TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Emmy Saelan, Perawat Paling Revolusioner di Palagan Gerilya

Belanda menjulukinya sebagai onruststoker, Si "Pembuat Onar"

Kolase Berbagai Sumber (Wikimedia Commons - Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Makassar, IDN Times - Emmy Saelan, dalam ingatan Maulwi Saelan yang tak lain adalah adiknya, adalah seorang perempuan pejuang paling dihormati kelompok gerilya Harimau Indonesia. Selain menjabat sebagai pimpinan divisi Laskar Wanita dan Palang Merah, Emmy kerap memberi saran kepada para komandan gerilyawan perihal sandi antaranggota.

"Ia menentukan penggunaan sandi untuk mengenali satu dengan yang lain dengan cara memegang rambut," tulis Maulwi mengenang sang kakak, dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (visimedia, 2008).

Kisah perempuan di palagan menghiasi sejarah perjuangan nasional. Nama-nama yang mahsyur antara lain Cut Nyak Dien (Aceh) serta Martha Christina Tiahahu (Maluku). Sementara di Sulawesi Selatan ada I Fatimah Daeng Takontu serta, tentu saja, Emmy Saelan.

1. Salmah Soehartini Saelan lahir di Desa Malangke, Luwu, pada 15 Oktober 1924

Pemandangan sebuah desa di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, pada tahun 1980. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Emmy lahir dengan nama Salmah Soehartini Saelan di Desa Malangke, Luwu Raya, 15 Oktober 1924. Sang ayah bernama Amin Saelan, seorang pegawai pamong praja yang juga menjabat penasihat organisasi pergerakan Pemuda Nasional Indonesia Makassar. Amin Saelan juga menjadi tokoh pendidikan di Makassar sebab ikut mendirikan Taman Siswa. Sang ibu, Soekamti, adalah seorang wanita berdarah Jawa-Madura.

Anak sulung dari tujuh bersaudara itu menghabiskan bangku sekolah di Makassar, termasuk menjadi siswa di Cu Gakko (sekolah setingkat SMA) pada masa pendudukan Jepang. Agussalim, dalam Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan (Deepublish, 2017), menulis bahwa Emmy sempat praktek sebagai perawat di Rumah Sakit Stella Maris sebelum lulus Cu Gakko.

Emmy pun sempat terpilih menjadi perawat yang diberangkatkan ke Jepang untuk dalami ilmu paramedis. Namun, niat tersebut buyar. Sepasang bom atom memaksa Kaisar Hirohito mendeklarasikan menyerahnya militer Dai Nippon, mengakhiri kecamuk Perang Pasifik yang sudah berkobar sejak 1941.

Baca Juga: Setia Hingga Akhir: Jejak Perjuangan Wolter Monginsidi di Makassar

2. Emmy Saelan terlibat dalam aksi pemogokan perawat setelah penangkapan Gubernur Sulawesi, Dr. Sam Ratulangi, pada April 1946

Potret Gubernur Sulawesi pertama, Dr. Sam Ratulangi, dalam prangko terbitan Indonesia tahun 1962. (Wikimedia Commons)

Saat pihak Sekutu mengambil alih administrasi pemerintahan wilayah pendudukan Jepang, Emmy masih bekerja sebagai perawat. Ia turut mendengar kabar Proklamasi Kemerdekaan, dan pengangkatan Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi, di sela-sela jadwal padat mengurus pasien.

Ia pula yang bereaksi sangat keras saat tahu Belanda hendak recoki kemerdekaan Indonesia. Emmy sepakat dengan para pemuda di Makassar saat itu, republik yang baru berdiri tak ingin terjerumus ke dalam kolonialisme sekali lagi.

Saat Sam Ratulangi ditangkap oleh Belanda pada 5 April 1946, Emmy bersama rekan-rekan perawat mengorganisir aksi mogok mengecam tindakan tersebut. Kegiatan "revolusioner" Emmy tak berhenti sampai di situ. Ia kerap menyelundupkan obat-obatan dan peralatan medis ke daerah basis pejuang.

Atas segala aktivitas oposannya, reputasi Emmy di kalangan intelijen dan tentara Belanda tak lagi hanya sekadar perawat biasa. Ia menjadi onruststoker, "si pembuat onar." Namanya masuk dalam daftar buronan paling dicari.

Baca Juga: Maulwi Saelan, Jaga Gawang Timnas Hingga Kawal Bung Karno

3. Selama bergabung dengan kelaskaran Harimau Indonesia, Emmy sering terlibat dalam misi penyerangan bersama Wolter Monginsidi

WIkicommons

Sadar bahwa aktivitasnya mulai diawasi (serdadu Belanda bahkan sempat mendatangi rumah keluarganya), Emmy memutuskan ikut berjuang dengan gerilyawan. Pada 17 Juli 1946, di usia 22 tahun, menyingkir ke daerah Polongbangkeng (kini Kabupaten Takalar) menyusul sang adik yakni Maulwi Saelan.

Singkat cerita, para gerilyawan dikumpulkan dalam satu wadah. Emmy bergabung dengan kelompok laskar Harimau Indonesia, dengan wakil pimpinan tak lain yakni si Harimau dari Malalayang, Robert Wolter "Bote" Monginsidi. Profesinya sebagai perawat membuat Emmy punya jabatan ganda, sebagai komandan Laskar Wanita dan Palang Merah.

"Kehadirannya, terutama sebagai pimpinan Palang Merah, sangat diperlukan untuk menyertai gerakan operasi," tulis Maulwi, yang dalam kelaskaran Harimau Indonesia menjabat sebagai Kepala Staf.

Saat bergerilya, Emmy dikenal dengan nama alias Basse dan Daeng Kebo'. Acapkali ia terlibat dalam beberapa misi penyergapan dan penyerangan. Tak jarang ia yang diserahi (baik oleh panglima Ranggong Daeng Romo atau Wolter Monginsidi) sebagai pemimpin.

4. Selama masa gerilya, Daeng Kebo' dikenal sebagai salah satu buronan yang paling dicari oleh tentara Belanda

Sejumlah tentara Belanda mengamati perbukitan dan jalan di sebuah daerah Sulawesi Selatan pada April 1949. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Beberapa catatan merinci sepak terjang Emmy Saelan di palagan gerilya. Syahrir Kila, dalam Kelaskaran 45 di Sulawesi Selatan (BBPRI Suppa dan BP Ganggawa, 1995), mengutip hasil interogasi Wolter Monginsidi saat ditangkap Belanda pada akhir 1948.

Pada 16 November 1945, terjadi kontak tembak antara para pemuda dan serdadu KNIL. Emmy dan Wolter berada di lantai dua sebuah rumah dan terkepung. Monginsidi memegang klewang, sebuah senjata tajam tradisional perpaduan golok dan pisau. Sementara Emmy menggenggam senjata jenis Oven-Gung dan empat Hauders.

"Emmy menembakkan Oven-Gung dari dalam rumah ke arah timur. Karena kekuatan tak seimbang, maka ketika tengah hari mereka berdua keluar menyamar sebagai penduduk biasa," tulis Syahrir.

Di pertempuran lain, Emmy bersama para gerilyawan menyergap iring-iringan mobil serdadu KNIL pada 2 Januari 1947. Ia jadi satu-satunya perempuan yang terlibat dalam misi tersebut. Kontak tembak berlangsung sengit, sebelum laskar memutuskan mundur pada 4 Januari 1947.

Baca Juga: Kisah Fatimah, Perempuan Pejuang Putri Sultan Hasanudin

Berita Terkini Lainnya