Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Perahu layar tradisional Padewakang | Sri Syahril untuk IDN Times

Makassar, IDN Times - Nusantara, pada abad ke-7 hingga ke-18 Masehi, adalah masa-masa keemasan bahari. Sejumlah kerajaan yang terletak di Pulau Sumatera, Jawa hingga Sulawesi, silih berganti menjadi pemegang supremasi di laut. Beberapa di antaranya bahkan rela saling mengangkat senjata, memerangi satu sama lain.

Mendiang sejawaran Richard Zacharias Leirissa, dalam artikel yang dimuat dalam buku Kepemimpinan Bahari; Sebuah Alternatif Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia (2012), menulis bahwa wilayah kepulauan Nusantara saling terhubung oleh laut.

RZ Leirissa menyebut, tradisi yang berkembang membuat orang-orang di wilayah Asia Tenggara tak pernah memandang lautan sebagai pembatas. Horison biru sejauh mata memandang adalah jembatan menuju wilayah-wilayah eksotis berisi budaya baru, persahabatan, ekonomi hingga rumitnya percaturan politik antar kerajaan.

1. Sejak lama, Nusantara dikenal sebagai wilayah bahari yang membentang luas

Repro Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie

Jika menilik lebih ke belakang, kata "Nusantara" --yang dipakai sebagai sinonim untuk khazanah kebudayaan dari Sumatera sampai Papua-- berasal dari kitab Pararaton. Istilah tersebut berasal dari sepasang kata dari bahasa Sansakerta yakni "Nusa" (pulau) dan "Antara" (luar). Dalam konteks Majapahit, Nusantara adalah pulau-pulau yang berada di luar wilayah kekuasaan kerajaan tersebut.

Kebiasaan berlayar juga dilakukan oleh para pelaut Bugis-Makassar pada masa kuno. Mereka menjelajah pesisir Asia Tenggara, Australia hingga Pulau Madagaskar. Menginjak abad ke-17, mulailah tumbuh kesadaran atas pentingnya peraturan yang mengikat dan berlaku di laut serta di atas kapal.

Ya, acapkali terjadi konflik antara sang nakhoda dan para penumpangnya ketika kapal mengarungi lautan. Alhasil dibutuhkan beberapa peraturan yang mengatur perilaku orang-orang di atas kapal, hubungan saudagar dan pelaut, penempatan barang di kapal, kepemilikan di atas kapa, hingga nasib muatan jika kapal diterpa topan.

2. Kebutuhan akan peraturan membuat para matoa duduk bersama

Editorial Team

Tonton lebih seru di