Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi anak dan orangtua (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi anak dan orangtua (pexels.com/Ron Lach)

Di era media sosial seperti sekarang, TikTok jadi tempat banyak orang mencari inspirasi, termasuk soal parenting. Salah satu tren yang banyak dibahas adalah gentle parenting.

Konsep ini terdengar manis, mendidik anak dengan penuh kelembutan, mendengarkan emosi mereka, dan menjadi orangtua yang suportif. Tapi masalahnya, versi gentle parenting di TikTok sering kali hanya mengambil setengah dari konsep aslinya.

Niatnya baik: ingin menjadi orangtua yang tidak galak, yang gak bikin anak trauma. Sayangnya, banyak konten di TikTok justru memelintir makna asli gentle parenting dan malah jatuh ke arah pola asuh permisif, yaitu membiarkan anak melakukan apa pun tanpa batasan. Akibatnya, anak bisa tumbuh jadi manja, tidak tahu aturan, dan sulit mengatur diri sendiri.

Supaya kamu gak ikut-ikutan terjebak, yuk kenali lima kesalahan gentle parenting versi TikTok yang sering bikin anak jadi manja.

1. Fokus pada validasi emosi tanpa memberi batasan

ilustrasi orangtua memeluk anaknya (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Kamu pasti pernah lihat video TikTok yang bilang, “Regulasi diri dulu, baru validasi emosi anak.” Ini bagus, tapi kadang orangtua cuma berhenti sampai di situ. Anak marah? Divalidasi. Anak teriak-teriak? Dipeluk. Tapi setelah itu, ya sudah, gak ada aturan atau konsekuensi.

Padahal menurut buku karya Sarah Ockwell-Smith, gentle parenting adalah kombinasi antara responsif terhadap emosi anak dan memberikan batasan yang sesuai usia. Tanpa batasan, validasi justru jadi bumerang. Anak bisa berpikir bahwa semua emosi mereka berhak dituruti, bukan dipahami lalu diarahkan.

2. Menghindari hukuman tanpa mengganti dengan disiplin positif

ilustrasi anak dimarahi orang tua (pexels.com/Monstera Production)

Banyak konten TikTok mengklaim bahwa gentle parenting itu artinya “no punishment.” Anak salah? Jangan dihukum, nanti trauma. Tapi yang sering luput adalah: kalau gak ada hukuman, lantas apa?

Menurut Sarah Ockwell-Smith, orangtua tetap perlu memberi konsekuensi yang logis dan konsisten, bukan hukuman keras, tapi bentuk disiplin yang mendidik. Sayangnya, banyak influencer hanya menghindari hukuman tanpa menyediakan alternatif. Akibatnya, anak tidak belajar tanggung jawab atas perilakunya.

3. Menyamakan kelembutan dengan menuruti semua keinginan anak

ilustrasi anak di toko mainan (pexels.com/Tuan PM)

Ada orangtua yang mengira menjadi lembut itu artinya harus selalu bilang “iya”. Anak gak mau mandi? Dibiarkan. Gak mau makan sayur? Gak dipaksa. Memang benar memaksa anak bukan solusi, tapi menuruti semua keinginan anak juga bisa berbahaya.

Penelitian menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dengan pola asuh permisif (penuh kehangatan tapi tanpa batasan), lebih cenderung kesulitan mengatur emosi dan perilaku mereka. Artinya, anak jadi lebih manja, kurang mandiri, dan mudah frustrasi saat tidak mendapat apa yang diinginkan.

4. Menghindari konflik demi menjaga “hubungan baik” dengan anak

ilustrasi anak bicara dengan orang tua (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Salah satu kesalahpahaman terbesar dalam gentle parenting versi media sosial adalah bahwa konflik itu selalu buruk. Banyak orangtua jadi takut bilang “tidak” karena khawatir merusak hubungan dengan anak. Tapi kenyataannya, konflik yang sehat justru membantu anak belajar tentang dunia nyata.

Anak perlu tahu bahwa gak semua hal akan berjalan sesuai keinginan mereka. Orangtua perlu menjadi pemimpin, bukan sekadar teman. Tanpa konflik yang konstruktif, anak gak pernah belajar bagaimana menghadapi penolakan atau batasan.

5. Meniru gaya parenting TikTok tanpa memahami konteksnya

ilustrasi TikTok (unsplash.com/Solen Feyissa)

Setiap keluarga punya dinamika berbeda. Tapi sayangnya, konten TikTok sering memberi solusi instan, tanpa penjelasan mendalam atau konteks yang jelas. Kamu mungkin pernah lihat video berdurasi 15 detik yang menjelaskan cara menenangkan anak tantrum, tanpa tahu latar belakang anak itu, usia, atau situasinya.

Menurut studi yang dilakukan oleh Dr. Alice Davidson dan Dr. Annie Pezalla, banyak orangtua yang mengadopsi gentle parenting ternyata termotivasi oleh pengalaman masa kecil mereka yang keras. Akibatnya, mereka terlalu fokus pada sisi lembut dan cenderung anti-konflik. Hal ini bisa membuat mereka menafsirkan gentle parenting secara keliru, dan justru menjadi permisif.

Gentle parenting sebenarnya bukan tentang menjadi orangtua yang selalu lembut dan menghindari semua bentuk konflik. Ini adalah soal keseimbangan antara kasih sayang dan batasan, antara mendengarkan dan membimbing. Sayangnya, versi TikTok dari metode ini sering kali kehilangan esensinya.

Kalau kamu mau menerapkan gentle parenting, penting untuk memahami konsep aslinya: hangat, responsif, tapi tetap punya aturan yang jelas. Jadi lain kali kamu lihat video parenting viral di TikTok, coba tanyakan pada dirimu sendiri: “Apakah ini mendidik atau cuma menyenangkan anak?” Kalau jawabannya yang kedua, mungkin sudah saatnya kamu scroll aja dan cari sumber yang lebih terpercaya.

Jadi, yuk bijak jadi orangtua di era digital!

Sumber:

https://www.psychologytoday.com/us/blog/thriving-teens/202507/will-the-real-gentle-parents-please-stand-up

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team