Mengenal Performative Activism dan Bedanya dengan Genuine Activism 

Boleh jadi aktivis, tapi jangan hanya mengikuti tren! 

Dunia sedang dipenuhi banyak permasalahan. Setiap hari, pastinya kita mendengar berita-berita tidak mengenakkan dari dalam maupun luar negeri. Karenanya, tidaklah mengherankan apabila ada banyak orang yang tergerak dalam menjadi aktivis dan menyuarakan apa yang mereka anggap sebagai hal yang benar.

Menjadi seorang aktivis memang tindakan yang mulia. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perangkap performative activism. Apakah kamu pernah mendengar istilah itu? Apa sih artinya dan bagaimana contohnya? Bagaimana bentuk aktivisme yang sebaiknya dilakukan? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini!

Baca Juga: 5 Akibat Kalau Kamu Gak Berani Berpendapat, Jangan Sepelekan!

1. Apa itu performative activism?

Mengenal Performative Activism dan Bedanya dengan Genuine Activism beberapa aplikasi media sosial (unsplash.com/Jeremy Bezanger)

Performative activism biasanya dikenal juga dengan istilah “aktivisme performatif” dalam Bahasa Indonesia. Istilah itu berarti tindakan yang hanya dilakukan untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa kamu mendukung sesuatu tanpa sebenarnya peduli pada masalah tersebut.

Orang yang melakukan aktivisme performatif ini tidak berusaha untuk mengedukasi diri mereka terhadap masalah terlebih dahulu. Biasanya mereka hanya akan mengikuti tren dan berpihak pada sisi yang lebih populer untuk didukung.

2. Apa contoh performative activism?

Mengenal Performative Activism dan Bedanya dengan Genuine Activism beberapa unggahan dengan tagar #BlackLivesMatter (dok. Pribadi/Helmi Elena)

Tidak masalah apabila bentuk aktivisme yang kamu lakukan baru terbatas pada mengunggah informasi di sosial media. Informasi memang bisa sangat membantu untuk membuka pengetahuan orang-orang mengenai masalah yang sedang terjadi. Namun, kalau kamu hanya membuat unggahan tanpa terlebih dahulu melakukan riset, maka itu bisa termasuk dalam aktivisme performatif.

Contoh yang paling viral bisa dilihat dalam gerakan Black Lives Matter tahun 2020 lalu. Beberapa orang secara tulus melakukan riset dan membagikan informasi mengenai masalah pembunuhan George Floyd. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak peduli pada masalah utama. Mereka hanya ikut tren dalam mengunggah gambar kotak hitam di media sosial demi terlihat mendukung gerakan Black Lives Matter tersebut.

3. Apa ciri-ciri performative activism?

Mengenal Performative Activism dan Bedanya dengan Genuine Activism ilustrasi menggunakan handphone (pexels.com/Eren Li)

Ciri utama orang yang melakukan aktivisme performatif adalah mereka tidak melakukan riset terlebih dahulu. Mereka hanya melihat apa yang sedang menjadi tren di media sosial kemudian mengikuti tren itu. Karenanya, biasanya orang-orang yang melakukan aktivisme performatif ini tidak bisa menjawab apabila ditanya alasan mereka melakukan dukungan tersebut.

Ciri lainnya adalah jika aktivisme itu dilakukan di media sosial, biasanya mereka tidak menunjukkan aktivisme itu di dunia nyata. Misalnya adalah ketika seseorang mengunggah bahwa mereka tidak rasis, tapi ternyata di kehidupan nyata mereka melakukan diskriminasi terhadap warna kulit. Contoh lainnya adalah jika seseorang di media sosial mengajak orang lain untuk memboikot produk tertentu padahal ia sendiri masih memakai produk tersebut.

4. Apa dampak performative activism?

Mengenal Performative Activism dan Bedanya dengan Genuine Activism handphone dan minuman (pexels.com/Tatiana Syrikova)

Secara sekilas, aktivisme performatif mungkin terlihat tidak berbahaya. Lagipula, bukankah bagus jika ada semakin banyak orang yang menunjukkan dukungan mereka terlepas dari apakah mereka serius atau tidak? Sayangnya, ternyata jika ditelusuri lebih jauh, aktivisme performatif ini bisa menimbulkan kerugiannya tersendiri.

Kembali pada masalah gerakan Black Lives Matter. Pada Juni 2020, secara serempak jutaan orang mengunggah gambar kotak hitam di Instagram mereka menggunakan tagar #BlackLivesMatter. Unggahan tersebut umumnya tidak memiliki informasi apa-apa. Ternyata, banyak unggahan tanpa informasi itu menutupi unggahan-unggahan dengan tagar sama yang memiliki informasi penting. Alhasil, aktivisme performatif yang dilakukan jutaan orang tersebut justru menghalangi orang-orang dalam mencari informasi yang penting seperti informasi donasi dan petisi.

5. Apa bedanya dengan genuine activism?

Mengenal Performative Activism dan Bedanya dengan Genuine Activism ilustrasi membaca berita (Pexels/Kaboompics.com)

Genuine activism – atau aktivisme yang dilakukan secara tulus – adalah kebalikan dari aktivisme performatif. Mereka yang melakukan genuine activism sudah melakukan riset terlebih dahulu. Mereka mengerti alasan masalah ini timbul dan tahu mengapa mereka mendukung sisi yang sedang mereka dukung.

Jika mereka melakukan aktivisme di media sosial, umumnya unggahan mereka bersifat informatif. Mereka dapat memberitahu informasi mendasar dan perkembangan dari masalah tersebut, tempat berdonasi, dan cara-cara lain agar orang lain bisa membantu. Orang-orang yang melakukan aktivisme secara tulus juga menerapkan apa yang mereka gaungkan di media sosial pada kehidupan nyata.

6. Bagaimana cara aktivisme yang benar?

Mengenal Performative Activism dan Bedanya dengan Genuine Activism ilustrasi sukarelawan (pexels.com/RODNAE Productions)

Perlu kita ingat bahwa aktivisme bisa dilakukan di mana saja. Kamu bisa melakukan protes dengan turun ke jalan? Itu sangat bagus! Kamu hanya bisa membuat unggahan di media sosial? Unggahan bisa mengedukasi banyak orang. Kamu tidak pandai dalam bermain media sosial? Masih ada banyak hal yang bisa dilakukan, seperti menyumbang kepada lembaga donasi terpercaya.

Hal yang paling penting dalam melakukan aktivisme secara benar adalah melakukan riset terlebih dahulu. Ketahui akar masalah yang sedang dibahas, kemudian pelajari kedua sisi pro dan kontra. Setelah kamu menentukan sisi yang ingin didukung, barulah kamu bisa melakukan sesuatu sesuai dengan kebutuhan sisi itu.

Menyuarakan hal yang menurutmu benar itu sangat terpuji. Namun, jangan sampai menjadi aktivis hanya demi mengikuti sebuah tren. Semoga poin-poin di atas bisa membantumu dalam menjadi genuine activists, ya!

Baca Juga: Berani Bersuara! 5 Nasihat dari Buku Selamat Tinggal Tere Liye

Helmi Elena Photo Community Writer Helmi Elena

Writer | Reader | Cat lover Yuk, mengobrol dengan saya di Instagram @coffeeandgraphite

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya