Foto Masjid Jami' Tua Bua pada dekade 1940-an, salah satu masjid tertua Sulawesi Selatan yang berada di Kabupaten Luwu. (Dok. Pemerintah Desa Tanarigella)
Menurut sejarawan Siodja Dg. Mallondjo dalam buku "Kerajaan Luwu (Catatan Tentang Sawerigading, Sistem Pemerintahan dan Masuknya Islam)" (Komunitas Kampung Sawerigading dan Pemerintah Kota Palopo, 2004), tujuan Datuk Tellue adalah Malangke yang tak lain ibu kota Kerajaan Luwu saat itu. Tetapi perahu lebih dulu membawa mereka merapat ke desa pesisir Bua bernama Pandoso.
Setelah tiba, Datuk Tellue menyampaikan pesan pada warga setempat bahwa mereka ingin bertemu penguasa setempat (Maddika Bua). Alih-alih langsung ditemui, ia lebih dulu mengutus cendekiawannya yang bernama Langkai Buku-Buku untuk menyambut. Setelah sang utusan kembali dan menerangkan maksud kedatangan ketiganya, Maddika Bua disebut teringat pada mimpi bahwa ada tiga matahari menyinari daerah kekuasaannya.
Singkat cerita, Maddika Bua menyatakan kesediaan mengantar Datuk ri Bandang serta tiga rekannya ke Malangke. Ia pun turut meminta disyahadatkan, namun tak ingin diketahui oleh Datuk (Raja) Luwu saat itu yakni La Patiware' Daeng Parebung. Sejak itu, Maddika Bua bergelar Tandi Pau (tak boleh diucapkan). Akan tetapi, statusnya sebagai pemeluk Islam di Tanah Luwu membuatnya dijuluki Assalangnge (sang pemula).
Sebelum bertolak ke Malangke, Datuk Tellue bersama warga setempat mendirikan tempat ibadah di Tana Rigella kira-kira di tahun 1600 (menurut beberapa versi, 1594 atau 1604). Tempat itulah yang kini disebut sebagai Masjid Jami' Tua Bua.