Literasi dan Siri': Kisah Tiga Tahun Buya Hamka di Makassar
Jadi tempat menggarap novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal publik dengan akronim dan nama pena Hamka, adalah sosok yang tak bisa dipisahkan dari sejarah Indonesia. Sosoknya sebagai pemikir, pengajar dan ulama Islam yang mahsyur mengiringi perjalanan Indonesia bahkan sebelum merdeka. Tak lupa, sumbangsih sang Pahlawan Nasional pada dunia literasi melalui novel-novelnya amat tak ternilai.
Mozaik riwayat hidup Hamka, yang lahir di Sumatera Barat pada 17 Februari 1908, tersebar di banyak tempat. Mulai dari tanah kelahirannya yakni Agam, Padang Panjang, Yogyakarta, Pekalongan, Makkah, Medan hingga Jakarta. Makassar juga masuk dalam episode perjalanan hidup Hamka pada dekade 1930-an.
Ia berada di Makassar dari 1931 hingga 1934, bertepatan dengan Kongres ke-21 Muhammadiyah, pada usia yang masih sangat muda yakni 24 tahun. Dua tahun menetap di ibu kota provinsi Celebes tersebut, ia mengalami banyak hal.
1. Awalnya diutus ke Makassar untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21
Tahun 1931, kapal yang membawa Buya Hamka merapat di dermaga pelabuhan Makassar. Sang istri, Siti Rahim, dan putra pertamanya tetap tinggal di Padang Panjang. Ia ditugaskan untuk mengatur Kongres Muhammadiyah ke-21 yang dihelat tahun berikutnya. Ini rupanya atas permintaan pengurus cabang Makassar. Tugas dari organisasi tak dijalankan dengan baik, sembari berbaur dan mencari tahu budaya setempat sembari mengunjungi wilayah sekitarnya seperti Gowa, Bantaeng, Takalar dan Maros.
Singkat cerita, Kongres Muhammadiyah berlangsung sukses pada Mei 1932, dengan menyedot perhatian 5 ribu orang yang memadati luar arena kongres. Awalnya, ia ingin pulang lebih cepat lantaran ingin segera bertemu istri yang baru dua tahun dinikahinya. Tapi, orang-orang di Makassar memintanya bertahan lebih lama.
Sempat pulang ke Padang Panjang, datang sepucuk surat berisi uang tunai dan permintaan dari pimpinan Muhammadiyah Makassar agar Buya Hamka bersedia kembali. Sang istri dan putra pertamanya bahkan diminta turut diboyong agar ia bisa kerasan. Menurut Hamka sendiri, dalam buku Kenang-Kenangan Hidup (Gema Insani, 2018), ia merasa lebih tenang jika ditemani merantau bersama istri tercinta. Setelah mendapat izin, pasangan suami-istri itu dan putra tercinta mereka bertolak ke Makassar pada pertengahan 1932.
Baca Juga: Kisah Pahit Raja Bone La Tenri Ruwa, Dilengserkan Usai Memeluk Islam