Makassar, IDN Times - Pada awal Maret silam, media massa ramai memberitakan sebuah keluarga di Polewali, Mandar, Sulawesi Barat. Pasangan suami istri memperlakukan seekor buaya dengan amat istimewa. Pasangan itu bukan sekadar menganggap buaya sebagai peliharaan, melainkan dianggap sebagai kembaran anak mereka.
Bagi logika dan sains, tentu sulit menautkan tali persaudaraan antara Homo sapiens dan binatang dengan nama ilmiah Crocodylidae itu. Satunya berkaki dua, yang lain berjalan merayap. Satunya hidup di darat, yang lain bersifat amfibi. Bahkan jika dirunut dari pohon silsilah biologi buatan naturalis Carl von Linne, manusia dan buaya terpisah sangat jauh.
Namun di masyarakat Bugis, ada sebuah kepercayaan yang berkembang bahwa semua manusia memiliki saudara dalam wujud buaya. Mereka akan datang bercengkerama dengan kembarannya di darat entah melalui mimpi, sekadar menampakkan diri di permukaan sungai. Atau malah menghampiri langsung, seperti yang dialami oleh pasutri di Sulbar.
Bahkan jika ada orang mati tenggelam di sungai, acapkali sebagian orang mengatakan bahwa ini adalah peringatan dari kembar buayanya yang merasa tidak terawat. Alhasil, sang buaya menarik paksa orang tersebut agar ia mendapat perhatian.
Mitos Buaya dan Relasi Orang Bugis dengan Alam