Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang pria sedang sedih.
Ilustrasi Keadaan Laki-laki yang Membuatnya Tidak Lagi Merasa Berguna. (pexels.com/Nicola Barts)

Dalam perjalanan hidupnya, banyak laki-laki belajar untuk mengukur nilai dirinya dari seberapa besar ia mampu memberikan, menanggung, dan menyelesaikan sesuatu. Masyarakat sering menanamkan gagasan bahwa seorang laki-laki baru dianggap berharga ketika ia kuat, produktif, dan bermanfaat bagi orang lain. Nilai diri mereka sering kali tidak hanya dibangun dari dalam, tetapi juga dari hasil yang bisa dilihat orang lain.

Ketika keadaan hidup berubah dan kemampuan mereka terganggu, rasa tidak berguna itu dapat muncul tanpa disadari, pelan namun menikam dari dalam. Perasaan tidak lagi berguna bukan selalu disebabkan oleh kelemahan pribadi, melainkan oleh benturan antara ekspektasi dan realitas. Banyak laki-laki menyimpan kecemasan, kegagalan, atau kehilangan sendirian karena merasa tidak pantas menunjukkan kerentanan.

Dari sudut pandang psikologi, kondisi ini dapat mengikis harga diri, memicu stres, dan menyebabkan distorsi kognitif tentang siapa mereka sebenarnya. Kerap kali, titik terendah ini justru menjadi momen refleksi: apakah nilai diri benar-benar datang dari apa yang bisa diberikan, atau dari siapa seseorang itu sebagai manusia?

Berikut 5 keadaan laki-laki yang membuatnya tidak lagi merasa berguna.

1. Ketika kehilangan pekerjaan atau penghasilan

Ilustrasi tanda kalau kamu sudah waktunya berhenti mengejar. (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Kehilangan pekerjaan bagi banyak laki-laki bukan hanya hilangnya sumber uang, tetapi juga hilangnya identitas. Sebagian besar pria tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka harus menjadi penyedia utama, sehingga ketika pekerjaan hilang, mereka seolah kehilangan peran di dunia. Secara psikologis, kondisi ini dapat memicu role confusion, yaitu kebingungan terhadap posisi dan makna diri, yang membuat seseorang merasa tidak lagi berarti.

Selain itu, situasi ini kerap melahirkan rasa malu, kecemasan, dan takut menjadi beban bagi keluarga. Laki-laki sering menyembunyikan emosinya dan mencoba bertahan sendiri, sehingga tekanan internal semakin menumpuk. Keterasingan emosional inilah yang memperdalam rasa tidak berguna, padahal yang sebenarnya hilang hanyalah situasi, bukan nilai diri.

2. Ketika tidak mampu memenuhi ekspektasi keluarga

Ilustrasi Keadaan Laki-laki yang Membuatnya Tidak Lagi Merasa Berguna. (pexels.com/Nicola Barts)

Ekspektasi keluarga, baik sebagai anak sulung, suami, atau ayah, sering menjadi sumber beban psikologis. Banyak laki-laki merasa gagal ketika mereka tidak dapat menyediakan rasa aman, stabilitas, atau keputusan yang tepat untuk keluarganya. Ketidaksesuaian antara harapan dan kemampuan dapat memicu self-blame yang keras, membuat mereka merasa tidak layak memimpin atau membimbing.

Dalam psikologi, situasi seperti ini sering berhubungan dengan konsep conditional self-worth, yaitu nilai diri yang hanya muncul ketika seseorang memenuhi ekspektasi. Akibatnya, ketika mereka gagal sekali saja, persepsi tentang nilai diri langsung runtuh. Padahal, manusia tidak pernah ditakdirkan untuk selalu sempurna, dan keluarga tidak membutuhkan kesempurnaan, namun mereka membutuhkan kehadiran dan ketulusan.

3. Ketika merasa tidak punya tempat untuk bercerita

Ilustrasi Sinyal Tubuh yang Sering Muncul saat Kamu Butuh Istirahat Mental. (pexels.com/Nathan Cowley)

Banyak laki-laki dibesarkan dalam lingkungan yang membuat mereka sulit mengungkapkan perasaan. Mereka diajarkan untuk “kuat”, “diam”, atau “selesaikan sendiri.” Ketika beban hidup datang bertubi-tubi, mereka tidak tahu harus mengadu ke siapa, dan tidak yakin apakah emosinya valid untuk dibagikan. Kondisi inilah yang menciptakan emotional isolation, yaitu kesepian yang bahkan tidak disadari.

Dari sisi psikologi sosial, manusia membutuhkan koneksi emosional untuk merasa berharga. Ketika laki-laki tidak memiliki ruang aman untuk terbuka, mereka mulai percaya bahwa perasaan mereka tidak penting. Keyakinan keliru ini perlahan mengikis harga diri, membuat mereka merasa tidak dibutuhkan, padahal sebenarnya mereka hanya tidak memiliki tempat untuk pulang secara emosional.

4. Ketika gagal dalam hubungan atau tidak mampu menjaga kestabilannya

Ilustrasi teknik penyelesaian masalah yang tidak menimbulkan dendam. (pexels.com/Timur Weber)

Gagal menjaga hubungan romantis sering kali menjadi pukulan besar bagi laki-laki. Banyak pria tidak terbiasa memproses kehilangan, sehingga kegagalan dalam cinta bisa mengganggu identitas mereka sebagai pasangan yang mampu memberi cinta, perhatian, atau stabilitas. Mereka cenderung menginternalisasi kegagalan, menyimpulkan bahwa dirinya tidak mampu mencintai atau dicintai dengan benar.

Dalam teori psikologi, kondisi ini berkaitan dengan attachment wound, yaitu luka keterikatan yang mempengaruhi cara seseorang memandang dirinya dalam hubungan. Ketika luka ini muncul, laki-laki sering menilai dirinya dari sudut yang paling keras dan paling gelap. Padahal, gagal dalam satu hubungan bukan bukti bahwa seseorang tidak layak; itu hanya tanda bahwa hubungan itu membutuhkan proses yang berbeda.

5. Ketika merasakan kelelahan hidup yang berkepanjangan

Ilustrasi Mitos tentang Skizofrenia yang Harus Diluruskan. (pexels.com/Mikhail Nilov)

Ada fase dalam hidup di mana laki-laki merasa lelah bukan hanya secara fisik, tetapi secara emosional dan mental. Rutinitas yang monoton, tekanan hidup yang panjang, atau beban tanggung jawab yang tidak pernah berhenti dapat menciptakan kondisi burnout. Dalam fase ini, seseorang kehilangan motivasi, merasa kosong, dan tidak lagi melihat dirinya sebagai pribadi yang bermanfaat.

Dari kacamata psikologi, burnout yang tidak ditangani dapat merusak persepsi diri. Individu mulai merasa kontribusinya tidak berarti, usahanya tidak dihargai, dan kehadirannya tidak berdampak bagi siapa pun. Padahal, rasa lelah bukan bukti ketidakbergunaan, itu hanyalah tanda bahwa seseorang sudah terlalu lama menanggung terlalu banyak sendiri.

Itulah 5 keadaan laki-laki yang membuatnya tidak lagi merasa berguna.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team