Genangan Darah di Sepatu Lars Kapten Raymond Westerling

Makassar, IDN Times - Sulawesi Selatan selalu memperingati 40 Ribu Korban Jiwa Westerling setiap tanggal 11 Desember. Tahun ini adalah peringatan yang ke- 73.
Bagi sebagian kakek-nenek uzur yang masih hidup dan tinggal di pedalaman Sulawesi Selatan, genangan darah dan jasad langsung terlintas dalam benak saat mendengar nama Raymond Westerling. Ya, Westerling ibarat sinonim dari maut atau malapetaka.
Riwayat tentang kekejiannya turun-temurun diceritakan dari para saksi dan anak-anak yang selamat. Mereka memang sulit menyingkirkan bayang-bayang sang kapten teror.
Lahir dengan nama lengkap Raymond Pierre Paul Westerling pada 31 Agustus 1919 di Istanbul, Kesultanan Ottoman (kini Turki), ia tumbuh dari keluarga berada dengan darah campuran Belanda dan Yunani. Karena lahir di tempat tersebut, Westerling dijuluki de Turk alias Si Turki.
Westerling kecil tumbuh dengan asupan ilmu yang memadai. Hasil dari pengajaran yang membuatnya fasih berbahasa Yunani, Turki, Prancis, dan Inggris.
Sejarawan Jaap de Moor dalam buku Westerling's Oorlog (1999) menulis bahwa Westerling memulai karier militernya untuk dinas komando Inggris pada 1942. Setahun mengabdi, ia diangkat menjadi instruktur yang khusus melatih teknik pertarungan tangan kosong hingga silent killing.
1. Raymond Westerling dikenal sebagai kapten unit dengan metode sarat kekerasan
Kisah Westerling di Indonesia baru dimulai pada September 1945, saat ia menjadi perwira untuk KNIL --cabang militer Belanda untuk Hindia-Belanda-- di Medan, Sumatera Utara. Keadaan Kota Melayu Deli waktu itu sarat kekacauan saat Belanda coba menegakkan kembali kedaulatannya yang sempat dilucuti Jepang sejak tahun 1942. Akan tetapi, upaya tersebut terhalang situasi keamanan pasca-kemerdekaan di mana kelompok bandit melakukan kejahatan secara acak, menyasar orang Eropa dan Indonesia.
Melihat pergolakan yang tak kunjung usai serta peliknya situasi, Westerling--atas restu petinggi KNIL--membentuk regu intelijen dan polisi khusus untuk 'meredakan' situasi. Metodenya sarat dengan kekerasan, namun dianggap efektif. Salah satunya ialah menangkap pemimpin kelompok bandit, lalu mengeksekusinya secara brutal.
Hal tersebut ia ceritakan dalam buku memoarnya, Challenge to Terror (1952). "Kami menusuk kepala pemimpin kelompok Terakan (nama kelompok bandit) yang sudah dieksekusi kemudian menancapkannya tepat di tengah wilayah desa. Di bawahnya, kami menulis peringatan untuk para anggota yang lain. Jika mereka bersikukuh masih ingin berbuat kejahatan, kepala mereka akan mendapat perlakuan yang sama."