Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisah Rakyat Sulsel Menghukum Raja Pelaku Kekerasan Seksual

Ilustrasi kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada tahun 1931. (AnonymousUnknown author, Dansers tijdens festiviteiten, Zuid-Celebes, KITLV 30097, CC BY 4.0)
Ilustrasi kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada tahun 1931. (AnonymousUnknown author, Dansers tijdens festiviteiten, Zuid-Celebes, KITLV 30097, CC BY 4.0)

Makassar, IDN Times - Sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan tak cuma dipenuhi kisah heroik dan kepahlawanan, tapi juga mencatat biadabnya para pemimpin saat mabuk kekuasan. Beberapa raja yang memerintah pada masa lampau terjerumus dalam tindakan zalim, menjadi catatan hitam.

Zalimnya pemerintahan raja-raja itu tertulis abadi dalam lontara, sebagai bahan informasi dan pelajaran untuk anak cucu kelak. Secuplik di antaranya menjadi bab pembuka buku Assikalabineng: Kitab Persetubuhan Bugis (Ininnawa, 2017) yang ditulis oleh Muhlis Hadrawi, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin.

1. Zalimnya kehidupan Raja Bone ke-8, La Inca, diabadikan dalam catatan sejarah

Ilustrasi pemandangan Sungai Cenrana yang berada di Desa Pampanua yang kini menjadi wilayah Kabupaten Bone antara tahun 1900 hingga 1940. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)
Ilustrasi pemandangan Sungai Cenrana yang berada di Desa Pampanua yang kini menjadi wilayah Kabupaten Bone antara tahun 1900 hingga 1940. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)

Salah satu raja tersebut Raja Bone (Arumpone) VIII, La Inca Matinroe ri Addenenna, yang memerintah dari 1564 hingga 1565. La Inca dicatat sebagai penguasa zalim karena melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk mereka yang sudah bersuami.

Menurut A. Rahman Rahim dalam buku Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Penerbit Ombak, 2011), La Inca suatu ketika tertangkap basah sedang melakukan kejahatan terhadap seorang perempuan bersuami. Ketika mendapat peringatan dari pendamping hidup si perempuan, La Inca justru mengancam akan membunuh sang suami.

Tak tahan dengan kejahatan keji yang terus dilakukan, Dewan Adat Bone akhirnya memutuskan untuk melucuti gelar Arumpone. Masa kekuasaan La Inca hanya setahun, itu pun berakhir dengan pemakzulan. Tapi, kisah kejahatan La Inca belum berhenti sampai di sini.

2. Rakyat Bone bekerja sama dengan bangsawan untuk menghukum kejahatan La Inca

Ilustrasi aktivitas masyarakat Bone, Sulawesi Selatan, pada dekade 1900-an. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)
Ilustrasi aktivitas masyarakat Bone, Sulawesi Selatan, pada dekade 1900-an. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)

La Inca ternyata tetap melakukan kekerasan seksual meskipun sudah tidak lagi menjabat sebagai Raja Bone. Ini membuat rakyat naik pitam, sementara para bangsawan menganggap perilakunya telah melampaui batas. Kesepakatan pun tercapai : tidak ada lagi ampun bagi La Inca.

Dalam sebuah riwayat, bangsawan Lalebbata dan Arung Majang bersama rakyat, menyeret La Inca ke tangga Istana Bone. Ia kemudian dibunuh secara brutal dengan cara ditumbuk beramai-ramai, kemungkinan besar menggunakan alu/lesung sebagai alat eksekusi.

Namun, versi lain seperti yang diceritakan dalam buku Sejarah Bone karya Muhammad Sikki (Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1989). Disebutkan bahwa La Inca tewas di tangan kakeknya sendiri yakni Arung Mattajang.

Saat melihat La Inca duduk bersandar di tangga istana setelah mengamuk lantaran hal sepele, Arung Mattajang mengakhiri hidup cucunya dengan menghunus badik. Arung Mattajang sadar bahwa ia harus mengakhiri hidup bangsawan tiran yang memberi kesengsaraan bagi rakyat Bone dengan tangannya sendiri.

3. Kekerasan seksual juga dilakukan oleh Arung Belawa Timur yakni La Maloroseng

Ilustrasi suasana salah satu desa di Wajo, Sulawesi Selatan, antara tahun 1900 hingga 1940. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)
Ilustrasi suasana salah satu desa di Wajo, Sulawesi Selatan, antara tahun 1900 hingga 1940. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)

Di wilayah Wajo, kisah serupa juga terjadi dengan seorang raja bernama La Maloroseng, penguasa Belawa Timur. Raja ini dikenal dengan gelar Petta Masuwangnge atau "tuan yang buas", menggambarkan kekejamannya. Muhlis Hadrawi menerjemahkan cerita La Maloroseng langsung dari Lontara Belawa yang tersimpan dalam koleksi Arsip Nasional.

Dalam lontara tersebut, La Maloroseng digambarkan sebagai penguasa yang memanfaatkan kekuasaannya untuk berbuat jahat. Ia memerintahkan bawahannya untuk membangun sebuah rumah di perbatasan kampung. Saat hari pasar tiba, La Maloroseng mencegat perempuan-perempuan yang hendak berbelanja. Perempuan bernasib nahas tersebut dipaksa naik ke rumahnya untuk bersenggama.

Rumah jahanam itu diberi julukan La Mate' atau "Si Gatal," mencerminkan makna kejinya. Tindakan zalim La Maloroseng akhirnya memicu kemarahan warga Belawa. Mereka mengadukan perilaku raja tersebut kepada Arung Belawa Barat. Setelah mendapat nasehat, La Maloroseng mengabulkan permintaan tersebut. Tapi, ia tak kunjung sadar.

4. Lantaran tetap berbuat keji, rakyat Belawa Timur sepakat mengusir La Maloroseng selamanya

Litograf buatan L. van Leer & Co. yang menggambarkan aktivitas pasar di Sulawesi Selatan pada abad ke-18. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)
Litograf buatan L. van Leer & Co. yang menggambarkan aktivitas pasar di Sulawesi Selatan pada abad ke-18. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)

Rumah jahanam milik La Maloroseng dipindahkan dua kali setelah terusir, sebelumnya akhirnya ditempatkan tepat di tengah pasar Belawa. Di sini, tindakan keji La Maloroseng semakin menjadi-jadi. Ia mulai memaksa perempuan yang sedang berbelanja untuk masuk ke dalam rumahnya.

Julukan rumah pun berganti menjadi Lasirenda (Si Kelambu Renda), sesuai dengan pertanda saat La Maloroseng akan melakukan aksi kejinya : memasang kelambu. Kemarahan rakyat kembali memuncak. Mereka bersama Arung Belawa Barat dan para Matowa Belawa menyerbu dan merobohkan Lasirenda.

"Wahai Arung Laja (Raja Asusila)! Karena sifat-sifatmu itu, maka gendangmu kini ditabuh. Kami merubuhkan barugamu karena engkau menjadikan tempat ini untuk berbuat tidak senonoh," tegas salah seorang Matowa saat kejadian itu.

Mengakhiri cerita keji ini, Puwatta Masuwangnge pun diusir. Tapi untuk selama-lamanya, tak ada lagi kesempatan untuk meminta maaf.

Akhirnya, Arung Belawa Masuwangnge menyerah. Bersama dengan istri dan anaknya ia terpaksa turun dari rumahnya sambil menutup wajah dan kepalanya dengan sarung. Air matanya bercucuran saat meninggalkan rumahnya. Raja itu menyesali perbuatannya. Akhirnya dia berjalan tak berhenti menuju kampung Bulu Cenrana tempat saudaranya memerintah.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ach. Hidayat Alsair
3+
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us