TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Meluruskan Salah Kaprah Nama Jalan Bau Mangga di Makassar

Berasal dari nama penguasa Wajo di awal abad ke-20

Potret Arung Matoa Wajo ke-43 Ishak Manggabarani dan papan nama Jalan Bau Mangga. (Kolase Berbagai Sumber)

Makassar, IDN Times - Bagi yang sering beraktivitas di daerah sekitar Panakkukang, pasti sudah gak asing dengan Jalan Bau Mangga. Ruas jalan sepanjang 250 meter itu adalah salah satu dari empat penghubung antara Jalan Letjen Hertasning dan Jalan Pengayoman.

Namun, banyak yang bertanya-tanya tentang makna jalan tersebut. Meski terdengar berhubungan dengan buah, ternyata maknanya sama sekali bukan itu. Bau Mangga adalah gelar dan nama salah satu bangsawan dan penguasa Tanah Wajo di awal abad ke-20.

1. Ishak Manggabarani menjabat Arung Matoa Wajo dari 1900 hingga wafat pada 1916

Potret Arung Matoa Wajo ke-43 yakni Ishak Manggabarani, yang berkuasa pada tahun 1900 hingga 1916. (Dok. Istimewa)

Bau' Mangga  adalah kependekan dari nama Ishak Manggabarani Karaeng Mangeppe Datu Pammana Matinroe ri Cappa Galung. Lahir pada pertengahan abad ke-19, dia adalah Arung Matoa (Penguasa Tertinggi) Kerajaan Wajo ke-43 yang menjabat pada tahun 1900, hingga wafat pada 1916.

Bau' Mangga adalah putra dari To Appatunru Karaeng Beroanging dan We Sompa (I Madellung) Karaeng Tanete. Darah bangsawan Bone, Gowa dan Sidenreng juga mengalir dalam dirinya.

Bau' sendiri adalah salah satu dari beberapa gelar bangsawan di Sulawesi Selatan. Selain Andi, I La, Tenri, Petta, Karaeng, Puang dan Daeng. Sedangkan "Mangga" kependekan dari nama Manggabarani.

2. Karaeng Manggeppe dikenal atas sikap netral dan tak ragu membantu kerajaan tetangga Wajo

Pemukiman penduduk sekitar Sungai Walanae di Kota Sengkang, Kerajaan Wajo, antara tahum 1900 hingga 1940. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Ishak Manggabarani sendiri dikenal sebagai bangsawan hartawan yang tak ragu membantu finansial negeri tetangga Wajo. Salah satunya tercantum dalam Lontaraq Binuang. Tahun 1894, Kerajaan Sidenreng menggadaikan Tana Libukeng TengngaE di Libukeng lantaran kas kerajaan sedang menipis.

Penebusan wilayah tersebut dilakukan Karaeng Mangeppe dengan sejumlah harta. Antara lain 1.575 keping suku-suku emas, 121 keping ringgit emas dan rupiah emas 32 keping.

Di sisi lain, dia juga termasuk dihormati oleh sesama raja di Sulsel dan pemerintah Gubernemen di Makassar. Sikap netral Karaeng Mangeppe membuatnya disegani. Dalam buku Empat Pahlawan Dari Sulawesi Selatan (Lamacca Press, 2004), disebut bahwa dia membantu pelarian Arumpone (Raja Bone) ke-31 La Pawawoi pada 1905. Saat itu, Bone mengobar perlawanan atas dominasi Hindia-Belanda di Sulawesi. Saat bersamaan, hubungan baiknya dengan petinggi Belanda tak terganggu.

Berita Terkini Lainnya