Ketua DPC Partai Gerindra Makassar, Eric Horas, saat berbicara dalam acara Hari Ulang Tahun Gerindra ke-12 pada tahun 2020. (Instagram.com/erichoras)
Dari bidang politik, kedatangan generasi awal Tionghoa sebagai saudagar lambat laun memberi mereka tempat di lingkaran dalam Kerajaan Gowa-Tallo. Ini ditulis oleh sejawaran Yerry Wirawan dalam buku Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar (KPG, 2014).
Selama masa VOC dan kolonial Hindia-Belanda, "kapitan" adalah jabatan sebagai kepala/pemimpin komunitas Tionghoa. Biasanya para kapitan ini memiliki kapasitas ekonomi dan politik yang besar, dan bertugas memutus persengketaan dalam perdagangan dan dalam masyarakat Tionghoa.
Sejarah mencatat sejumlah kapitan Tionghoa Makassar yang pernah bertugas. Ada Oeikoeko di separuh akhir abad ke-16, Ong Goat Ko (1679-1701), Ongkiego (1701-1732), Ongkingsay (1732-1738), Lijauko (1738-1748/49) dan masih banyak lagi.
Namun agaknya yang paling diingat adalah kapitan Thoeng Liong Hoei. Ia dieksekusi mati oleh militer Jepang pada 1942 lantaran sikapnya yang enggan bekerja sama dengan penjajah (Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Transmedia Pustaka, 2008).
Sempat mengalami represi selama masa Orde Baru, keterlibatan peranakan Tionghoa di kancah politik Makassar kembali hidup pasca-Reformasi. "Partisipasi mereka semakin terasa hingga saat ini, tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa berpolitik dengan memilih partai-partai berhaluan nasionalis seperti Golkar, PDIP, PAN, Nasdem, Hanura dan lainnya," jelas Bahri.
Bahri pun menyebut bahwa terjunnya mereka ke kancah politik lokal memberi citra baik terhadap harmonisasi masyarakat Makassar - Tionghoa, terutama dalam memperjuangkan kepentingan rakyat Makassar. Beberapa bahkan bisa duduk di DPRD Kota Makassar. Contohnya seperti Arwan Tjahjadi (PKPI) dan Eric Horas (Nasdem).