Lukisan karya Romeyn de Hooghe tentang suasana sebuah pertempuran Perang Makassar (1666-1699) antara pasukan koalisi VOC-Bone-Buton pimpinan Laksamana Cornelis Speelman dan pasukan Kesultanan Gowa Tallo. (Wikimedia Commons/Koninklijke Bibliotheek)
Dalam rapat tersebut, hadir tiga tokoh utusan Sulawesi. Selain Dr. Sam Ratulangi, turut pula Andi Pangerang Petta Rani dan Andi Sultan Daeng Radja. Mereka pun turut serta dalam perumusan teks Proklamasi Kemerdekaan, serta pembacaannya di Jalan Pegangsaan Timur.
Bulan Oktober pun punya makna sakral bagi integrasi Sulsel. Pada 15 Oktober 1945, sebanyak 40 raja dan bangsawan seluruh kerajaan di Sulsel bertemu di kediaman Arumpone Andi Mappanyukki, Jalan Jongaya (kini Jalan Kumala). Mereka menyepakati dukungan atas kekuasaan Republik Indonesia. Pernyataan tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Jongaya.
Oktober juga tak bisa dipisahkan dari Sumpah Pemuda, sebuah penanda kesadaran atas persatuan bangsa pada 28 Oktober 1928. Diikrarkan pada Kongres Pemuda Kedua, sejumlah anggota Jong Celebes juga terlibat dalam momen bersejarah tersebut.
Terakhir yakni 1669, masa berakhirnya Perang Makassar antara Gowa-Tallo dan koalisi pimpinan VOC. Ada nuansa kepahlawanan yang coba dipupuk lewat pemilihan tahun tersebut.
"Perang Makassar telah membawa korban yang sangat banyak sebagai akibat kekejaman kaum penjajah. Ini tidak boleh disia-siakan, kita dapat mengambil hikmah dari jiwa kepahlawanan patriotisme dan semangat yang tinggi dari para pahlawan yang telah mendahului kita," demikian alasan tim perumus.