Sebagai ilmu yang mendasari seluruh ilmu lainnya, filsafat memandang manusia secara lebih menyeluruh atau holistik. Umumnya para ahli filsafat memandang manusia bukan hanya bangun tubuh semata, tetapi terutama didefinisikan oleh keberadaan jiwanya. Manusia adalah kesatuan antara tubuh dan jiwa.
Plato memandang jiwa adalah hakikat manusia yang menentukan inti kepribadian manusia, karena kemampuan utama manusia adalah berpikir tentang realitas yang sejati yaitu ide. Sementara itu, tubuh hanyalah bangunan fisik yang diciptakan sebagai rumah bagi jiwa.
Ahli Filsafat besar lain seperti Aristotles (Oxford Academic), memandang bahwa manusia dicirikan oleh serangkaian aktivitas rasional, terutama refleksi teoretis, pertimbangan moral, dan beberapa karakter emosional. Namun perlu diingat, komponen-komponen tersebut merupakan hasil interaksi atau hubungan timbal balik antara tubuh dan jiwa. Keduanya terpisah namun saling memengaruhi. Bagaimanapun, jati diri manusia terletak pada jiwanya yang berkesadaran. Kesadaran inilah yang menentukan eksistensi manusia. Menurut Aristoteles, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki tujuan hidup, yaitu untuk menghidupi nilai-nilai luhur moralitas. Ketika manusia menghayati hal ini, ia mengalami kebahagiaan.
Senada dengan filsuf klasik yang lain, Boethius (Cambridge) mendefinisikan manusia sebagai "substansi individu yang bersifat rasional" (rationalis naturae individual substantia). Definisi ini jelas menyiratkan bahwa setiap manusia adalah substansi individu yang bersifat rasional. Seseorang dapat bertindak sebagai seorang manusia ketika menggunakan nalarnya secara normal.