Brutalnya Metode Aksi Westerling dalam Operasi Militer di Sulsel

Makassar, IDN Times - Desember 1946 adalah masa kelam dalam sejarah Sulawesi Selatan. Bulan tersebut menjadi masa dimulainya operasi militer Belanda di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. Oleh para pejabat di Den Haag, sosok keturunan Yunani-Belanda tersebut dianggap bisa "menertibkan" keadaan setelah dianggap berhasil dalam penugasan di Sumatra Utara pada akhir tahun 1945.
Sulsel sendiri menjadi perhatian khusus pemerintah Belanda sejak pertengahan 1946. Konferensi Malino yang diadakan pada bulan Juli menghasilkan negara federal bentukan Nedelandsch Indie Civiele Administratie (NICA) bernama United States of Indonesia. Langkah ini menjadi cara Belanda memerintah sejumlah wilayah Republik Indonesia yang belum cukup setahun merdeka.
Namun, hasil Konferensi Malino mendapat penolakan dari rakyat Sulsel. Beberapa kelompok pejuang rutin melakukan aksi sabotase dan penyerangan sporadis ke Makassar, satu-satunya tempat di Sulawesi di mana otoritas Belanda bisa menjalankan tugas. Efektivitas pemerintahan NICA di Sulawesi juga dilemahkan oleh situasi ekonomi morat-marit, gagal panen dan pemerintahan sipil yang tidak berjalan lancar. Di sinilah Westerling mendapat tugas untuk "memulihkan keadaan."
1. Metode brutal dalam mencari gerilyawan di Sulsel sudah dilakukan Westerling saat masih bertugas di Sumatra Utara
Setelah menyusun "daftar hitam" alias orang-orang yang menjadi target sebulan penuh, Westerling dan unit Depot Speciale Tropen (DST) pimpinannya resmi memulai aksinya pada 10 Desember 1946. Dikutip dari buku Kronik Revolusi Indonesia (1946) (KPG, 2017), daerah timur Makassar menjadi sasaran pertamanya. Ia menyasar penduduk Lariangbangi, Bara-Baraya, Maccini Parang dan sekitarnya. Pasukan DST kemudian menggiring mereka ke daerah Batua dengan cara berjalan kaki sejauh 7 kilometer.
Di Batua, laki-laki kemudian dipisahkan dari perempuan. Westerling akhirnya menjalankan metode brutal yang membuatnya ditakuti di Sumatra Utara. Ia memilih satu-dua laki-laki untuk dipaksa menunjuk siapa di antara mereka yang menjadi gerilyawan atau bahkan sekadar membantu perlawanan. Jika tak mau menunjuk? Senapan dan pistol yang mengarah ke kepala mereka siap menyalak.
Dalam suasana kalut serba takut, satu-dua laki-laki ini kemudian asal tunjuk demi keselamatannya. Westerling dan para bawahannya mencatat hasil interogasi sarat ancaman tersebut ke selembar kertas. Tapi apakah laki-laki malang yang dipilih pertama akhirnya dibebaskan? Sayangnya tidak. Semua laki-laki tetap dibariskan, divonis bersalah melalui sidang mendadak, lalu disapu sekaligus dengan senapan mesin. Metode ini menjadi textbook alias pedoman tetap DST dalam operasi militernya hingga Februari 1947.
2. Yang ditulis Westerling dalam memoar Challenge to Terror bertolak belakang dengan fakta sebenarnya di lapangan
Westerling mengupas secara khusus operasi militernya di Sulsel dalam buku memoar berjudul Challenge to Terror (W. Kimber, 1952). Ia bahkan menjelaskan secara spesifik metode yang ia terapkan selama operasi militer bersama DST. Westerling memilih empat orang secara acak, tapi semuanya harus terlihat tidak berbahaya dan sama sekali tak menampakkan diri sebagai "bandit", sebutannya untuk gerilyawan. Empat pemuda tersebut kemudian di bawa ke sebuah pondok untuk berbicara dengannya.
Sebuah eksekusi pura-pura dijalankan. Westerling mengaku meminta keempat orang tersebut untuk merunduk, sembari anak buahnya melepas tembakan ke arah tembok pondok. Suasana tak nyaman tersebut kemudian memicu reaksi "bandit" yang mencoba protes, dan bagi Westerling, itulah orang yang menjadi sasaran operasi. Si pemrotes itulah yang kemudian dieksekusi, kali ini dengan peluru mengenai kepala.
Di memoat tersebut, Westerling yang saat itu masih berusia 27 tahun, menceritakan pertemuan dengan kelompok "bandit" bernama Macan Hitam di daerah Kampung Baru, utara Makassar. Ia mengatakan :
"Saya yakin kalian semua adalah para nasionalis, para patriot. Saya mengerti dan menerimanya. Negara kalian berhak untuk merdeka. Itu sudah pasti. Tapi apa hubungan antara kemerdekaan dengan kejahatan yang kalian lakukan?"
"Kalian sudah mengotori niat tersebut. Saya akan memberi kalian nasihat bagus: berhenti melakukan teror. Setelahnya, tinggal di sini dan jadilah pejuang untuk melindungi desa ini dari para bandit."
3. Pasukan pimpinan Westerling selalu membakar harta benda, ternak peliharaan hingga rumah di desa yang mereka datangi
Kisah Westerling dalam memoar tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sebenarnya. Duo peneliti-dosen Bart Luttikhuis dan A. Dirk Moses dalam buku Colonial Counterinsurgency and Mass Violence: The Dutch Empire in Indonesia (Routledge, 2014) menjelaskan secara dengan eksplisit metode membabi buta regu Westerling yang menyasar wilayah Makassar, Maros, Wajo, Parepare, Mandar, hingga Luwu.
"Di desa-desa yang didatangi Westerling dan pasukannya, akan selalu ada jasad-jasad penuh luka tusuk bayonet. Harta benda, ternak peliharaan hingga rumah penduduk setempat kemudian dibakar atau dihancurkan."
Buku tersebut turut menyelipkan kesaksian, Mohammad Sjaraf, salah satu warga Desa Kalukuang di Makassar yang selamat dari aksi brutal DST. Ia menjelaskan bahwa pasukan Westerling yang datang saat matahari belum terbit memaksa para penduduk untuk berkumpul di sebuah lapangan. Ratusan orang berbaris menghadap serdadu DST yang menodongkan senjata. Setelah menanyai satu persatu, Westerling kemudian menembak langsung salah satu sahabat tokoh pejuang Ali Malaka di bagian betis beberapa kali sebelum menusuknya dengan bayonet.
Seperti yang tergambar dalam memoar Challenge to Terror, Westerling secara sadar memilih menerapkan metodenya sendiri ketimbang mematuhi Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger (Pedoman Pelaksanaan untuk Tugas di Politik dan Polisional Angkatan Darat). Itu adalah aturan tertulis yang harus ditaati oleh seluruh tentara Belanda dan KNL yang bertugas di Indonesia tanpa terkecuali.
4. Westerling tidak takut diadili, menguatkan teori bahwa aksi kejinya di Sulsel mendapat dukungan langsung dari pemerintah Belanda
Ketika operasi Westerling di Sulsel berakhir pada Februari 1947, sejarawan Belanda yakni Willem IJzereef dalam buku De Zuid-Celebes Affaire (1984) menyebut bahwa jumlah korban selama tiga bulan diperkirakan berkisar antara 1.500 jiwa. Unit DST pimpinan Westerling bertanggung jawab atas sekitar 400 eksekusi, dengan 1.100 sisanya oleh pasukan bawahannya. Belum menghitung sekitar 1.500 korban lain yang datang dari unit-unit KNIL yang ikut serta dalam operasi tersebut.
Klaim lain bahkan memperkirakan jumlah korban mencapai 10.000 hingga 40.000, meskipun angka tersebut dianggap oleh sejawaran Belanda sebagai propaganda Republik Indonesia. Meski angkanya masih simpang siur, banyak peneliti sepakat bahwa memang ada korban tidak bersalah, seperti dikemukakan sejarawan Louis de Jong dalam salah satu dari 13 jilid buku The Kingdom of the Netherlands During World War II (OCW, 1969).
"Mungkin ada korban yang membantu para pejuang, tetapi tentu saja ada korban tidak bersalah di antara mereka. Selain itu, hukum tidak membenarkan penumpahan darah atas nama negara dalam keadaan perang sekalipun."
Westerling, baik dalam memoar, terus menerus membela metode brutalnya dalam operasi di Sulsel. Tapi pengakuan mengejutkan muncul satu dekade lampau. Dalam sebuah rekaman wawancara dari tahun 1969 (yang baru ditayangkan oleh stasiun televisi Belanda NCRV pada 2012), ia mengakui telah melakukan kejahatan perang. Tapi, Westerling juga mengatakan tidak takut diadili karena dia mendapat dukungan dari pemerintah Belanda. Ini pun menguatkan teori bahwa aksi kejinya memang mendapat restu dari Den Haag.