Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
post_wRhjq6ex10.jpeg
Ilustrasi akad nikah. (Dok. Kemenag Sulsel)

Makassar, IDN Times - Gemerlap pakaian adat Bugis yang dikenakan mempelai pria menjadi saksi prosesi sakral. Di dalam ruangan berdekor kain bermotif keemasan, suasana khidmat menyelimuti para tamu yang duduk bersila. Seorang penghulu mengenakan jas dan sarung khas tengah membacakan akad dengan suara tenang, disambut kalimat ijab kabul yang tegas dan mantap. Di Dusun Arakarae, Desa Laccori, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone, momen sakral itu berlangsung pada Kamis (26/6/2025), bertepatan dengan 1 Muharram, hari pertama tahun baru Islam.

Akad nikah ini tak sekadar penyatuan dua insan, namun juga menandai perubahan besar dalam cara pandang masyarakat. Di tengah tradisi Bugis yang kental, khususnya di Bone, masih hidup kepercayaan lama bahwa bulan Muharram, atau bulan Suro, tidak baik untuk pernikahan. Konon, menikah di bulan ini diyakini bisa membawa sial, ketidakharmonisan, hingga perceraian. Namun keyakinan itu mulai dipertanyakan.

1. Islam tidak mengenal waktu sial

ilustrasi tahun baru Islam (pixabay.com/aditya_wicak)

Dalam akad tersebut, penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) Dua Boccoe, Sulmuddin, yang juga tokoh agama setempat, menegaskan bahwa tidak ada larangan dalam Islam terkait waktu atau bulan untuk menikah. Ia menjelaskan kepada hadirin bahwa Islam tidak mengenal waktu sial. Justru pemahaman seperti ini harus diluruskan agar tidak menyesatkan umat.

Penyuluh Agama Islam KUA Dua Boccoe, Muhammad Ashar, turut hadir dan memperkuat pernyataan itu. “Sebagian orang di sana (Timur Tengah) menganggap bahwa menikah di bulan ini membawa keburukan, bahkan ada yang mengharamkannya. Padahal, tidak ada dalil sahih yang mendukung pandangan tersebut,” katanya, dikutip dari laman Kementerian Agama Sulawesi Selatan, Selasa (1/7/2025).

2. Kecuali saat ihram, tidak ada dalil melarang pernikahan di waktu tertentu

Ilustrasi buku nikah (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Ia menambahkan, “Dalam Islam, tidak dikenal waktu sial untuk menikah. Bahkan Rasulullah ﷺ menikahkan putrinya, Sayyidah Fatimah, pada bulan Syawal. Hal itu untuk membantah kepercayaan masyarakat Jahiliyah bahwa Syawal adalah bulan yang tidak baik untuk menikah.”

Pandangan ini sejalan dengan fatwa dari Dar al-Ifta’ Mesir yang menegaskan:

"Bagaimanapun juga, tidak boleh ada anggapan kesialan dalam pernikahan yang dilakukan pada hari atau bulan tertentu seperti pada bulan Syawal, Muharram, Shafar, dan lain-lain. Tidak ada dalil yang melarang pernikahan di waktu tersebut kecuali saat ihram dalam haji atau umrah." (Fatawa Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah 10/25)

3. Muharram bulan mulia dalam Islam

ilustrasi rukyatul hilal (unsplash.com/Gregory Hayes)

Bulan Muharram sendiri memiliki posisi yang sangat mulia dalam Islam. Dikutip dari laman almanhaj.or.id, Muharram termasuk salah satu dari empat bulan haram (suci) yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36:

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..."

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Nabi ﷺ bersabda:

“Dalam setahun ada dua belas bulan. Empat di antaranya adalah bulan haram. Tiga berurutan: Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharram, sedangkan yang keempat adalah Rajab.”
(HR. al-Bukhari no. 2958)

Qotadah, salah seorang ulama tabi’in, menafsirkan bahwa kezaliman atau perbuatan dosa di bulan-bulan haram memiliki konsekuensi lebih besar dibanding bulan lainnya. Sebaliknya, amal baik yang dilakukan di bulan tersebut juga bernilai pahala lebih tinggi.

Selain itu, Muharram juga dikenal sebagai bulan yang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, terutama puasa. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram.”
(HR. Muslim no. 1982)

Penyandaran nama bulan kepada Allah (“Syahrullah”) menunjukkan keagungan bulan ini. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, Nabi tidak pernah memuasai seluruh hari dalam Muharram, sehingga hadits tersebut dimaknai sebagai anjuran memperbanyak puasa sunnah, bukan untuk memuasainya secara penuh.

Maka, pelaksanaan akad nikah di hari pertama bulan Muharram ini bukan hanya momen pribadi sepasang pengantin, melainkan juga sebuah pernyataan kolektif: bahwa masyarakat kini perlahan mulai meninggalkan kepercayaan lama yang tidak memiliki dasar syariat. Mereka mulai menjadikan ilmu dan tuntunan agama sebagai pedoman utama.

Pernikahan yang berlangsung di awal tahun hijriah ini menjadi contoh bagi umat Islam lainnya—bahwa waktu terbaik untuk menikah adalah ketika siap lahir dan batin, bukan ditentukan oleh mitos atau musim.

Editorial Team