Sejarah Orang Bugis di Singapura, dan Bukti Dominasi Para Perantau
Saudagar Bugis pernah berperan penting di ekonomi Singapura
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Orang-orang Bugis sudah dikenal sejak lama sebagai para perantau ulung. Berpindah ke negeri jauh nan asing, dengan harapan untuk memperbaiki kehidupan, sudah terpatri dalam benak masyarakat Bugis. Kebiasaan ini sudah terpatri dalam benak serta terus dilakukan secara turun temurun.
Menurut Andi Zainal Abidin dalam buku Persepsi orang Bugis-Makasar tentang Hukum, Negara dan Dunia Luar (1983), merantau lahir dari kebiasaan masyarakat yang sering bersentuhan dengan laut. Malah konsep berpindah sudah mendarah daging dengan tradisi malleke' dapureng atau pindah dapur. Belakangan, barulah muncul sebutan sompeq untuk merantau.
Nah, tanah perantauan orang Bugis membentang jauh dari Madagaskar hingga Pulau Papua di ujung timur Indonesia. Termasuk di dalamnya yakni Singapura, yang secara geografis berjarak hampir 2 ribu kilometer dan dipisahkan Laut Jawa.
1. Orang Bugis di Singapura sebelumnya mendiami Riau, tapi diusir oleh Belanda
Sejarah mencatat bahwa pedagang Bugis memang sudah beraktivitas di Semenanjung Malaya sejak abad ke-16. Mereka membawa komoditas seperti rempah-rempah, pala, kapur barus, kemenyan, kulit kura-kura, kain katun, bulu burung cendrawasih, lada, teripang, kayu cendana, kopi hingga beras. Mayoritas barang tersebut amat diminati oleh para pedagang Tionghoa di Singapura. Tapi, orang Bugis dari kalangan petani baru ikut serta dalam lalu lintas maritim ini di abad ke-18.
Matthews Matthew dalam buku The Singapore Ethnic Mosaic (2017) menulis bahwa orang Bugis jadi salah satu komunitas yang mendiami Tumasik (nama lawas Singapura). Ini terjadi setelah Kerajaan Inggris melalui kongsi dagang East India Company (EIC) membuka pos dagang sekaligus menjadi koloni pada tahun 1819 melalui Perjanjian Singapura (Treaty of Singapore).
Ini juga terjadi akibat insiden yang terjadi di Riau pada akhir tahun 1819, saat tentara Hindia-Belanda mengobar perang terhadap para orang Bugis yang mendiami wilayah Riau, sekaligus memutus koridor pelayaran menuju Jawa dan Sulawesi. Hal tersebut memaksa mereka minggat ke Singapura, lantaran bisa berdagang lebih bebas.
Baca Juga: Melestarikan Budaya Bugis-Makassar dalam Motif Batik Lontara