Wikimedia Commons (Fery Indrawan)
Baju Bodo, sebagai baju adat perempuan Makassar, memiliki riwayat panjang. Sumber tertulis bisa didapati dalam Patuntung, sebuah kitab suci nenek moyang orang Makassar dengan kepercayaan dinamisme dan animisme. Artinya, baju adat ini sudah dikenakan oleh masyarakat jauh sebelum agama Islam masuk di abad ke-17.
Secara terminologi, kata "bodo" adalah bahasa Makassar yang berarti pendek. Ya, ini sesuai dengan bentuknya yang segi empat dengan lengan pendek, hanya setengah bagian siku lengan. Satu hal menarik, leluhur orang Makassar sudah mengenal ilmu tekstil sejak zaman Neolitikum. Alhasil ini bisa dilihat dari baju Bodo, yang menurut catatan sejarawan mendiang Christian Pelras dalam The Bugis (1996), sangat sejuk saat dikenakan.
Lebih jauh, ada aturan khusus perihal warna baju Bodo berdasarkan status sosial dan umur. Warna jingga dikenakan anak perempuan berumur kurang dari 10 tahun, jingga dan merah untuk umur 10 hingga 14 tahun, dan merah untuk 17 hingga 25 tahun. Sementara itu warna putih dipakai oleh pembantu dan dukun, hijau untuk puteri para bangsawan, serta ungu bagi para janda.
Bagian bawahan baju Bodo adalah sejenis sarung tradisional yang disebut lipa'. Di beberapa kesempatan seperti acara pernikahan, turut pula aksesoris seperti sanggul berhias bunga lengkap bersama tangkainya (pinang goyang), anting panjang (bangkarak), kalung berantai (geno ma'bule), kalung panjang (rantekote') dan kalung besar (geno sibatu).
Hingga dekade 1930-an, baju Bodo diketahui cukup tipis dan transparan lantaran terbuat dari kain kasa (muslin) atau sutra. Lunturnya ajaran Patuntung berganti dengan Islam membuat baju Bodo transparan menghilang.
Nah, jika dulu lebih sering dikenakan pada acara pernikahan, baju ini sekarang turut dikenakan oleh para penari. Selain itu, warnanya kini bervariasi dan mengenakannya tak perlu lagi berdasarkan aturan lama.