Mengenang Perlawanan Orang Makassar Digempur Ribuan Prajurit Thailand

Makassar, IDN Times - Jika sebelumnya membahas tentang riwayat dua pangeran Makassar yang menghabiskan sisa hidup di Tanah Prancis, kali ini hidup ayah mereka Daeng Mangalle menjadi fokus. Ya, tanda tanya jelas mengapung. Mengapa pemilik anggota lingkar dalam keluarga Kesultanan Gowa-Tallo bisa berakhir di teritori Kerajaan Ayutthaya (Thailand)?
Dalam buku "Siri': Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar : Sebuah Telaah Filsafat Hukum" (Hasanuddin University Press, 1995), Mohammad Laica Marzuki menulis bahwa adik dari Sultan Hasanuddin itu terpaksa meninggalkan tanah kelahiran pada tahun 1660 setelah difitnah salah satu istri raja (hal. 122). Usai menyingkir ke Pulau Jawa, ia mempersunting Angke Sapiah, puteri salah satu raja yang disebut masih memiliki hubungan darah dengan raja-raja Makassar.
Daeng Mangalle pun pergi sebab ia tak terima dengan pengesahan Perjanjian Bongaya, kesepakatan yang justru melucuti superioritas Gowa-Tallo sebagai kekuatan maritim. Ia minggat, menolak tunduk pada Belanda.
1. Hubungan dekat antara Raja Ayutthaya dan koalisi Eropa mengkhawatirkan banyak kelompok dalam negeri
Tiga tahun menetap di Jawa, Daeng Mangalle kemudian pindah ke daratan Siam. Permintaan suakanya kepada Raja Ayutthaya saat itu, Somdet Phra Narai (Ramathibodi III), dikabulkan. Singkat cerita, Daeng Mangalle beserta keluarga dan 250 pengikutnya --terdiri dari pria, wanita dan anak-anak-- menjejakkan kaki di Kerajaan Ayutthaya pada tahun 1664 (Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Volume 156, Koninklijk Instituut voor Taal-, 2000).
Mereka diberi hak untuk menetap dan membangun pemukiman (kampong), bertetangga dengan komunitas Melayu di Bangkok. Dengan reputasi sebagai pasukan ulung, orang-orang Makassar waktu itu tak sulit membangun relasi dengan beberapa kelompok lain seperti Minangkabau, Campa, Gujarat, dan masih banyak lagi. Namun seiring waktu, timbul gejolak.
Kehadiran Constantine Phaulkon, wakil kongsi dagang Inggris East Indies Company di lingkar dalam kerajaan menimbulkan rasa gerah. Umumnya mereka khawatir dengan meningkatnya pengaruh Barat, dipicu dari sejumlah kebijakan seperti datangnya ratusan bala tentara Prancis dan misionaris. Berhembus pula kabar burung jika Phra Narai hendak di-kristen-kan. Selain itu sang raja, yang merengkuh kekuasaan lewat intrik di dalam keluarga pewaris tahta, berlindung di balik sokongan Prancis untuk meneguhkan kekuasaannya.