Makassar, IDN Times - Coba baca baik-baik pantun dari dekade 1930-an ini :
"Sarung sutera nijaik-jaik (dijahit-jahit), dalam rumah tukang manjaik (penjahit).
Nona seorang minang kungai (paling kusuka), paling kupuji-puji bajik pakmaik (baik hati)."
Apa pantun tersebut terdengar unik? Bagi orang Makassar, ini boleh jadi sesuatu yang asing. Seperti diketahui, tradisi berpantun sejatinya jadi ciri khas orang-orang Melayu. Tak ada catatan pasti kapan kebiasaan bertukar empat syair rima identik ini mulai dilakukan. Namun banyak sejarawan merujuk pada abad 16, saat sufi asal Aceh bernama Hamzah al-Fansuri mulai menulis bait-bait pujian pada Sang Pencipta.
Kembali pada pantun unik pembuka tulisan ini. Terdapat beberapa kosakata asal bahasa Makassar sebagai pendamping serasi ungkapan khas Melayu. Nah, pantun Melayu-Makassar ini lahir dari guratan pena seorang sastrawan Tionghoa bernama Ang Ban Tjiong pada dekade 1930-an.