Jalan Panjang Para Korban Westerling di Sulsel Mencari Keadilan

Makassar, IDN Times - Aksi polisionil berdarah regu Depot Specialen Troepen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan, pada Desember 1946 hingga Maret 1947, seolah tak ada habisnya dibahas. Cerita saksi mata pembantaian pun selalu mengundang simpati, dan bahkan kemarahan.
Upaya mencari keadilan sebenarnya sudah dimulai sejak dekade 1950-an, atau ketika cerita aksi Westerling di Sulsel mulai dibahas media-media Eropa. Kapten didikan Inggris itu nyaris ditangkap oleh militer Indonesia di Tanjung Priok Jakarta. Saat itu ia hendak kabur menggunakan pesawat amfibi Kerajaan Belanda pada Januari 1950.
Namun, unit khusus bentukan intelijen APRIS kalah gesit dibanding jurus langkah seribu milik "Si Turki", julukan Westerling. Dalam pelariannya, ia sempat menetap cukup lama di Singapura.
1. Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta, sudah mengupayakan mengekstradisi Westerling yang kabur ke Singapura
Kabar Westerling sedang ngaso di Singapura kontan membuat murka para anggota DPR. Mereka bertanya pada kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) perihal langkah diplomatik apa yang bisa ditempuh. Ini demi menyeret Westerling untuk dihakimi di bawah yurisdiksi dalam negeri.
Mohammad Hatta, Perdana Menteri RIS, dalam sidang pleno tanggal 11 Maret 1950 menjabarkan bahwa pemerintah ingin menahan Westerling sebagai individu yang melakukan kejahatan kemanusiaan. Ini sekaligus menampik kemungkinan melihat kasus ini dari perspektif politis kental.
"Westerling tidak dapat kita anggap sebagai politikus. Tapi di belakangnya mungkin ada gerakan yang menggunakan dia sebagai pion untuk melakukan (hal) yang berdasarkan politik," ungkap Hatta menjawab pertanyaan Basri, seorang anggota DPR RIS asal Sulsel.
"Yang kita akan kemukakan ke pemerintah Inggris (waktu itu Singapura masih dibawahi langsung oleh Inggris, red.) ialah, bahwa kita akan mengadilinya sebagai orang yang melakukan (tindak) kriminal biasa," lanjut Hatta.