Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu Cinta

Kisah tentang indahnya kerukunan umat beragama di Indonesia

Makassar, IDN Times -

"Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu." 


Pemikiran Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu niscaya akan abadi. Sebagai pengingat agar identitas keagamaan maupun keyakinan setiap individu, jangan menjadi alasan seseorang menolak salah satu fitrah manusia: Berbuat kebaikan.

*

Kabar menyejukkan datang pada Senin, 20 Desember 2021. Hasil riset Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menunjukkan indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tahun ini menaik 4,93 poin dari tahun sebelumnya, ke angka rata-rata nasional 72,39. Angka itu, berdasar kategorisasi Kemenag, dinilai baik.

Tenaga Ahli Menteri Agama, Mahmud Syaltout mengatakan, indeks KUB berguna sebagai dasar untuk memetakan, memprediksi, dan mendeteksi potensi konflik atas dasar perbedaan agama. “Karena indeks KUB dibangun dari beberapa variabel yaitu toleransi, kerja sama, dan kesetaraan,” kata Mahmud.

Ya, menumbuhkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia, tidak boleh hanya berhenti pada sikap toleran terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Karena toleransi hanya sebagai syarat awal agar kita bisa saling menerima dan menghargai perbedaan. Aspek selanjutnya yang harus dipenuhi ialah kesetaraan, sebagai cerminan tindakan untuk saling peduli dan melindungi, serta memberi kesempatan yang sama dengan tidak mengedepankan superioritas kelompok mayoritas. Jika kedua aspek sebelumnya bisa terpenuhi, maka kerukunan antaragama akan menciptakan dimensi kerja sama dengan semangat empati dan simpati kepada setiap manusia Indonesia tanpa diskriminasi.

Peristiwa intoleransi berlatar belakang keagamaan memang masih kerap meletup di berbagai daerah di Tanah Air. Namun, membaca kisah-kisah indahnya toleransi, kesetaraan, dan kerja sama dari anak-anak muda di Indonesia yang berbeda agama, membawa pesan mendalam: Indonesia tanpa diskriminasi agama bukan utopia belaka.

Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu CintaInfografis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Indonesia tahun 2021/Kemenag RI

Gen Z Indonesia lebih terbuka menerima perbedaan agama

Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu CintaIlustrasi millennial dan Gen Z/Dok. IDN Times

Pada tahun 2019 lalu, Andi Ahmad Yani, peneliti Center for Peace, Conflict & Democracy (CPCD) Universitas Hasanuddin Makassar, meneliti sikap toleransi Generasi Z (GenZ) atau yang disebut juga sebagai Centennials. Hasil penelitian tersebut menunjukkan 62 persen atau mayoritas dari 1.854 responden sangat toleran terhadap topik terkait agama yang berbeda dengan keyakinannya di media sosial.

"Dari riset kami itu, membuktikan bahwa mereka toleran. Mereka sama sekali tidak mempersoalkan tentang agama atau etnis ketika mereka mencari teman, baik di dunia nyata maupun di dunia digital," kata Yani saat diwawancarai IDN Times via telepon, Minggu (26/12/2021).

Riset tersebut, kata Yani, dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil riset dari SETARA Institute pada 2018 yang menyebutkan 10 kota intoleran. Kota itu adalah Jakarta, Sabang, Banda Aceh, Medan, Tanjung Balai, Padang, Cilegon, Depok, Bogor, dan Makassar sebagai 10 kota dengan skor toleransi terendah. 

Timnya pun mengunjungi kota tersebut dan meneliti kembali persoalan toleransi dengan pendekatan berbeda. Yani dan tim fokus ke anak muda generasi Centennials atau anak muda berusia 17-21 tahun. 

Sebanyak 1.854 responden dari kota-kota yang disebutkan SETARA mengisi kuesioner online. Yani dan tim mencoba mengkonfirmasi bagaimana anak-anak muda ini melihat tentang perbedaan agama, suku, etnis, dan beberapa isu lain seperti LGBT dan sebagainya.

"Kami konfirmasi bahwa anak Centennials di 20 kota itu mereka merasa tidak begitu mempersoalkan perbedaan agama, maupun persoalan etnis suku dalam aktivitas mereka baik digital maupun real life," kata Yani.

Survei tersebut disebar di sekolah negeri, sekolah swasta, sekolah agama seperti madrasah aliyah, sekolah Islam, sekolah Kristen yang umumnya di daerah urban yang menjadi fokus studi SETARA Institute. 

"Kita ingin memastikan bahwa responden kita memiliki latar yang variatif," katanya.

Yani mengatakan penelitian ini melibatkan responden yang bisa mewakili semua kelompok agama. Hal ini juga sekaligus memperlihatkan bahwa sebenarnya anak muda Centennials termasuk kosmopolitan.

"Mungkin karena di dalam sosial media aktivitas mereka lebih banyak di dunia digital. Minimal tiga jam per hari. Itu memiliki perspektif yang lebih terbuka dengan berbagai isu perbedaan yang mereka lihat mungkin dibandingkan seniornya (generasi sebelumnya)," kata Yani.

Agama bukan penghalang anak muda Indonesia membangun relasi sosial

Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu CintaSyamsi Nur Fadhilah (tengah) saat berfoto bersama teman-temannya. Dok. Pribadi

Temuan Yani Cs sejalan dengan apa yang dikemukakan Syamsi Nur Fadhilah (25). Syamsi asal Makassar itu beragama Islam. Dia bersahabat dengan beberapa orang berbeda agama. Sa'adillah Mursik Sadly Tri A. Putra dan Ade Rezkiawan Embas yang beragama Islam, Hendrik Thio yang memeluk Buddha, serta Michael Manggabarani Syam penganut Katolik.

Perbedaan agama ini tak lantas menimbulkan jurang pemisah. Buktinya, hubungan persahabatan mereka telah terjalin selama 5 tahun, yaitu sekitar 2016 lalu hingga sekarang.

"Awalnya karena ketemu di satu komunitas, sering handle project komunitas bareng-bareng. Jadi lebih intens ketemu, lebih sering ngobrol, sampai akhirnya kebawa di luar komunitas juga," kata Syamsi, kepada IDN Times, Minggu (25/12/2021).

Bagi Syamsi, memiliki relasi persahabatan beda agama rasanya sama dengan persahabatan lainnya. Karena menurutnya, manusia memang perlu menjalin hubungan dengan manusia lain tanpa perlu melihat agama dan etnisnya.

"Tapi entah kenapa zaman sekarang ini kalau kita punya punya relasi dengan orang yang berbeda agama dengan kita, malah jadi semacam hal yang langka, dianggap tidak lumrah. Padahal itu hal yang normal, yang seharusnya bisa jadi biasa saja tanpa perlu diromantisasi," katanya.

Dia sering heran saat orang lain memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh. Jangankan persahabatan, keluarganya yang beda agama saja sering dipandang aneh. Padahal menurutnya, agama merupakan hak dan privasi setiap individu.

"Intinya, ya, bergaul saja, jangan membatasi diri, selama itu tidak menyangkut urusan keimanan. Urusan agama cukuplah jadi urusan masing-masing kita dengan Tuhan," kata Syamsi.

Hubungan persahabatan berbeda agama juga dirasakan Fauziah Mursid. Wanita asal Depok, Jawa Barat, ini sudah enam tahun bersahabat dengan teman perempuan yang beragama Kristen. Sejak berpindah pekerjaan dari Bandung ke Jakarta, Fauziah menemukan teman sejati yang sekarang menjadi sahabat karibnya di lingkungan pekerjaan.

"Dulu pas di Jakarta itu tahun 2015. Terus ketemu sama teman satu ini, Dita namanya, Sampai sekarang kita dekat dan udah jadi sahabat ," ujar Fauziah kepada IDN Times, Jumat (24/12/2021).

Fauziah tidak memungkiri jika masih ada keluarganya yang memandang negatif persahabatannya dengan orang berbeda keyakinan. Salah satunya disampaikan keponakannya, yang menilai bahwa mengucapkan selamat atau memberi hadiah kepada mereka yang non-musim adalah haram.

Tidak sekali, Fauziah beberapa kali menerima pernyataan tersebut dari orang lain. Namun dia tidak menghiraukan omongan itu semua. Menurutnya, setiap orang memiliki pandangannya masing-masing termasuk ketika ingin berteman atau bersahatan dengan siapapun, meski beda agama.

"Kalau ada pemahaman itu (tidak boleh berteman dengan beda agama), artinya masih ada pendidikan kepada anak yang dilakukan entah oleh keluarga, di sekolah atau di tempat belajar agamanya kan," kata Fauziah.

"Di atas semua agama, dasarnya itu cinta"

Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu CintaIlustrasi toleransi agama (IDN Times/Mardya Shakti)

Di Indonesia, hubungan asmara dari pasangan yang berbeda agama kerap kali menemui jalan buntu. Namun, Bagus (35) dengan Tasya (34), sejoli asal kota Medan itu saling menerima pilihan agama masing-masing. Bagus, penganut Islam tak sedikit pun mempermasalahkan perbedaan keyakinan yang dimiliki pasangannya yang beragama Kristen Protestan, begitupula sebaliknya.

"Kita kan saling mempercayai satu sama lain. Di atas semua agama, dasarnya itu cinta," ucap Bagus kepada IDN Times, Jumat (24/12/2021).

Bagus menceritakan sejak memiliki hubungan dengan pasangannya itu, ia kerap mengikuti dua acara keagamaan yang berbeda. Biasanya, dalam perayaan hari raya Idul Fitri, Tasya akan bersilaturahmi ke rumah Bagus. Demikian sebaliknya, jika perayaan Natal, Bagus akan berkunjung ke rumah Tasya.

"Kalau acara Natal itu aku biasanya datang ke rumahnya. Sebaliknya kalau hari raya Idulfitri juga sama, dia yang datang ke rumah ku. Gak masalah," cerita Bagus.

Pun dalam melakukan ibadah rutin yang dilakukan. Bagus tak mempermasalahkan kegiatan yang dilakukan Tasya. Tak jarang pula Bagus akan mengantar pasangannya jika hendak ibadah mingguan.

Baginya, jika ikut serta dalam beberapa kegiatan agama lain, bukan berarti ia ikut mengimani. "Karena itukan hanya mengantarkan saja. Bukan berarti mengimani," ucapnya.

Kesetaraan dalam beragama dibuktikan dengan baik oleh pasangan suami istri di Kota Surabaya, Jawa Timur. Abed Nego (32) yang beragama Kristen dan Tanamal Devy Dian Pramita (31) yang beragama Islam. Sudah delapan tahun usia pernikahan mereka. Keluarga mereka rukun dan harmonis sebab tidak menjadikan perbedaan agama sebagai sebuah masalah.

Abed menceritakan, sejak menikahi Devy, dia merayakan tiga hari besar keagamaan. Pertama ialah Imlek, karena Abed masih keturunan Tionghoa. Kedua, Idulfitri karena istrinya seorang muslim, ditambah keluarga ibu dan mertuanya muslim. Ketiga, Natal karena keluarga dari ayahnya Kristen semua.

"Dalam satu tahun itu tiga hari besar aku jalani," ujarnya saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (23/12/2021).

Abed sangat menghormati jika sang istri menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Yakni menjalankan salat lima waktu. "Ya aku persilakan, monggo salat lima waktu," kata dia. Begitu sebaliknya, ketika hari minggu, Abed ditemani istri dan dua anaknya ke gereja.

"Tapi anak-anak, mana yang terbaik aku kasih pemahaman. Kalau Kristen gini, muslim (Islam) gini. Sama-sama baik, cuma caranya aja yang berbeda," jelas warga Ploso Timur, Surabaya ini.

Penerimaan keragaman yang utuh oleh Abed dan istrinya ini juga berdasarkan pengalaman yang dirasakan sejak kecil. Abed mengatakan, ayahnya merupakan keturunan Tionghoa, mulanya beragama Konghucu. Sedangkan ibunya, beragama Islam. Ketika menikah, orangtua Abed memilih berpindah Kristen.

Sama halnya keluarga istrinya, ayah Devy dulunya beragama Kristen. Kemudian ibunya beragama Islam. Ketika menikah, memutuskan beragama Islam. "Akhirnya kita semua menyadari, kita dari keluarga yang berbeda-beda. Di dalamnya ada toleransi. Intinya kalau ada kegiatan, dalam keluarga saling mendukung," ungkap dia.

"Aku juga gak canggung kalau ikut Idulfitri, karena basicnya dari ibuku kan muslim. Dulu sebelum nikah, masih ke sana unjung ke sana (keluarga ibu). Meski pun sama istriku, sewaktu pacaran saling ngerti kalau kita berbeda memang (agamanya). Dulu dari orangtua masing-masing juga berangkatnya dari agama yang berbeda-beda," imbuh Abed.

Toleransi saja tidak cukup, butuh kesetaraan hidup dalam bingkai kemajemukan

Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu CintaSuasana persiapan Natal di Gereja di Desa Piling, Penebel, Tabanan (Dok.IDNTimes/Istimewa)

Dimensi kesetaraan hidup beragama, sangat terasa bagi Lidya yang tinggal di Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Bagi Lidya, masyarakat sektiar yang mayoritas muslim selalu memberi ruang yang sama bagi setiap agama untuk merayakan hari raya. 

Bagi Lidya, merayakan Natal di pulau yang dijuluki seribu masjid ini selalu aman dan damai. Tak ada halangan apapun selama perayaan Natal di gereja-gereja Kota Mataram. Bahkan beberapa kelompok pemuda umat Hindu dan muslim di Kota Mataram juga turut membantu dalam pengamanan Natal di gereja.

Bentuk keberagaman ini selalu dapat dilihat pada perayaan hari-hari besar umat beragama di Lombok. Saling menghormati ditunjukkan untuk menjaga Kota Mataram tetap aman dan nyaman bagi umat beragama.

Ni Nyoman Ayu Respani yang tinggal di Tabanan, Bali, mengungkap hal serupa. Menurutnya, hingga saat ini dia dan teman-temannya menjalani pertemanan dengan harmonis tanpa ada perdebatan mengenai perbedaan agama.

"Sebenarnya bagaimana menjaga toleransi itu ada, semuanya muncul dari kesadaran masing-masing. Kalau kita memiliki pemahaman kuat soal toleransi, maka meski ada yang hendak memecah belah tidak akan berhasil," ujarnya.

Menurutnya cara sederhana untuk menjaga toleransi beragama dalam pertemanan selain menghormati adalah dengan mengucapkan selamat hari raya keagamaan. "Kalau teman merayakan hari keagamaan, biasanya datang silahturahmi," kata dia.

Perayaan Natal 2021 di Tabanan, begitu kental dengan nuansa adat Bali. Bentuk toleransi beragama yang tetap dipertahankan selama puluhan tahun adalah budaya ngejot antara umat beragama di Desa Adat Piling. Di desa ini, umat Hindu dan Kristiani hidup berdampingan dengan damai. Setiap perayaan umat beragama ditandai dengan budaya ngejot seperti yang rutin dilakukan setiap hari raya Natal.

Ketua  Persekutuan Umat Katolik Desa Piling, Andreas I Made Agus Wirawan, pada Jumat (24/12/2021) menyampaikan perayaan Natal di tempatnya selalu sama setiap tahun.

"Kami gelar budaya ngejot dan sudah dilakukan pada Kamis 23 Desember 2021 kemarin. Hari ini kami lakukan kerja bakti di Gereja," ujarnya.

Baca Juga: Keluarga Pluralisme dari Surabaya, Setahun Rayakan 3 Kali Hari Raya

Kerukunan hidup dibutuhkan agar kita tidak saling menyakiti dan menyingkirkan

Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu CintaAcara perayaan Natal yang penuh keakraban dan kehangatan di Pondok Harapan Suster Persaudaraan Ilahi. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Upaya menumbuhkan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, harus diiringi tindakan nyata dalam bentuk kerja sama yang baik di antara majemuknya masyarakat Indonesia. Dengan kerja sama yang tulus, terbangun kepercayaan yang kuat di antara sesama anak bangsa yang, tentu saja,  dengan dasar pemahaman bersama bahwa mereka dapat hidup berdampingan dengan damai, tenang, saling memajukan dan menguatkan, tidak untuk saling menyakiti dan menyingkirkan.

Wujud dari kerja sama itu dapat terlihat pada perayaan Natal 2021 di sejumlah daerah di Nusantara. Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang yang mengusung tema Safari Natal 2021, juga menggelar kegiatan selaras. Koordinator Pelita, Setyawan Budi mengajak anak-anak muda lintas iman ikut mengunjungi Pondok Harapan Suster Persaudaraan Ilahi di Jalan Pusponjolo Raya, Semarang pada Sabtu (25/12/2021). 

Di acara itu, Pelita Semarang mengajak dua biksu yang hadir mewakili umat Buddha, sejumlah anggota Gusdurian, dua mahasiswa dari generasi muda FKUB Jateng, satu keluarga jemaat Ahmadiyah, serta seorang pemeluk Hindu dan pemeluk Konghucu. 

Selama acara Natalan, para suster tak canggung melantunkan lagu Malam Kudus dan Edelweis sembari bermain angklung. Suaranya yang merdu ditambah iringan angklung membuat perayaan Natal di Pondok Harapan terasa khidmat. Apa yang dilakukan oleh para suster tersebut menunjukan nuansa Natal yang sederhana. 

"Saya sangat terharu melihat acara Natalan yang guyup, lalu banyak orang-orang yang berbeda agama ikut datang kemari. Itu benar-benar membuat saya sampai merinding," kata Transena, seorang suster ketika berbincang dengan IDN Times usai acara Natalan. 

Sementara di Kalimantan Timur, Dumasary Murny yang tengah bersuka cita merayakan Natal, memilih untuk mengajar bahasa isyarat kepada difabel tuli di daerahnya, tanpa memandang latar belakang agama. Itu dilakukannya sebagai bentuk cinta kasih sesama manusia. 

"Memang berbeda dari tahun sebelumnya. Saya usulkan untuk mengajari teman-teman tuli yang berbeda agama bagaimana menikmati Natal," ujarnya bersemangat, saat dihubungi IDN Times, Jumat (24/12/2021). 

Di  Kelurahan Labuhan Dalam, Kota Bandar Lampung, perbedaan keyakinan juga tidak menghalangi warga untuk saling membantu umat beragama lain yang merayakan hari besar. 

Ketua Bankom Labuhan Dalam, Septia Wanto mengatakan, sikap saling menghargai dan toleransi antarumat beragama di wilayahnya sudah terjalin sejak dulu.

Menurutnya, umat Hindu sekitar selalu mendukung dan membantu kaum muslim setiap kali merayakan Idulfitri, Iduladha, dan hari besar lainnya. Hal serupa juga dilakukan umat muslim saat Hari Raya Galungan dan sebagainya.

"Kami saling bekerja sama. Semisal saat salat Idul Fitri atau salat Jumat, mereka (umat Hindu) ikut membantu berjaga parkir. Ketika upacara Nyepi, Pujawali, hingga Galungan, uamt muslim turun membantu kesiapan hingga menjaga parkir. Pada intinya, kami saling bahu membahu menjaga ketertiban dan kenyamanan saat melaksanakan kegiatan keagamaan," kata dia.

Baca Juga: Kerukunan Antar Umat Beragama, Ajarkan Toleransi ke Teman Tuli

Kerukunan adalah kekuatan besar bagi bangsa Indonesia

Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu CintaBankom dan Pecalang Hindu Labuhan Dalam melakukan kegiatan bersama. (Dok. IDN Times)

Riset CPDC Unhas yang dipimpin Yani diharapkan bisa membawa angin segar untuk menyemai kehidupan yang rukun antarumat beragama di Indonesia. Menurut Yani, isu perbedaan agama sudah bukan lagi menjadi persoalan tabu untuk diperbincangkan. Salah satu caranya melalui pendidikan. Dia mencontohkan ketika ada sekolah apalagi yang membawa label agama tertentu, kemudian mengajarkan nilai-nilai bahwa mereka lebih baik dari yang lain, maka hal itu akan menanamkan benih kebencian dan jiwa intoleransi pada generasi muda.

"Tentu salah satu hal penting adalah pendidikan yang menjadi salah satu lembaga sosial penting untuk selalu mendorong pemahaman tentang bagaimana supaya kita menghargai perbedaan," katanya.

Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) 2021 yang disebut berkategori baik, sejatinya bukan gambaran utuh dari keseluruhan sikap manusia Indonesia menghadapi perbedaan agama. Di sejumlah daerah, dalam laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), yang dirilis pada November 2021, menyebutkan, problem kekerasan terhadap kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadah di Indonesia masih menemui masalah yang berulang.

Secara umum, permasalahan tersebut berasal dari kebijakan existing yang diskriminatif hingga perlindungan yang minim dari aparat negara terhadap kelompok minoritas keagamaan. Pada beberapa peristiwa kekerasan atas nama agama, individu atau kelompok minoritas keagamaan tidak mendapatkan mekanisme pemulihan yang maksimal. Akibatnya, peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah terus berulang dari waktu ke waktu.

*

Kerukunan umat beragama terwujud melalui tingginya tingkat toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Ketiga indikator itu harus terus dipupuk dengan cinta kasih dan penghayatan tertinggi terhadap kemanusiaan, agar kisah-kisah tentang indahnya keberagaman dari seluruh wilayah Indonesia semakin bersemi.

Tim Penulis:

Ashrawi Muin, Anggun Puspito Ningrum, Riani Rahayu, Fariz Fardianto, Tama Wiguna, Ahmad Viqi, Muhammad Iqbal, Ni Ketut Wira Sanjiwani, Ardiansyah Fajar, Debbie Sutrisno, Masdalena Napitupulu

Baca Juga: Rawat Toleransi, Generasi Z Tabanan: Posisikan Diri Jadi Orang Lain 

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya