Potret Wali Kota Makassar ke-12, Kol. H. Muhammad Daeng Patompo, yang menjabat periode 1962-1978. (Wikimedia Commons)
Dalam buku Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan: Mobilitas Sosial Kota Makasar, 1900-1950 (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), Wali Kota Makassar saat itu, Kol. H. Muhammad Daeng Patompo mengaku bahwa perubahan ini sebagai imbas dari perluasan wilayah. Tentu saja pesatnya perkembangan penduduk dan ekonomi jadi faktor utama keputusan tersebut.
Jika awalnya hanya memiliki luas 21 kilometer persegi, Makassar kemudian "membuncit" menjadi 115,87 kilometer persegi. Sebanyak 11 kecamatan dan lebih dari 700 ribu penduduk pun tergabung ke dalam Kota Makassar. Wilayah tambahan seluas 94 kilometer persegi, dulunya menjadi milik Kabupaten Gowa, Maros serta Pangkajene Kepulauan (Pangkep).
Lantas kenapa nama kota ini harus diubah? Daeng Patompo berkilah ini sebagai kompromi dengan petinggi daerah yang sebagian wilayahnya diadopsi. Dalam buku Makassar Doeloe, Makassar Kini, Makassar Nanti (Yayasan Losari, 2001), diketahui bahwa Bupati Maros Letkol H. Muhammad Kasim Daeng Marala, dan Bupati Gowa Kolonel K.S. Mas’ud, menentang keras rencana perluasan tersebut.
Beruntung, sikap keras dari dua pemimpin wilayah tetangga bisa diredam. Pangkowilhan III Letjen TNI Kemal Idris turun langsung sebagai penengah. Kesepakatan pun dicapai. Sebagian wilayah akan diberi, dengan catatan nama Makassar harus diganti.
Di sisi lain, DPRD Makassar saat itu menyebut bahwa Makassar dianggap tidak tepat untuk dijadikan nama ibu kota Daerah Tingkat I atas beberapa pertimbangan. Salah satunya, Makassar dianggap merujuk pada nama etnis yang menggunakan bahasa Makassar dan rumpun turunannya.