TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Sultan Hasanuddin Usai Perjanjian Bongaya: Menolak Takluk ke VOC

Meminta anak-cucu menghentikan dendam kepada Raja Bone

Potret Pahlawan Nasional asal Sulawesi Selatan, Sultan Hasanuddin, dalam prangko Indonesia terbitan tahun 1961. (Wikimedia Commons)

Makassar, IDN Times - Umumnya, cerita tentang Sultan Hasanuddin di banyak buku pelajaran sejarah tuntas setelah Perjanjingan Bongaya. Kesepakatan, yang ditandatangani oleh Gowa-Tallo dan VOC pada 18 November 1667 itu, oleh Kompeni disebut sebagai cara menuju perdamaian. Tapi, mayoritas 30 poin di dalamnya justru membonsai supremasi kesultanan maritim tersebut.

Sejatinya, si pemilik nama asli I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Bakir masih sempat melancarkan "keusilan" usai perjanjian. Sejarawan Leonard F Andaya dalam buku "The Heritage of Arung Palakka" (KITLV, 1981) menulis bahwa Sultan Hasanuddin memerintahkan pembongkaran seluruh rumah dalam Benteng Ujung Pandang. Padahal, ia sepakat akan menyerahkannya ke Kompeni dalam kondisi utuh.

Laksamana Cornelis Speelman, pemimpin faksi Kompeni di Perang Makassar, memasuki Benteng Ujung Pandang pada 19 November 1667 atau sehari setelah perjanjian diteken. Ia terkejut bukan main saat melihat isi benteng tersebut ibarat habis kena amuk topan. Untuk "menenangkan" Belanda, Sultan Hasanuddin membuat dan mengirim dua rumah baru ke dalam benteng. Namanya kemudian diganti menjadi Fort Rotterdam.

1. Sultan Hasanuddin tetap memimpin perlawanan hingga Somba Opu takluk pada 24 Juni 1669

Salah satu bagian di kawasan Benteng Somba Opu Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. IDN Times/Asrhawi Muin

Sejatinya, Perang Makassar tetap berkobar pasca-Bongaya. Ada "masa tenang" selama lima bulan yang menyelingi, mulai dari November 1667 sampai April 1668. Gowa-Tallo dan Kompeni memang tak terlibat pertempuran, tetapi ada rasa curiga yang muncul dari masing-masing kubu. Kabar bangsawan Gowa-Tallo yang tak terima dengan perjanjian sudah tersiar secara luas. Konfrontasi seolah tinggal menunggu waktu.

Justru VOC yang mengambil inisiatif menyerang lebih dulu. Pada 13 April 1668, serangan datang dari darat dan laut. Kapal-kapal perang mengarahkan moncong meriam ke Benteng Somba Opu. Di darat, bala tentara Kompeni dan pasukan Bugis menyerang loji dagang Inggris (sekutu Gowa-Tallo) dan Kampung Melayu yang terletak di antara Fort Rotterdam serta Somba Opu, yang didiami Sultan Hasanuddin beserta keluarganya.

Beberapa bulan bertempur, kekuatan Gowa-Tallo yang terbatas ternyata bisa menahan laju faksi Kompeni. Tapi, seiring taktik blokade laut dan bantuan yang tak putus-putus dari Batavia, pada akhirnya bala tentara Speelman tetap tak terbendung. Usai dikepung selama 10 hari, Somba Opu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669, sekaligus menjadi akhir dari Perang Makassar yang begitu sengit.

Baca Juga: Cornelis Speelman, Laksamana Kompeni Penakluk Supremasi Gowa-Tallo

2. Usai turun tahta, penyakit beri-beri yang ia derita kian parah dari hari ke hari

Patung Sultan Hasanuddin yang berada di dalam kompleks Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Maros. (IDN Times/Abdurrahman)

Sultan Hasanuddin, beserta pejabat kerajaan dan keluarganya, menyingkir ke Benteng Kalegowa tepat sebelum Sombaopu jatuh. Dari sana pemerintahan Gowa dijalankan. Lima hari usai kekalahan, 29 Juni 1669, ia memutuskan turun tahta sekaligus mengakhiri masa pemerintahannya yang digenggamnya sejak 1653. Status pemimpin diserahkan ke putranya, I Mappasomba Daeng Nguraga atau Sultan Amir Hamzah yang masih berusia 13 tahun.

Sagimun Mulus Dumadi, dalam buku "Sultan Hasanuddin Menentang VOC" (Depdikbud, 1985) menulis bahwa si Ayam Jantan dari Timur menghabiskan hari-hari terakhir hidupnya untuk mengajar agama Islam untuk anak-anak di Gowa. Tentu saja sembari melihat bagaimana "perdana menteri" Karaeng Tunananga Ripasiringanna (tangan kanan Sultan Amir Hamzah) menjalankan roda pemerintahan. Ia masih dihormati oleh rakyat.

Seiring waktu, kesehatan Sultan Hasanuddin merosot drastis. Ini tak lepas dari penyakit beri-beri yang ia derita sejak tahun-tahun akhir memerintah. Beragam tabib telah dipanggil, tapi kondisinya tak kunjung membaik. Sulit bagi keluarga untuk melihat sosok yang biasa berapi-api itu terkulai lemas di atas tempat tidur, sulit berjalan, dengan sejumlah anggota tubuh membengkak.

Baca Juga: Perjanjian Bongaya 18 November 1667, Siasat VOC Redam Perang Makassar 

Berita Terkini Lainnya