Menelisik Pengobatan Tradisional dalam "Ramuan di Segitiga Wallacea"

Intinya sih...
Penelitian buku "Ramuan di Segitiga Wallacea" menjelaskan pengobatan tradisional di Indonesia Timur
Buku ini juga mengangkat isu kesenjangan akses layanan kesehatan dan upaya menjaga tradisi pengobatan
Pengobatan tradisional disebut sebagai bentuk penghormatan pada alam dan terobosan dunia farmasi modern
Makassar, IDN Times - Dua tahun setelah pandemi COVID-19 di Indonesia dinyatakan berakhir, situasi memang sudah kembali normal. Tapi, kebiasaan menggunakan pengobatan tradisional yang kembali mengemuka di masa pagebluk, tetap bertahan.
Dalam sebuah survei yang dilakukan aplikasi kesehatan daring Alodokter pada tahun 2024, tertungkap bahwa 45 persen dari pengguna aktif masih percaya pada obat-obatan herbal. Alasannya mulai dari sifat alaminya, efek samping yang dianggap lebih sedikit, serta harganya lebih terjangkau. Bahan baku obat tradisional pun mudah diperoleh, bahkan kerap tumbuh menjalar bebas di halaman rumah.
Salah satu dokumentasi perihal warisan kebiasaan penggunaan obat tradisional, terutama di wilayah Indonesia Timur, terangkum dalam buku "Ramuan di Segitiga Wallacea" yang diterbitkan Makassar Biennale pada akhir tahun 2020. Ini adalah proyek kolaboratif antara Yayasan Makassar Biennale, Tanahindie, dan Goethe-Institut yang menjadi pra-publikasi sebelum ajang pameran seni dwitahunan Makassar Biennale 2021.
1. Menjabarkan banyak daun dan tumbuhan yang dipakai dalam pengobatan tradisional
Selama 16 pekan, tim peneliti MB di Toraja, Makassar, Pangkep, Bulukumba, Nabire, dan Labuan Bajo melakukan penelitian untuk buku ini. Mereka mendokumentasikan praktik pengobatan tradisional yang mengandalkan tanaman yang tumbuh di sekitar rumah, serta peran para sanro (tabib tradisional) dalam menopang akses kesehatan masyarakat.
Salah satu bahasan menarik dari buku setebal 222 halaman ini yakni beragam kisah tentang tumbuhan lokal yang digunakan sebagai obat. Di Toraja, daun sarambu allo (daun kirinyuh, Chromolaena odorata) dipercaya ampuh menyembuhkan luka yang tak kunjung sembuh hingga bisul. Sementara di Nabire, urang-aring (Eclipta prostrata) atau akadapi boo dalam sebutan lokal dikenal bukan hanya sebagai penyubur rambut, tapi juga penawar batuk kering.
Tim Bulukumba menemui sanro di Desa Kahayya, desa tertinggi di Bulukumba, bernama Kakek Tepu yang sehari-hari membantu perempuan di awal kehamilan dan jelang persalinan. Ia memberi ramuan berisi campuran daun bandotan (Ageratum conyziodes) dan bunga basah (Impatiens flaccida arn) untuk diminum oleh ibu hamil. Untuk penyakit lain, Kakek Tepu mengolah bandotan bersama daun lambu-lambu (Triadica sebifera) serta daun asam (Tamarindus indica)
2. Buku ini juga menjelaskan tentang upaya untuk terus menjaga pengobatan tradisional untuk terus hidup
Tak hanya perihal khazanah obat-obatan tradisional, buku "Ramuan di Segitiga Wallacea" turut mengangkat isu kesenjangan akses layanan kesehatan. Penduduk Desa Kahayya perlu waktu sejam perjalanan untuk mencapai Puskesmas terdekat lantaran kondisi jalur darat yang buruk. Saluran telekomunikasi pun tidak banyak membantu. Ketika jarak menghalangi masyarakat, Pung Mato sang tetua desa mengambil posisi sebagai tabib sekaligus penjaga tradisi.
Di sisi lain, turut pula cerita tentang upaya agar tradisi ini terus dijaga. Di Kabupaten Pangkep, seorang sanro bernama Daeng Caddi bercerita bahwa ia mengalami serangkaian kejadian mistis saat diwarisi kemampuan pengobatan dari mendiang neneknya. Lalu ada kisah Bapa Niko di Labuan Bajo, yang mengaku belajar sendiri pengetahuan tentang hal tersebut saat muda lantaran pernah menderita penyakit disentri.
Salah satu tulisan dalam buku ini juga berfokus Bunda Iin yang masih menjalankan toko obat-obatan China di Makassar, saat usaha sejenis lain mulai bertumbangan satu per satu karena tak diteruskan oleh keturunan. Turut pula perihal bagaimana proses asimilasi orang Tionghoa di Kota Daeng yang prosesnya berlangsung sejak abad ke-17, termasuk ciri khas dari masing-masing suku mulai dari Kheq hingga Hainan.
3. Pengobatan tradisional disebut sebagai salah satu bentuk penghormatan pada alam
Pengobatan tradisional, kendati lekat dengan kearifan lokal, tak luput dari sentuhan ilmiah. Sebanyak 15 penulis dan 21 komunitas secara langsung meneliti seluk beluk praktik ini, bahkan menyertakan kaidah ilmiah dalam pemaparannya. Beberapa hasil penelitian tentang kandungan tumbuhan turut dijabarkan, seperti penjelasan bahwa daun kelor (Moringa oleifera) memiliki potensi sebagai pelindung organ hati (hepatoprotektor).
Pandemi COVID-19 sendiri secara tidak langsung kembali membuka mata masyarakat terhadap kekayaan medis kuno Nusantara. Hal ini terlihat dari pengalaman Agustina Pala'langan, warga Desa Pangden, Toraja Utara, yang menggunakan rebusan daun tina' (Sterculia monosperma, kacang kelaci) sebagai penangkal virus SARS-CoV-2.
"Ragam bahan pengobatan yang mereka pakai dalam resep mereka adalah tulen berbahan alam, yang memerlukan proses khidmat: mulai menanam, memelihara, dan penghormatan terhadap alam," tulis Direktur Makassar Biennale, Anwar "Jimpe" Rachman, dalam kata pengantar buku "Ramuan di Segitiga Wallacea". "Momentum besar ini telah memberi kita kesempatan untuk menengok jauh ke dalam, kekayaan Nusantara yang tak terpemanai," sambungnya.
4. Terobosan dunia farmasi modern banyak yang berangkat dari hasil penelitian kandungan tanaman herbal
Pernyataan Anwar "Jimpe" Rachman, tentang kekayaan pengobatan tradisional Nusantara diperkuat oleh Yusnita Rifai, dosen Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Menurut Yusnita, pengobatan tradisional adalah kearifan lokal yang tak terpisahkan dari melimpahnya sumber daya alam di bumi Khatulistiwa. Ia turut menekankan relevansi pengobatan tradisional dalam dunia farmasi modern yakni berangkat dari hasil penelitian atas kandungan tanaman herbal.
"Sembilan puluh persen obat sintetik yang dijual di pasaran saat ini berasal dari hasil modifikasi struktur bahan alam yang memang terbukti bermanfaat sebagai obat," jelasnya saat diwawancarai IDN Times pada 2021.
"Tanaman herbal (yang) dikelola menjadi jamu, herbal terstandar dan fitofarmaka pada umumnya berkhasiat sebagai obat preventif (pencegah), promotif (promosi kesehatan) dan paliatif (peningkatan kualitas hidup pasien). Sebagian lagi dengan riset mendalam itu bermanfaat sebagai obat kuratif (penyembuh)," imbuhnya.
Melihat potensi besar ini, Yusnita sangat mendukung penelitian dan dokumentasi aktivitas pengobatan alternatif secara ilmiah dan sesuai kaidah sains, seperti yang dilakukan oleh tim penulis "Ramuan di Segitiga Wallacea". Menurutnya, hal ini bisa membuka jalan bagi riset mendalam agar industri memahami peluang dari obat-obatan herbal. Tapi, ia tetap memberi catatan khusus.
"Penggunaan obat-obat tradisional sebaiknya proporsional dan disesuaikan dengan respons biologis tubuh. Dosis yang digunakan harus tepat dan dibarengi dengan konsumsi makanan bergizi, olahraga dan istirahat yang cukup," tutupnya.