Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
cuplikan film Justice League (dok. DC Films, Warner Bros. Pictures/Justice League)
cuplikan film Justice League (dok. DC Films, Warner Bros. Pictures/Justice League)

Dunia sinema superhero DC Comics selalu menyajikan visual yang spektakuler dan cerita yang epik. Untuk menciptakan pengalaman menonton yang tak terlupakan, studio film seringkali menggelontorkan dana yang sangat besar dalam produksi film-film mereka. Dengan efek visual yang memukau, cerita yang kompleks, dan penampilan para aktor papan atas, film-film DC selalu berhasil menarik perhatian penonton. 

Namun, apakah biaya produksi yang mahal selalu berbanding lurus dengan kualitas film? Mari kita bahas 10 film DC paling mahal, dan nilai sendiri apakah harga yang tinggi memang sebanding dengan kualitas yang ditawarkan.

10. Wonder Woman: 1984 (2020)

Keberhasilan besar film Wonder Woman memberikan dampak signifikan terhadap negosiasi kontrak para aktor dalam sekuelnya, Wonder Woman 1984. Hal ini turut berkontribusi pada peningkatan biaya produksi yang signifikan. Proses produksi juga melibatkan pengeluaran besar untuk pembangunan set dan pengambilan gambar di berbagai lokasi, termasuk penutupan jalan-jalan utama di Washington D.C. selama hampir satu minggu.

Dengan anggaran produksi mencapai 200 juta dolar atau sekitar Rp3,1 triliun, Wonder Woman 1984 hanya mampu meraup pendapatan box office sebesar 170 juta dolar atau setara Rp2,7 triliun. Meskipun demikian, film ini tetap menuntut efek visual yang kompleks dan detail, terutama dalam penggambaran karakter antagonis Cheetah. Namun, kualitas efek visual yang dihasilkan seringkali menuai kritik, dan hal ini diduga disebabkan oleh alokasi sumber daya yang tidak optimal.

9. Green Lantern (2011)

Kesuksesan besar Ryan Reynolds sebagai Deadpool dalam film berperingkat R telah mengukuhkan posisinya sebagai aktor superhero ternama. Namun, sebelumnya ia pernah terlibat dalam proyek Green Lantern yang kurang berhasil.

Film Green Lantern diproduksi dengan anggaran sebesar 200 juta dolar atau sekitar Rp3,1 triliun dan berhasil meraup pendapatan box office sekitar 220 juta dolar atau sekitar Rp3,5 triliun. Film ini dikenal sebagai salah satu film superhero dengan penggunaan CGI paling intensif di dekade 2010-an.

Sutradara berupaya menghadirkan imajinasi antargalaksi dan elemen abstrak yang menjadi ciri khas komik Green Lantern melalui penggunaan warna hijau neon yang dominan. Meskipun karakter-karakter seperti Hal Jordan, Sinestro, dan Kilowog digambarkan dengan cukup akurat, kualitas animasi dan koreografi yang kurang memuaskan membuat film ini lebih menyerupai video game daripada film layar lebar.

8. Aquaman and the Lost Kingdom (2023)

Film Aquaman and the Lost Kingdom tampaknya kurang mendapat sorotan di tengah antusiasme publik terhadap rencana reboot alam semesta DC oleh James Gunn. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan film tersebut dengan kanon DCU yang sebelumnya, sebelum adanya perubahan besar dalam kepemimpinan kreatif. Namun, sutradara James Wan tetap teguh pada visinya dan menolak untuk terburu-buru dalam proses produksi dan perilisan film.

Film ini diproduksi dengan anggaran yang cukup besar, mencapai 215 juta dolar atau setara Rp3,4 triliun. Angka tersebut meningkat akibat berbagai kendala, terutama penundaan yang disebabkan oleh pandemi global. Selain itu, proses produksi juga terdampak oleh permasalahan hukum yang melibatkan salah satu pemeran utamanya, Amber Heard.

Konflik hukum tersebut mengakibatkan beberapa adegan ditulis ulang dan diambil ulang, serta mengurangi durasi penampilan Amber Heard di film untuk meminimalisir dampak kontroversi yang menyertainya. Meskipun demikian, Aquaman and the Lost Kingdom berhasil meraup pendapatan box office sebesar 435 juta dolar atau sekitar Rp6,9 triliun.

7. The Flash (2023)

Film The Flash merupakan upaya DC Extended Universe (DCU) untuk mengikuti tren yang sedang berkembang di dunia perfilman, yaitu cerita yang berlatar dimensi alternatif dan multiversal. Tren ini sangat populer di dekade 2020-an. Film ini menampilkan kembalinya beberapa aktor ikonik, di antaranya Michael Keaton sebagai Batman dan Michael Shannon sebagai Jenderal Zod.

Dengan anggaran produksi mencapai 220 juta dolar atau sekitar Rp3,5 triliun, The Flash memanfaatkan teknologi CGI secara ekstensif untuk menciptakan berbagai adegan spektakuler. Termasuk pertempuran besar antara manusia dan Kryptonian, serta efek visual yang menampilkan kecepatan super Flash.

Proses produksi film ini menghadapi berbagai tantangan dan penundaan, di antaranya karena kompleksitas efek CGI dan sejumlah kendala kreatif. Situasi ini diperparah oleh keluarnya beberapa aktor kunci dari proyek tersebut, seperti Ben Affleck dan Ray Fisher. Meskipun demikian, film ini berhasil meraup pendapatan box office sebesar 271 juta dolar.

6. Superman Returns (2006)

Film Superman arahan Richard Donner (1978) menandai tonggak sejarah perfilman superhero dengan keberhasilannya memikat perhatian khalayak luas. Sebagai bentuk penghormatan terhadap dua film Superman pertama yang dibintangi Christopher Reeve. FilmSuperman Returns (2006) diposisikan sebagai sekuel Superman II, dengan mengabaikan alur cerita Superman III dan Superman IV: The Quest for Peace yang menuai banyak kritik.

Film Superman Returns memiliki anggaran produksi yang sangat tinggi, mencapai 225 juta dolar atau sekitar Rp3,6 triliun, dan menghasilkan pendapatan box office sebesar 391 juta dolar. Meskipun kualitas produksi film ini tergolong baik untuk standar pada masanya, biaya produksinya yang fantastis bukan semata-mata karena faktor produksi film itu sendiri melainkan juga dipengaruhi oleh beban finansial dari beberapa proyek Superman yang gagal terealisasi. Salah satu faktor utama adalah biaya kontrak Nicolas Cage yang mencapai 20 juta dolar untuk sebuah proyek film Superman yang akhirnya dibatalkan.

5. Man of Steel (2013)

Film Man of Steel yang disutradarai oleh Zack Snyder, merupakan upaya untuk menghidupkan kembali karakter Superman setelah kekecewaan yang ditimbulkan oleh film Superman Returns. Film ini dirancang sebagai pondasi bagi alam semesta sinematik DC, dengan tujuan untuk membuka jalan bagi film-film crossover yang melibatkan pahlawan-pahlawan lain seperti Batman dan Aquaman.

Produksi Man of Steel melibatkan penggunaan efek CGI yang ekstensif, terutama dalam penggambaran pertempuran skala besar antara Kryptonian dan kehancuran planet Krypton dan Bumi. Hal ini berkontribusi pada anggaran produksi yang mencapai 258 juta atau setara Rp4,1 triliun. Meskipun film ini meraih kesuksesan komersial dengan pendapatan box office hampir 700 juta dolar, hasil tersebut dinilai kurang memuaskan oleh Warner Bros. Keberhasilan film-film superhero Marvel, khususnya karakter yang kurang dikenal seperti Iron Man dan Thor telah menciptakan standar baru yang sangat tinggi dalam industri perfilman superhero. Sehingga Man of Steel terkesan kurang mampu memenuhi ekspektasi yang telah ditetapkan.

4. Black Adam (2022)

Film Black Adam awalnya direncanakan dengan anggaran produksi di bawah 200 juta dolar. Namun, proses produksi mengalami berbagai kendala yang menyebabkan pembengkakan biaya sebesar 260 juta dolar atau setara Rp4,15 triliun. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan anggaran tersebut antara lain pengambilan gambar ulang yang disebabkan oleh hasil uji tayang yang kurang memuaskan dan penundaan yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Proses produksi film ini bahkan sempat terhenti setidaknya dua kali selama masa pengembangannya.

Selain itu, masa pra-produksi Black Adam berlangsung cukup lama, yang turut meningkatkan biaya keseluruhan. Pemilihan Dwayne "The Rock" Johnson sebagai pemeran utama, meskipun merupakan aktor dengan bayaran tertinggi di Hollywood, tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap pendapatan box office. Kehadirannya sebagai bintang besar ternyata tidak mampu menarik penonton dalam jumlah yang cukup untuk menutupi biaya produksi yang besar, sehingga Black Adam akhirnya tergolong sebagai film yang kurang berhasil dalam jagat sinema DCU.

3. The Dark Knight Rises (2012)

Kesuksesan fenomenal The Dark Knight (2008) telah menandai babak baru bagi film-film superhero, mengangkat genre ini ke level kesuksesan kritis dan komersial yang lebih tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sekuel penutup trilogi Batman dan The Dark Knight Rises (2012) memiliki anggaran produksi yang sangat besar.

Dengan anggaran sebesar 300 juta dolar atau sekitar Rp4,7 triliun, The Dark Knight Rises berhasil meraup pendapatan box office hingga 1 miliar dolar atau setara Rp15 triliun. Berbeda dengan banyak film DC lainnya, film ini relatif minim penggunaan CGI dan efek visual. Biaya produksi yang tinggi sebagian besar disebabkan oleh penggunaan kamera IMAX dalam pengambilan gambar serta pengambilan gambar di lokasi nyata di jalan-jalan kota Chicago, bukan di studio film. Selain itu, kontrak para aktor dari film-film sebelumnya tidak mencakup seluruh trilogi, sehingga pihak produksi harus melakukan negosiasi ulang kontrak dengan biaya yang signifikan untuk kembali menghadirkan para pemeran utama dari film-film sebelumnya.

2. Batman vs Superman: Dawn of Justice (2016)

Film Batman v Superman: Dawn of Justice menandai peristiwa penting dalam sejarah perfilman DC yaitu pertemuan pertama antara dua ikon superhero terpopuler, Batman dan Superman dalam sebuah film live action. Film ini juga menandai debut Ben Affleck sebagai Batman dalam DC Extended Universe (DCU). Alih-alih berfokus pada eksplorasi Gotham City dan elemen-elemen khas cerita Batman, film ini lebih menekankan pada konflik yang tak terelakkan antara kedua superhero tersebut.

Dengan anggaran produksi mencapai 300 juta dolar atau sekitar Rp4,7 triliun, sebagian besar dana dialokasikan untuk strategi pemasaran yang intensif guna menarik minat penonton. Meskipun film ini menyajikan pertarungan epik antara Batman dan Superman, Batman v Superman: Dawn of Justice menuai banyak kritik, terutama terkait pemilihan pemeran, penggambaran karakter Superman yang dinilai kurang manusiawi, dan kehadiran terlalu banyak karakter yang membuat alur cerita terasa berantakan.

Ulasan negatif dari para kritikus dan penonton, serta minimnya film-film Batman sebelumnya yang dapat membangun antisipasi terhadap film crossover ini. Kemungkinan menjadi faktor penyebab kegagalan Batman v Superman: Dawn of Justice untuk mencapai pendapatan box office satu miliar dolar, meskipun telah berhasil meraup 875 juta dolar.

1. Justice League (2017)

Film Justice League menandai upaya DC Extended Universe (DCU) untuk menyaingi kesuksesan The Avengers dari Marvel Cinematic Universe (MCU) dengan menghadirkan film crossover yang mempertemukan sejumlah superhero dalam satu cerita. Mengingat biaya produksi film-film The Avengers yang tergolong sangat tinggi, tidak mengherankan jika Justice League menjadi film DC termahal hingga saat ini. Namun berbeda dengan MCU, beberapa karakter utama dalam Justice League seperti Cyborg dan Wonder Woman, belum memiliki film solonya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa DC terburu-buru dalam proses produksi dan perilisan film ini.

Proses produksi Justice League diwarnai oleh berbagai penundaan yang menyebabkan pembengkakan anggaran hingga mencapai 300 juta dolar atau sekitar Rp4,7 triliun. Pergantian sutradara, di mana Zack Snyder mengundurkan diri karena perbedaan kreatif, juga turut berkontribusi pada masalah tersebut. Meskipun film ini kaya akan efek visual, Justice League gagal menarik minat penonton sebesar The Avengers dan akhirnya tergolong sebagai film yang kurang berhasil secara komersial, hanya mampu meraup pendapatan box office sebesar 661 juta dolar atau sekitar Rp10 triliun.

Dengan anggaran produksi yang fantastis, film-film DC ini berhasil menciptakan dunia superhero yang begitu hidup dan nyata. Efek visual yang memukau, cerita yang menarik, dan penampilan para aktor papan atas membuat film-film ini layak untuk ditonton berulang kali. Yuk, bagikan daftar ini kepada teman-temanmu yang juga menyukai film superhero!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team