TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Saat Seorang Anak Menelusuri Peran Ayahnya di Operasi Westerling

Maarten Hidskes menulis hasil penelitiannya dalam buku

Suasana interogasi yang dilakukan pasukan Infanteri XV dan Depot Speciale Tropen pimpinan Kapten Raymond Westerling saat menyambangi kampung Salomoni di daerah Barru, 12 Februari 1947. (Netherlands Institute for Military History)

Peringatan: Cerita dan gambar dalam artikel ini mengandung unsur kekerasan yang dapat memicu rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.

Makassar, IDN Times - Sebuah buku berjudul Thuis gelooft niemand mij: Zuid-Celebes, 1946-1947 (versi Bahasa Indonesia: Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya, Yayasan Pustaka Obor Indonesia (2018)) dilepas ke publik pada tahun 2016 silam. Penulisnya adalah Maarten Hidskes, seorang jurnalis sejumlah stasiun televisi Belanda.

Menyimak tahun di judul bukunya, sontak terlintas tentang aksi polisionil Depot Speciale Tröpen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan. Memang, buku yang ditulis Maarten tak jauh dari salah satu episode kelam dan kontroversial dalam sejarah Negeri Kincir Angin.

Namun, semua berawal dari rasa ingin tahu Maarten atas masa muda sang ayah, Piet Hidskes. Piet sendiri adalah salah satu anak buah Westerling dalam operasi DST.

1. Piet Hidskes tak pernah berbicara secara rinci tentang pengalamannya saat bertugas di Sulsel

Sampul buku terjemahan karya Maarten Hidskes, Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya. (Dok. Yayasan Pustaka Obor Indonesia)

Meski begitu, Maarten tak pernah mendengar kisah lengkap dari sang ayah tentang operasi militer DST di Sulsel. Semasa muda, Maarten mengaku hanya sedikit terekspos perkara Westerling, itu pun hanya disinggung dalam dua baris kalimat ujian akhir SMA.

Gejolak masa muda dan situasi fase akhir Perang Dingin dekade 1980-an membuat Maarten menentang segala hal yang berkaitan dengan militer. Alhasil, dalam epilog buku tersebut, ia menyebut tak menunjukkan minat pada kehidupan pribadi sang ayah termasuk masa lalunya.

Namun, Maarten sejak kecil tahu sang ayah memang mantan tentara. Piet sendiri menjadi pegawai Kementerian Pertahanan Belanda tak berapa lama setelah bertugas di Indonesia. Maarten masih ingat jelas tentang saat ia menyinggungnya dengan kenaifan seorang anak umur tujuh tahun.

"Ayah dan saya sering bermain perang-perangan di rumah dan dia selalu menang karena dia mantan tentara komando," tulisnya.

"Tiba-tiba saya bertanya, 'Papa, apakah Papa pernah menembak mati orang?' Saya masih merasakan tangannya yang lembut di kepala saya: 'Tentang hal itu kita akan bicarakan lain kali ya, Nak,'" imbuh Maarten.

2. Maarten Hidskes menjelaskan operasi militer DST dari sudut pandang Belanda

Suasana interogasi yang dilakukan pasukan Infanteri XV dan Depot Speciale Tropen pimpinan Kapten Raymond Westerling saat menyambangi kampung Salomoni di daerah Barru, 12 Februari 1947. (Netherlands Institute for Military History)

Selain itu, Maarten menyebut bahwa Indonesia memang tak pernah menjadi bahasan mendalam di rumahnya. Selalu ada momen untuk menyinggung, tapi tak pernah menjadi hal yang mengundang diskusi panjang lebar.

"Pembicaraan topik tentang Indonesia selalu dijaga berlangsung dalam pembicaraan yang aman. Bahkan tanpa disadari oleh ayah saya dan orang-orang di sekelilingnya," cerita Maarten. Ia bahkan mencontohkan bahwa sang ibu selalu menimpali bahasan tentang Westerling dengan hal lain yang benar-benar berbeda.

Kisah tentang apa yang dialami Piet Hidskes di Sulawesi Selatan tetap tersimpan hingga ia meninggal dunia pada tahun 1992. Berangkat dari rasa bersalah karena tak kunjung menguliknya semasa sang ayah hidup, Maarten kemudian menyusun buku yang menjelaskan secara gamblang tentang operasi militer kontroversial tersebut.

Maarten menghabiskan waktu 25 tahun untuk melakukan riset, termasuk memproduksi ratusan jam rekaman wawancara dengan sembilan personel DST lain yang bertugas bersama sang ayah. Hasilnya adalah sebuah buku dari perspektif Belanda.

3. Maarten mendapati banyak fakta memilukan selama proses penelitiannya

Kapten Raymond Westerling, seorang perwira Belanda dan pemimpin regu Depot Speciale Tropen (DST), dalam sebuah acara militer di Bandung pada 16 November 1948. (Netherlands Institute for Military Historie)

Dalam wawancaranya dengan beberapa mantan anggota DST, Maarten menulis bahwa mereka kompak merinding saat Westerling melakukan eksekusi pertama di Kampung Batua, yang kini berada tak jauh dari lokasi Monumen Korban 40.000 Jiwa. Bahkan ada yang mengaku sempat tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tapi, mereka tetap harus menjalankan operasi selama 12 pekan tersebut.

"Kebanyakan berpikir: Barangkali hal itu memang perlu dilakukan, kalau tidak, tentunya kami tidak mendapat tugas yang demikian dari negara. Ayah saya yakin bahwa negara dan para komandan militer paham apa yang mereka perintahkan," tulis Maarten.

Kekejian memang terjadi, tapi Maarten menggarisbawahi bahwa logika seorang tentara yang berada dalam rantai komando membuat mereka bertahan dalam operasi tersebut. Tapi, tetap ada hal yang bergolak. Sebuah dilema yang kelak memberi trauma membekas tak cuma oleh para personel DST yang terlibat, tapi juga keluarga korban.

"Ayah saya seorang tentara sukarela, mengeksekusi orang, dia terasing dari dirinya sendiri. Dia melawan ide-idenya tentang kebutuhan militer di satu sisi dan berhenti dari pekerjaannya di sisi lain. Ayah saya benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di Indonesia saat itu," kata Maarten.

4. Ada kemarahan yang dirasakan, termasuk kepada sang ayah

Tumpukan mayat yang dieksekusi oleh pasukan Infanteri XV Depot Speciale Tropen pimpinan Kapten Raymond Westerling di lapangan Kota Barru, Januari 1947. (Netherlands Institute for Military History)

Lantas, seperti apa reaksi Maarten saat perlahan-lahan mendapati fakta mengerikan dari operasi Westerling di Sulsel? Saat membawakan kuliah umum tentang buku tersebut di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang pada 2018 silam, ia tak menyembunyikan rasa kecewanya terhadap sang ayah yang selama ini dikenalnya sebagai family man.

"Ketika saya mendengar tentang fakta ini, saya benar-benar marah kepada ayah saya yang telah meninggal selama bertahun-tahun lalu," ujarnya seperti dikutip dari transkrip yang dirilis oleh Undip.

"Karena saya mengajukan pertanyaan, apa yang akan terjadi jika salah satu prajurit menolak untuk melakukan tindakan tersebut, mereka mengatakan kepada saya bahwa itu adalah sama sekali tidak masalah sama sekali atau tidak akan dihukum," lanjutnya di hadapan para mahasiswa dan dosen yang hadir.

Lebih jauh, Maarten juga menyebut bahwa "kampanye militer" di Sulsel yang bertujuan memadamkan "api ekstremis" ternyata tak menyelesaikan masalah apapun. Yang muncul hanya kerugian dan rasa duka. Perlawanan justru semakin kencang, dan posisi Belanda dalam diplomasi internasional semakin tersudut.

"Kekerasan di Sulawesi adalah semacam representasi dari fakta bahwa Belanda memiliki konsep yang terbatas tentang apa yang sedang terjadi, kecerdasan yang terbatas tentang konflik," ungkapnya.

Berita Terkini Lainnya