Selepas Perang Dunia II, Eng Djie dan Soan Kie mendapati bahwa rumah sederhana mereka hancur terbakar akibat dibom sekutu. Alhasil, mereka dan anak-anak saling bahu membahu mencari nafkah demi kembali membeli sebuah kediaman. Perlu dua tahun sebelum Eng Djie akhirnya menempati rumah baru.
Namun, musik sudah kadung menjadi renjana bagi Eng Djie. Pada tahun 1950, ia mendirikan kelompok musik bernama Singara Kulla-Kullawa (Sinar Kunang-Kunang) yang membawakan lagu-lagu Bugis dan Makassar. Mereka pun mendapat tawaran sebagai pengisi tetap siaran-siaran Radio Republik Indonesia di Makassar.
Tahun 1953, Eng Djie dan orkesnya mendapat penghargaan dari RRI atas sumbangsih mereka untuk musik nasional. Eng Djie pun berkesempatan menemui Presiden Soekarno di Istana Merdeka, membicarakan musik dan nasib orang-orang Peranakan Tionghoa yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Hoo Eng Djie wafat di Makassar pada 7 Maret 1962. Di batu nisannya terukir syair terakhir yang masih sempat ia tulis di hari-hari terakhirnya. Lagu-lagu ciptaan Eng Djie masih sering didendangkan pada acara-acara pernikahan masyarakat Bugis dan Makassar. Salah satunya adalah "Ati Radja".
"Se're-Se're ji batara baule (Hanya ada satu tuhan)
Ati raja nakijai pa'nganroi baule (Ati Raja, hanya kepadamu kami meminta)
Rajale alla kereaminjo (Apapun itu yang sesungguhnya)
Ati... Ati... Ati raja
Natarima pappala'na baule (Pasti akan diterima segala permintaan)"
Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.