunggu beberapa hari. Namun, Gaby tak lulus.

Dia menduga, pihak kampus mempersoalkan ekspresi gendernya saat melengkapi semua prosedur administrasi pendaftaran. Namun alasan itu tak disampaikan secara langsung mengingat dia saat itu masih berstatus sebagai calon mahasiswa. “Mungkin karena dia (kampus sebelumnya) lihat fotoku laki-laki, tapi kenapa ekspresi gendernya beda,” ujar Geby.

Geby putus asa karena niatnya untuk menempuh pendidikan lanjutan di bangku kuliah begitu menggebu. Setelah mendaftar, dia akhirnya lulus dan menyandang predikat salah satu calon mahasiswa dengan nilai tertinggi di Fakultas Farmasi. “Padahal saya awalnya ragu tapi itu hari nilaiku (tes masuk) 4000 lebih, tapi saya di telepon (pihak kampus) bilang lengkapi berkasnya,” tutur Geby.

Berselang beberapa hari, dia datang kembali ke kampusnya. Pihak kampus kemudian menyampaikan bahwa Geby berhak mendapat beasiswa kuliah. Perasaan senang dan bahagia menghampirinya saat itu. Namun, di masa awal masuk kampus, dia mendapatkan perlakuan diskriminasi. “Waktu pas ospek itu ada kakak senior yang alumni tanyakan, kau laki atau perempuan,” kenang Geby.

Karena geram, dia menyampaikan kepada seniornya untuk tidak lagi mengumbar pertanyaan yang konyol. Geby melontarkan amarahnya di depan seluruh mahasiswa baru di momentum ospek. Semua mata tertuju padanya saat itu. “Saya bilang kalau biar kita (kau) suruhkan jungkir balik segala macam saya mau, asal jangan bertanya yang tidak pantas begitu,” ucap Geby. 

Seiring waktu, momen itu pun berlalu. Baginya, itu adalah kenangan yang memuakkan. Di kampus, Geby menjalani aktivitas selaiknya mahasiswa pada umumnya. “Aktivitas belajar, berkuliah seperti biasa. Teman-teman sama senior-senior juga saya rasa menerima saya meskipun dia lihat ekspresi gender saya berbeda. Mereka tidak permasalahkan,” ungkapnya bangga.

Selain menjadi ketua tingkat di kelasnya, Geby juga aktif menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan. Dia menjabat sebagai koordinator komisi A, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). “Komisi Saya itu yang mengurusi kegiatan-kegiatan internal dan eksternal kampus. Kalau ada kegiatannya mahasiswa misalnya melapor dulu ke kita nanti disetujui baru jalan,” terang Geby.

Geby, menjadi orang yang kuat seperti sekarang ini, tak terlepas dari peran keluarganya. Baginya, keluarga adalah support system atau lingkaran yang paling penting membentuk mentalnya. “Jelas itu yang paling berperan dalam hidup saya. Terutama nenek saya ya. Dia dari kecil paling mengerti dan memahami kondisi saya,” ujar Geby.

Geby kecil tinggal bersama nenek dan kakeknya. Itu setelah ibu kandungnya menikah lagi dan merantau ke Malaysia. Dia berpisah dari empat saudaranya yang ikut bersama ayahnya. Naumi Tangnga adalah sosok nenek sekaligus orang tua yang paling penting dalam hidup Geby. Di tengah kekerasan psikis yang kerap dialami Geby sejak kecil, nenek Naumi selalu hadir untuk membela. 

“Paling tetangga biasa bilang kenapa cucumu seperti itu, kayak perempuan, main-main sama perempuan. Nah nenek saya ini selalu cuek dia. Bahkan sempat dia bilang saya ingat itu, memang kenapa kalau dia main sama perempuan. Nenekku juga itu lebih cenderung ke saya, kadang saya dibelikan boneka segala macam,” tutur Geby.

Di masa remaja, memasuki jenjang pendidikan SMP ke SMA, Geby juga sudah menyadari bakatnya yang begitu tertarik dalam kegiatan kesenian. Seperti Dance dan pemandu sorak atau cheerleader. Dia bahkan beberapa kali nekat bolos sekolah hanya untuk mengaktualisasikan diri. Di sisi lain bakat itu juga yang membuatnya ketinggalan mata pelajaran di sekolah dan mengikuti ujian susulan. “Sampai saya ikut paket C,” ucap Geby tertawa.

Gaby juga telah melewati masa-masa kurang menyenangkan di lingkungan pendidikan di masa SMA. Dia kerap dirisak oleh rekan-rekannya di sekolah karena ekspresi gendernya yang berbeda. Tapi, dia acuh dan tak ingin membuang energi dengan perlakuan yang hampir tiap hari terngiang di telinganya. “Tapi saya cuek, tidak ambil pusing. Saya pikir nanti capek sendiri itu mereka (yang merisak),” kata Geby.

Di mata rekan-rekannya di kampus, Geby adalah sosok yang periang. Dia juga sangat disenangi karena sikapnya yang santun. Mereka mengaku tak sama sekali mempermasalahkan ekspresi gender Geby. “Apalagi dalam dunia pendidikan semua orang berhak mendapat pendidikan yang setara meskipun ada perbedaan. Bagi saya tidak ada masalah,” kata Nadila, teman kelas Geby.

Rekan Geby lainnya, Wulan mengaku tak pernah merasa risi bergaul dengan seseorang yang punya ekspresi gender berbeda. Selama nyaman, dia akan tetap saling merangkul dan menjaga.  “Memperlakukan transpuan sama seperti memperlakukan teman-teman yang lain misalnya sama-sama bersikap sopan, jujur dan saling mengerti,” ungkap Wulan.

Tak hanya rekan sejawat, Geby juga dikenal sebagai perangai yang baik, pintar dan sangat menyenangkan oleh kakak tingkatnya di kampus. Mereka tak pernah mempersoalkan ekspresi gender. “Kalau untuk saya, orangnya baik, pintar dan pandai berkomunikasi dan tingkah lakunya baik kepada masyarakat apa yang harus kita permasalahkan,” kata senior sefakultas Geby, Haswanti. 

Di lingkungan keluarga, khususnya bagi anak-anak, Geby diibaratkan sebagai dewi penolong. Apalagi ketika mereka terdesak untuk menyelesaikan tugas dari sekolah. Sepupu hingga sahabat juga menganggap Geby seperti malaikat penyelamat. Maria, kakak angkat Geby menuturkan pernah ditolong dalam keadaan terdesak. 

Saat itu, Maria tengah membutuhkan uang untuk membawa saudaranya berobat karena sakit dan harus segera dipulangkan ke kampung halaman di Flores, Nusa Tenggara Timur dari Makassar. “Itu hari langsung dia (Geby) telepon saya baru dia kasih saya uang Rp1 juta terus dia bilang cepat bawa itu saudaraku supaya bisa diobati di kampung, karena parah. Mau diobati di sini saya tidak punya juga uang,” kata Maria. 

Komang, sepupu Geby juga merasakan hal serupa. Bagi Komang, Geby adalah sosok yang cukup bijak dan sering memberi masukan saat mendapat masalah. “Makanya dia kalau misalnya ada dia lihat anak-anak tidak baik, sering dia nasihati begitu. Sampai saya juga kadang-kadang dia nasihati, itu yang saya senang karena sering menasihati kita-kita ini jadi saling mengingatkan,” ujar Komang. 

Geby juga berpesan kepada sesama kelompok rentan supaya tidak cepat patah arah dalam melakukan sesuatu. “Selama kegiatan yang dilakukan itu bermanfaat untuk orang banyak dan tidak merugikan orang lain jalani saja. Tidak usah dengarkan apa yang orang lain katakan. Teruslah menebarkan kebaikan tanpa henti-hentinya,” imbuh Geby menyudahi perbincangan.

****

Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Geby saat duduk di rumhanya/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Di rumahnya, Geby memelihara kucing dan anjing untuk menemani hari-harinya saat tidak berkuliah/Iqbal lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Di rumahnya, Geby memelihara kucing dan anjing untuk menemani hari-harinya saat tidak berkuliah/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Geby mengikuti perkuliahan online di rumahnya/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Geby bersama kemenakan dan sepupunya sering membuat acara masak-masak di waktu senggang/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Geby berfoto bersama kemenakan di rumahnya. Bagi mereka, tantenya adalah sosok yang baik dan sering membantu tugas-tugas sekolahnya/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Geby berfoto bersama kemenakannya di rumah. Bagi mereka, tantenya adalah sosok yang baik dan sering membantu tugas-tugas sekolahnya/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Suasana kebersamaan saat Geby berkumpul dan makan bersama dengan keluarga kecilnya/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Geby mengikuti workshop penguatan kapasitas yang diadakan oleh Kabar Sejuk di Makassar/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Geby mengikuti workshop penguatan kapasitas yang diadakan oleh Kabar Sejuk di Makassar/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Salah satu catatan keresahan Geby dan minoritas transpuan saat mengikuti workshop penguatan kapasitas yang diadakan oleh Kabar Sejuk di Makassar/Iqbal Lubis
Perjuangan Transpuan Melawan Stigma dengan Prestasi Salah satu catatan keresahan Geby dan minoritas transpuan saat mengikuti workshop penguatan kapasitas yang diadakan oleh Kabar Sejuk di Makassar/Iqbal Lubis
iqbal video Photo Community Writer iqbal video

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya