Jalloq, Saat Seseorang Gelap Mata untuk Pertahankan Harga Diri

Makassar, IDN Times - Dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, terdapat sebuah tindakan yang dikenal sebagai Jalloq atau Ajjalloq, yang berarti "amuk" atau "majalloq" dalam bentuk kata kerja. Jika diterjemahkan secara sederhana, jalloq sering dikaitkan dengan kekerasan. Tapi, dari perspektif tradisional, tindakan ini memiliki makna yang lebih dalam : amukan untuk memulihkan harga diri.
"Peristiwa ini (jalloq/ajjalloq) terjadi karena siri' dan passe atau harga diri," kata sejarawan Universitas Negeri Makassar (UNM) Basri saat diwawancarai IDN Times pada Februari 2021.
Untuk memahaminya lebih baik, mari membaca salah satu petikan falsafah hidup masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Barat (Sulbar) :
Siri'ji nanimmantang attalasa' ri linoa, punna tenamo siri'nu matemako kaniakkangngami angga'na olo-oloka.
Hanya karena rasa malu kita bisa hidup di dunia ini. Kalau rasa malu itu sudah hilang maka lebih baik mati karena engkau tak berarti lagi sama sekali, bahkan binatang lebih berharga dibanding dirimu.
1. Berasal dari persepsi masyarakat Bugis-Makassar dalam menegakkan harga diridengan cara apapun

Kenapa masyarakat Sulsel dan Sulbar? Sebab kata jalloq juga ditemukan dalam kosakata bahasa daerah mereka dengan arti yang sama, yakni amuk. Masing-masing pada Kamus Bahasa Mandar - Indonesia (Depdikbud, 1977), Kamus Umum Bahasa Mamuju (FIB Unhas, 2018), Kamus Bahasa Bugis - Indonesia (Depbikbud, 1977) dan Kamus Makassar - Indonesia (YAPIK DDI, 1995).
Sejarawan Leonard Y. Andaya dalam bukunya The Heritage of Arung Palakka (Springer, 1981) juga membahas konsep siri' dan pesse (Bugis) atau pacce (Makassar). Menurut Andaya, siri' adalah konsep yang mencakup gagasan tentang harga diri dan rasa malu.
"Tidak ada kontradiksi dalam istilah-istilah tersebut, karena rasa malu menyiratkan konsepsi oleh individu tentang harga dirinya sendiri, yang darinya muncul martabatnya," tulis Andaya.
Jika sebuah peristiwa membuat seseorang merasa malu (masiri'), maka ia diharapkan segera mengambil tindakan untuk memulihkan harga diri yang telah tercemar. Stigma yang melekat pada seseorang tanpa siri' sangat besar sehingga nyawa pun bisa dikorbankan demi menghilangkan rasa malu. Bahkan, ada pepatah Bugis-Makassar yang mengatakan lebih baik mati mempertahankan siri' (mate ri siri'na) daripada hidup tanpa siri' sama sekali (mate siri').
"Persepsi dan stigma masyarakat Bugis-Makassar sebagai tanggapan langsung terhadap orang yang dijadikan siri' memaksa individu melakukan tindakan yang bagi orang luar tampak tidak rasional, membabi buta, dan bahkan bunuh diri," lanjut Andaya.
2. Sejarah mencatat banyak peristiwa ajalloq terjadi karena masalah sepele

Sejarawan Amrullah Amir dalam tesisnya, Penguasa Kolonial, Bangsawan dan Orang-orang Makassar: Perubahan Sosial dan Budaya Politik di Gowa 1906-1942, menceritakan pengalaman seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Watampone, ibu kota Kerajaan Bone, mengenai insiden terkait jalloq.
Herman Jan Friedricy (1900-1962), kontrolir tersebut, sangat terkejut saat mengunjungi rumah sakit di Watampone pada 22 Juli 1922. Ia melihat seorang pria terbaring lemah dengan tubuh penuh perban, serta beberapa orang lainnya sedang dirawat di ruang bangsal.
Kaget, Friedricy bertanya apa yang menyebabkan hal ini. Salah satu keluarga pasien menjelaskan bahwa ini adalah akibat dari amukan seorang pria yang buang angin di pesta pernikahan dan merasa sangat malu. Friedricy pun tercengang mendengarnya.
Dalam catatannya, Friedricy menulis bahwa insiden jalloq ini terjadi di kampung Ujung Lamuru. Pada malam hari, setelah sebuah pesta pernikahan selesai dan para tamu bersiap untuk pulang, seorang tamu buang angin dengan suara keras.
Para tamu tertawa mendengarnya, tapi tamu yang buang angin merasa sangat malu. Dalam keadaan minim penerangan, ia mengamuk dengan badik secara membabi buta. Delapan orang meninggal dunia akibat perbuatan tesebut, dan banyak lagi menderita luka-luka serius.
3. Tak cuma di Sulsel, fenomena serupa juga terjadi di daerah Asia Tenggara lainnya

Fenomena jalloq seperti di Sulsel bisa ditemukan juga di daerah Asia Tenggara lainnya. Sejumlah pelancong asal Eropa di Asia kadang-kadang melaporkan tentang amuk saat berperang. Itu adalah momen saat tentara yang sudah terpojok tiba-tiba gelap mata sehingga sangat mengagetkan musuh mereka. Hasilnya, antara menang atau kalah/gugur secara terhormat.
Pelancong asal Portugal, Tomé Pires, dalam bukunya Suma Oriental mencatat fenomena berdasar perselisihan tersebut saat datang pada tahun 1513. Ia menyebut beberapa orang kerap melakukannya saat mabuk, dan bahkan dilakukan dari masyarakat biasa hingga kaum bangsawan.
Petugas utusan Kerajaan Portugal, Duarte Barbosa, ikut mencatatnya secara rinci saat bekerja di Malaka (kini bagian dari Malaysia) pada tahun 1514 :
"Mereka memiliki senjata yang sangat bagus dan bertarung dengan gagah berani. Ada di antara mereka yang, jika mereka jatuh sakit karena penyakit yang parah, bersumpah kepada Tuhan bahwa jika mereka sembuh, mereka akan mencari kematian yang lebih terhormat sebagai bentuk pengabdian pada-Nya. Segera setelah mereka sembuh, mereka mengambil belati di tangan mereka dan keluar ke jalan-jalan, membunuh siapa saja yang mereka temui, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, sedemikian rupa sehingga mereka pergi seperti anjing gila, membunuh sampai mereka sendiri terbunuh. Ini disebut amuk. Ketika orang-orang melihat mereka mulai melakukan ini, mereka berteriak, 'amuk, amuk', agar orang-orang dapat menjaga diri mereka sendiri, dan mereka membunuh mereka dengan tusukan belati dan tombak."
4. Jalloq /ajjalloq bisa membuat seseorang gelap mata dan membabi buta melakukan kekerasan

Kembali ke Sulsel, jalloq juga menjadi salah satu topik dalam seminar bertajuk Masalah Siri' di Sulawesi Selatan yang diadakan pada 13 Juli 1977 oleh tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Beberapa bulan sebelum seminar, tim peneliti mendapati sebuah insiden di Soppeng.
Seperti kejadian sebelumnya, seorang pria secara tidak sengaja buang angin di tengah kerumunan. Karena malu, ia mengeluarkan keris dan langsung menghunusnya sebagai gestur kemarahan.
Tak ada yang berani menatap pria yang menghunus keris tersebut, meskipun banyak dari mereka mungkin tidak mendengar suara buang angin itu. Setibanya di rumah, rasa malunya belum hilang. Akibatnya, ia meminta istrinya mengoleskan lada di duburnya sebanyak mungkin.
Seperti yang dijelaskan Andaya sebelumnya, amuk atau jalloq seolah menjadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah sosial dan adat yang berkaitan dengan harga diri. Nyawa diri sendiri dan orang lain bisa terancam karena hal ini.
5. Salah satu dari ekspresi jalloq/ajjalloq adalah tarung dalam sarung (sigajang ri laleng lipa)

Namun, jalloq sebagai bentuk pemulihan harga diri tidak selalu berupa amukan membabi buta terhadap orang sekitar. Masyarakat Bugis-Makassar memiliki cara lain yang lebih privat pada masalah yang tak kalah gentingnya.
"Di zaman klasik atau feodal, bentuk ajjallo karena siri' adalah sigajang ri laleng lipa, yaitu saling tikam dalam satu sarung yang sama," jelas Bahri dalam wawancaranya. Biasanya, cara ini ditempuh jika perselisihan antara dua orang tidak mencapai titik temu meskipun upaya damai telah dilakukan.
Bahri menjelaskan bahwa ajjallo' juga bisa terjadi karena silariang, yakni ketika kedua calon mempelai yang tidak mendapat restu memutuskan untuk kabur bersama. Saudara atau orang tua dari pengantin kemudian mengamuk dan menganiaya calon pengantin hingga meninggal dunia.
Menurut mendiang sejarawan Mattulada dalam buku Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (Hasanuddin University Press, 1998), orang Bugis-Makassar hidup dalam sistem norma dan aturan adat yang dianggap luhur dan keramat, yang disebut "pangngadereng".
6. Masuknya Islam pada abad ke-15 mulai mengubah cara pandang tentang bentuk penebusan siri' yang ekstrem

Ada empat poin utama dalam pangngadereng : ade' (aturan-aturan kehidupan masyarakat), bicara (aturan peradilan dalam arti luas), rapang (aturan yang ditetapkan dengan membandingkan keputusan-keputusan sebelumnya atau keputusan adat di negeri tetangga), dan wari' (sistem yang mengatur batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan peran dan kewajiban setiap orang).
Ketika Islam masuk ke Sulsel pada abad ke-16, sara' menjadi poin kelima dari pangngadereng ini. Sara' (serapan kata "syariat") merujuk pada hukum-hukum agama Islam, menunjukkan akulturasi antara nilai religius dan lokal.
Menurut Mattulada, siri' mendorong kepatuhan terhadap pangngadereng, dan orang Bugis-Makassar melaksanakan semua poin pangngadereng untuk mencapai siri' atau martabat. Ada sebuah falsafah Bugis lama yang berbunyi "utettong ri ade'é najagainnami sirikku," yang berarti, saya taat kepada adat demi menjaga harga diri saya.
Kelima unsur pangngadereng tersebut dapat menimbulkan efek, seperti pembunuhan atau ajjallo, karena adanya siri'. Sebelum dikucilkan dan martabat tercemar, jalloq menjadi opsi yang mau tak mau harus ditempuh.
Namun, kehadiran ajaran Islam perlahan mengendalikan aksi jalloq. Khair Khalis Syurkati dalam makalahnya yang berjudul Memahami Konsep 'Siri' Na Pesse' sebagai Identitas Orang Bugis Makassar menjelaskan bahwa kehadiran ajaran agama Islam membuat penebusan siri' dalam bentuk ekstrem seperti penganiayaan mulai dipandang melampaui batas norma dan hukum yang berlaku.