TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Westerling 73 Tahun Lalu: Antara Horor, Bias Sejarah dan Trauma

11 Desember diperingati oleh para korban setiap tahunnya

Relief Monumen Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan (Pembantaian Westerling), di Kelurahan La'latang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Makassar, IDN Times - Setiap tanggal 11 Desember di Monumen Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan yang terletak di Kecamatan Tallo, Kota Makassar, dilangsungkan sebuah acara peringatan atas salah satu peristiwa kelam dalam sejarah negeri ini. Tepat di hari tersebut, 73 tahun silam, Kapten Raymond Westerling memimpin aksi polisionil yang merenggut nyawa rakyat sipil.

Tak hanya sampai di situ, sosok berjuluk de Turk alias Si Turki tersebut juga melancarkan aksi brutalnya di Jawa Barat --di bawah komando Angkatan Perang Ratu Adil-- di Bandung pada Januari 1950. Indonesia dan Soekarno geram dengan sepak terjang pria yang menjadi sinonim dari kata "horor" itu. Upaya meminta pertanggungjawaban Westerling nyatanya berakhir buntu.

1. Upaya Indonesia melakukan ekstradisi atas Raymond Westerling pada 1950 berujung kegagalan

Nationaal Archief

Westerling disinyalir mendapat bantuan dari pemerintah Belanda dalam proses pelariannya, usai aksi APRA gagal total. Dalam buku Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 (Intermasa, 1984), buku biografi Jenderal (Purn.) TNI Mohamad Rivai, dijelaskan bahwa Westerling nyaris ditangkap oleh militer Indonesia ketika hendak melarikan diri lewat Tanjung Priok, Jakarta.

Unit khusus yang dibentuk oleh intelijen APRIS kalah gesit dibanding jurus langkah seribu milik Westerling. Sang buruan diangkut menggunakan pesawat amfibi milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang sudah menunggu kedatangannya.

Sempat singgah di Singapura, Westerling ditahan oleh keamanan Inggris selama beberapa bulan dengan alasan masuk tanpa izin. Enggan melepas momentum, pemerintah Republik Indonesia Serikat melayangkan permintaan ekstradisi. Hasilnya? Ditolak. Westerling pulang kampung ke Belanda pada Agustus 1950.

Baca Juga: 7 Potret Monumen & Kuburan Massal Korban Aksi Westerling di Makassar

2. Belakangan, muncul teori bahwa metode sarat kekerasan dianggap wajar lantaran dalam situasi perang

Ministerie van Defensie Netherlands

Geram, pemerintah Indonesia langsung melabeli Westerling sebagai penjahat perang. Sejumlah sejarawan sepakat bahwa Den Haag merestui aksi keji sang kapten di Indonesia. Kampanye militer pria kelahiran Istanbul itu dianggap "sarat kekerasan, namun efektif" di mata para petinggi militer Kerajaan Belanda.

Buku terbaru tentang kampanye militer Westerling, Kapitein Westerling en de Zuid-Celebes-affaire (desember 1946 - maart 1947) (2019), kembali menyinggung keterlibatan pemerintah Belanda era 1940-an dalam pembantaian di Sulawesi Selatan.

Dalam buku tersebut, Bauke Geersing menulis bahwa Westerling menerima perintah dari pimpinan politik dan militer di Batavia yang sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah Belanda. Operasinya selama tiga bulan dianggap sebagai tindakan militer yang diperlukan, berdasarkan peraturan dan prinsip hukum yang berlaku pada masa itu.

Terlebih Westerling punya reputasi sebagai komandan militer yang kompeten dalam perkara perang gerilya.

Baca Juga: Genangan Darah di Sepatu Lars Kapten Raymond Westerling

Berita Terkini Lainnya