Litograf buatan L. van Leer & Co. yang menggambarkan aktivitas pasar di Sulawesi Selatan pada abad ke-18. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)
Rumah jahanam milik La Maloroseng dipindahkan dua kali setelah terusir, sebelumnya akhirnya ditempatkan tepat di tengah pasar Belawa. Di sini, tindakan keji La Maloroseng semakin menjadi-jadi. Ia mulai memaksa perempuan yang sedang berbelanja untuk masuk ke dalam rumahnya.
Julukan rumah pun berganti menjadi Lasirenda (Si Kelambu Renda), sesuai dengan pertanda saat La Maloroseng akan melakukan aksi kejinya : memasang kelambu. Kemarahan rakyat kembali memuncak. Mereka bersama Arung Belawa Barat dan para Matowa Belawa menyerbu dan merobohkan Lasirenda.
"Wahai Arung Laja (Raja Asusila)! Karena sifat-sifatmu itu, maka gendangmu kini ditabuh. Kami merubuhkan barugamu karena engkau menjadikan tempat ini untuk berbuat tidak senonoh," tegas salah seorang Matowa saat kejadian itu.
Mengakhiri cerita keji ini, Puwatta Masuwangnge pun diusir. Tapi untuk selama-lamanya, tak ada lagi kesempatan untuk meminta maaf.
Akhirnya, Arung Belawa Masuwangnge menyerah. Bersama dengan istri dan anaknya ia terpaksa turun dari rumahnya sambil menutup wajah dan kepalanya dengan sarung. Air matanya bercucuran saat meninggalkan rumahnya. Raja itu menyesali perbuatannya. Akhirnya dia berjalan tak berhenti menuju kampung Bulu Cenrana tempat saudaranya memerintah.