Makassar, IDN Times - Selasa 7 Agustus 1945 sore, sebuah telegram datang ke kediaman Andi Mappanyukki (Sultan Bone ke-32) di Jalan Jongaya Makassar. Kabar kilat itu rupanya datang dari Jakarta, dengan tembusan Hisaichi Terauchi di Saigon, Marsekal Medan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Panglima Grup Angkatan Darat Ekspedisi Selatan atau Asia Tenggara.
Beberapa jam sebelumnya, para pemuda (berkat siaran radio internasional) mendengar bahwa sebuah bom "dengan kekuatan ledak maha dahsyat" membuat satu kota Jepang "lenyap menjadi abu" pada Senin pagi 6 Agustus sebelumnya. Apakah itu Tokyo, tempat Kaisar Hirohito bertahta? Jelas tidak mungkin. Ada kode etik perang tak tertulis yang aneh, di mana komandan tertinggi tidak boleh diserang secara langsung.
Kabar tersebut saling bertarung di udara dengan frekuensi Hoso Kyoko. Di siaran radio milik Kekaisaran Jepang itu, keadaan Asia Timur Raya seolah baik-baik saja. Namun apa yang didengar dalam "siaran radio bawah tanah" justru sebaliknya. Dai Nippon kian disudutkan Sekutu dalam Perang Pasifik sejak awal 1945.
Telegram tersebut diterima oleh Andi Pangerang Petta Rani, salah satu putra Andi Mappanyukki yang juga tokoh pergerakan. Isinya? Andi Mappanyukki ditunjuk sebagai salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Dokuritsu Junbi Iinkai). Sang Arung Macege sontak berfirasat bahwa Indonesia segera merdeka.