Makassar sudah tertera dalam peta perdagangan laut dunia sejak abad ke-16. Para saudagar dari Melayu, China, India, Portugis, Inggris, dan Belanda silih berganti merapat ke Bandar Mengkasar demi melakukan transaksi ekonomi. Mereka bahkan diizinkan mendirikan perwakilan dagang sebagai bentuk itikad baik penguasa setempat menjalin kerja sama lebih jauh.
Situasi tentram kemudian berubah seabad selanjutnya, tepatnya tahun 1615 sampai 1655. VOC, salah satu serikat dagang penting, berusaha menerapkan monopoli perdagangan. Sikap tersebut terang saja mendapat penolakan. Meletuslah Perang Mengkasar yang berujung pada Perjanjian Bongaya.
Kebesaran VOC di Nusantara runtuh pada 1799 akibat korupsi parah, biaya perang selangit, hingga salah administrasi. Kekuasaan VOC kemudian dioper ke Kerajaan Belanda, lalu terbentuklah Hindia-Belanda. Alih-alih melaksanakan prinsip perdagangan bebas seperti yang diteken bersama Kerajaan Inggris dalam Konvensi London 1814 dan Traktat London 1824, pemerintah kolonial di Batavia malah berusaha meneruskan taktik monopoli warisan VOC, yang menggurita selama lebih dari 200 tahun.
Buku ini adalah kajian panjang perihal kebijakan Hindia Belanda dalam perdagangan Makassar sepanjang abad ke-19. Dalam 348 halaman, sejarawan Edward L. Polinggomang menjabarkannya secara rinci, mulai dari penyerahan koloni VOC kepada Kerajaan Belanda, kala Makassar ditetapkan sebagai pelabuhan wajib pajak hingga soal letak geografis, perkembangan awal bandar Makassar, serta perkembangan dan tantangannya.
Ada dua pertanyaan yang hendak dijawab buku ini, yaitu perihal iklim ekonomi Makassar yang sontak suram entah di bawah pengawasan VOC atau Hindia Belanda. Kedua, alasan Hindia Belanda seolah enggan melaksanakan dagang bebas.