Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Relief Monumen Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan (Pembantaian Westerling), di Kelurahan La'latang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Makassar, IDN Times - Setiap tanggal 11 Desember di Monumen Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan yang terletak di Kecamatan Tallo, Kota Makassar, dilangsungkan sebuah acara peringatan atas salah satu peristiwa kelam dalam sejarah negeri ini. Tepat di hari tersebut, 73 tahun silam, Kapten Raymond Westerling memimpin aksi polisionil yang merenggut nyawa rakyat sipil.

Tak hanya sampai di situ, sosok berjuluk de Turk alias Si Turki tersebut juga melancarkan aksi brutalnya di Jawa Barat --di bawah komando Angkatan Perang Ratu Adil-- di Bandung pada Januari 1950. Indonesia dan Soekarno geram dengan sepak terjang pria yang menjadi sinonim dari kata "horor" itu. Upaya meminta pertanggungjawaban Westerling nyatanya berakhir buntu.

1. Upaya Indonesia melakukan ekstradisi atas Raymond Westerling pada 1950 berujung kegagalan

Raymond Westerling, mantan kapten Korps Pasukan Khusus KNIL, sedang menuruni tangga pesawat setelah mendarat di Belgia. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Westerling disinyalir mendapat bantuan dari pemerintah Belanda dalam proses pelariannya, usai aksi APRA gagal total. Dalam buku Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 (Intermasa, 1984), buku biografi Jenderal (Purn.) TNI Mohamad Rivai, dijelaskan bahwa Westerling nyaris ditangkap oleh militer Indonesia ketika hendak melarikan diri lewat Tanjung Priok, Jakarta.

Unit khusus yang dibentuk oleh intelijen APRIS kalah gesit dibanding jurus langkah seribu milik Westerling. Sang buruan diangkut menggunakan pesawat amfibi milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang sudah menunggu kedatangannya.

Sempat singgah di Singapura, Westerling ditahan oleh keamanan Inggris selama beberapa bulan dengan alasan masuk tanpa izin. Enggan melepas momentum, pemerintah Republik Indonesia Serikat melayangkan permintaan ekstradisi. Hasilnya? Ditolak. Westerling pulang kampung ke Belanda pada Agustus 1950.

2. Belakangan, muncul teori bahwa metode sarat kekerasan dianggap wajar lantaran dalam situasi perang

Editorial Team

Tonton lebih seru di