ilustrasi rukyatul hilal (unsplash.com/Gregory Hayes)
Bulan Muharram sendiri memiliki posisi yang sangat mulia dalam Islam. Dikutip dari laman almanhaj.or.id, Muharram termasuk salah satu dari empat bulan haram (suci) yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36:
"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..."
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Nabi ﷺ bersabda:
“Dalam setahun ada dua belas bulan. Empat di antaranya adalah bulan haram. Tiga berurutan: Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharram, sedangkan yang keempat adalah Rajab.”
(HR. al-Bukhari no. 2958)
Qotadah, salah seorang ulama tabi’in, menafsirkan bahwa kezaliman atau perbuatan dosa di bulan-bulan haram memiliki konsekuensi lebih besar dibanding bulan lainnya. Sebaliknya, amal baik yang dilakukan di bulan tersebut juga bernilai pahala lebih tinggi.
Selain itu, Muharram juga dikenal sebagai bulan yang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, terutama puasa. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram.”
(HR. Muslim no. 1982)
Penyandaran nama bulan kepada Allah (“Syahrullah”) menunjukkan keagungan bulan ini. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, Nabi tidak pernah memuasai seluruh hari dalam Muharram, sehingga hadits tersebut dimaknai sebagai anjuran memperbanyak puasa sunnah, bukan untuk memuasainya secara penuh.
Maka, pelaksanaan akad nikah di hari pertama bulan Muharram ini bukan hanya momen pribadi sepasang pengantin, melainkan juga sebuah pernyataan kolektif: bahwa masyarakat kini perlahan mulai meninggalkan kepercayaan lama yang tidak memiliki dasar syariat. Mereka mulai menjadikan ilmu dan tuntunan agama sebagai pedoman utama.
Pernikahan yang berlangsung di awal tahun hijriah ini menjadi contoh bagi umat Islam lainnya—bahwa waktu terbaik untuk menikah adalah ketika siap lahir dan batin, bukan ditentukan oleh mitos atau musim.