Upacara Adat Mosehe di Sultra: Penolak Bala hingga Penjaga Perdamaian

Salah satu tradisi turun-temurun milik Suku Tolaki

Makassar, IDN Times - Upacara adat Mosehe memiliki tempat tersendiri di dalam khazanah budaya Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Kata "mosehe" sendiri secara terminologi adalah penggabungan dua kata yakni "mo" (melakukan sesuatu) dan "sehe" (suci atau menyehatkan).

Beranjak dari pemaknaan tersebut, muncul dalam benak bahwa upacara tersebut identik dengan ritual tolak bala (baik gagal panen, wabah atau bencana) yang menimpa sebuah wilayah, namun lebih dari sekadar itu. Dalam artikel jurnal "Islam, Adat, And Conflict Resolution" (JICSA Volume 02, No. 01, Juni 2013) menjelaskan bahwa Mosehe juga diadakan untuk menyelesaikan konflik.

"Masyarakat Tolaki berasumsi, bahwa kemunculan beragam masalah gawat seperti wabah menyebabkan kematian, permusuhan, konflik antar individu, konflik antar keluarga, konflik antar kelompok atau konflik antar desa, adalah hasil perbuatan manusia yang telah dilanggar norma adat. Untuk memulihkan keadaan, tidak ada cara untuk memulihkan keadaan kecuali dengan menggelar Mosehe," tulis Erens Elvianus Koodoh (hal. 149).

1. Upacara adat Mosehe sudah berlangsung turun temurun sejak abad ke-13

Upacara Adat Mosehe di Sultra: Penolak Bala hingga Penjaga PerdamaianDok. Istimewa (Amir Ta Lent)

Masyarakat Tolaki percaya bahwa semua bencana, konflik, gagal panen, perang hingga wabah terjadi akibat pelanggaran terhadap aturan para dewa. Alhasil, Mosehe diadakan dengan harapan agar Tuhan Yang Maha Kuasa (Ombu dalam bahasa lokal) berkenan menerima persembahan upacara demi kepentingan, keselamatan, dan kemaslahatan orang banyak.

Menurut sejarah, Mosehe sudah berlangsung turun temurun sejak abad ke-13, ketika Raja Larumbalangi memerintah Kerajaan Mekongga. Ritual tersebut kemudian diteruskan oleh para penguasa selanjutnya. Raja Rumbalasa (Anakia Lamba-Lambasa) melakukan ritual ini setelah berperang melawan Kerajaan Konawe.

Demi melanggengkan perdamaian, kedua raja sepakat menggelar upacara Mosehe dengan harapan perang lain tak akan pecah yang melibatkan anak cucu di masa depan. Setelahnya, pernikahan antarkerajaan tersebut diadakan. Putra Raja Larumbalasa, Sangia Lombo-Lombo, mempersunting putri Raja Buburanda Saa I Wawo Latoma, yakni Wungabae. 

Pada awal abad ke-17, raja Mekongga keenam yakni Sangia Nilulo (Bokeo Teporambe) juga melaksanakan Mosehe usai sembuh dari sakit berkepanjangan. Dari sinilah Mosehe dipadukan dengan Lalo Sangia, yakni ritual permohonan dan memanjatkan doa-doa kepada dewa-dewa di langit (Sangia) agar sakit sang raja segera diangkat.

2. Saat agama Islam masuk pada abad ke-17, upacara tersebut kemudian memasukkan unsur-unsur keislaman

Upacara Adat Mosehe di Sultra: Penolak Bala hingga Penjaga PerdamaianDok. Istimewa (Yuliana Caren)

Di sisi lain, fungsi Mosehe sebagai penyelesai sengketa tak lepas dari kepercayaan bahwa leluhur masyarakat Suku Tolaki yang terlibat konflik. Entah antarindividu, keluarga, kelompok dan desa. Konflik tersebut tercipta akibat sumpah menyumpah (pombetudari), di mana kedua pihak yang bertikai takkan bersatu selamanya. Kelak, keturunan mereka tetap beranak pihak. Dan untuk memutus sumpah yang telah diucapkan, Mosehe satu-satunya cara. Tak heran acara pernikahan Tolaki juga harus didahului dengan Mosehe.

Ritual Mosehe ini terdiri dari lima macam, yakni Mosehe Ndiolu (upacara penyucian diri dengan persembahan telur), Mosehe Manu (upacara dengan persembahan ayam), Mosehe Dahu (upacara dengan persembahan anjing), Mosehe Ngginiku (upacara dengan persembahan kerbau putih), dan terakhir Mosehe Ndoono (upacara dengan persembahan manusia).

Kelimanya adalah hasil dari kepercayaan dinamisme dan animisme lokal yang dipegang sejak turun-temurun. Namun setelah Islam dibawa masuk oleh Opu Daeng Masaro pada abad ke-17, masyarakat Tolaki tak lagi melakukan Mosehe Dahu dan Mosehe Ndoono karena dianggap tak sejalan dengan aturan agama. Dari sini, unsur Islami juga dimasukkan ke dalam ritual tersebut seperti memanjatkan doa kepada Allah SWT.

3. Berdasarkan situasi dan perkara yang dihadapi, Mosehe terbagi menjadi tujuh jenis

Upacara Adat Mosehe di Sultra: Penolak Bala hingga Penjaga PerdamaianDok. Istimewa (Yuliana Caren)

Masyarakat Tolaki mengenal tujuh jenis Mosehe berdasarkan situasi dan perkara yang dihadapi oleh masyarakat, entah dalam lingkup luas atau hanya melibatkan dua pihak. Ketujuh jenisnya yaitu:

  • Mosehe Wonua, membersihkan atau menyucikan kampung/desa/negeri dari perbuatan tercela yang dilakukan masyarakat, dan tolak bala dari segala bencana atau musibah. Hewan yang dikorbankan adalah seekor kerbau putih atau kerbau biasa.
  • Mosehe Ndau/Ndinau, upacara yang dilaksakan saat ladang/sawah/kebun baru dibuka untuk pertama kalinya. Ini dilakukan agar padi, sayuran dan tanaman laun yang ditanam bisa tumbuh subur.
  • Mosehe Umoapi/Saolowa, untuk mendamaikan rumah tangga suami atau istri yang berselingkuh. Dalam upacara tersebut, turut dihadirkan pula pihak yang mengganggu keutuhan rumah tangga mereka.
  • Mosehe Ine Pepakawia, memutus konflik lantaran sumpah yang diucapkan oleh leluhur kedua calon pengantin (pombetudari). Ini demi mewujudkan rumah tangga harmonis sekaligus melepas beban warisan nenek moyang.
  • Mosehe Ndepokono, mendamaikan konflik antara dua pihak yang dilakukan antar individu, keluarga, kelompok atau desa. Dan dalam konflik itu terjadi saling sumpah antar kubu (mombetudari).
  • Mohese Mobeli, dilakukan dalam peletakan batu pertama sebuah bangunan yang baru dibangun.
  • Mohese Ine Matea, memutus sumpah seseorang yang meninggal jika diucapkan di masa lalu ketika mendiang terlibat konflik. Ritual ini diadakan sebelum proses pemakaman jenazah dimulai.

Baca Juga: Silariang di Bugis-Makassar: Pilihan Nekat Pasangan Terbentur Restu

4. Kerbau putih menjadi salah satu kurban dalam proses upacara ini

Upacara Adat Mosehe di Sultra: Penolak Bala hingga Penjaga PerdamaianDok. Humas & Protokol Pemerintah Kabupaten Kolaka

Dalam artikel jurnal berjudul "Penerapan Mosehe dalam Penyelesaian Konflik oleh Masyarakat Tolaki dan Masyarakat Pendatang di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara" (Walasuji, Volume 9, No. 1, Juni 2018), dua peneliti asal Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan yakni Abdul Hafid dan Raodah menjelaskan secara rinci prosesi upacara Mosehe.

Upacara harus dilaksanakan pada pagi hari (antara pukul 6 hingga 9), dengan harapan suasana dingin atau sejuk bisa mendinginkan "suasana panas". Untuk tempat pelaksanaannya, tergantung jenis apa yang diadakan. Mosehe Wonua, Mosehe Ndau/Ndinau atau Mosehe Ndepokono dilakukan di area terbuka sebab melibatkan banyak orang. Mohese Ine Matea diadakan di dalam ruangan.

Di sisi lain, makna rumah di Suku Tolaki sebagai tempat kedamaian dan keluarga rukun membuat Mosehe Umoapi/Saolowa harus dilakukan di luar rumah. Pantang hukumnya keluarga tak harmonis untuk memasuki rumah.

Bahan-bahan yang disiapkan dalam seluruh Mohese. Ada bite kasu (daun sirih hutan), owule (kapur sirih) dan inea (pinang) yang menjadi simbol kekeluargaan dan persatuan. Turut pula disiapkan batang pohon pisang sebagai perlambang kesejukan, serta ngginiku (kerbau) sebagai hewan kurban. Kerbau putih dulu sering menjadi syarat wajib. Namun ketika populasinya kian langka, kurban pun berganti jadi kerbau biasa, ayam atau telur.

5. Upacara Mosehe masih dilaksanakan hingga sekarang, dengan tujuan menjaga tradisi dan nilai lokalitas

Upacara Adat Mosehe di Sultra: Penolak Bala hingga Penjaga PerdamaianDok. Humas & Protokol Pemerintah Kabupaten Kolaka

Selanjutnya ada oduku, nyiru atau kappara sebagai wadah semua sesajian. Bahan-bahan yang disiapkan kemudian disiram dengan iwoi (air) yang sudah ditampung dalam osere (cerek). Hewan kurban kemudian disembelih menggunakan taawu (parang khas Tolaki) atau opiso untuk sekadar menyembelih ayam.

Upacara Mosehe ini dipimpin oleh seorang tokoh adat atau tetua kampung (toono motuo). Mereka pula yang bertindak sebagai mediator antara kedua pihak yang bertikai sebelum memulai Mosehe. Sebelum kata damai berhasil dicapai, pemimpin upacara kemudian memanjatkan doa (pondotonao) agar usahanya mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Khusus Mosehe Wonua, ada tiga tuturan yang diucapkan oleh tolea (juru bicara adat masyarakat setempat). Tuturan pembuka (pondorambuu) adalah izin memulai hajatan dihaturkan kepada pihak-pihak yang diagungkan seperti pemimpin daerah yakni Bupati. Tuturan inti, berisi aturan atau petunjuk adat agar masyarakat mematuhi adat Mosehe Wonua. Dan tuturan penutup sebagai bentuk pemujaan terhadap leluhur yang menciptakan dan menghadirkan tradisi yang masih hidup hingga kini.

Mosehe Wonua, yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia di tahun 2014, masih kerap dilaksanakan hingga sekarang. Pemerintah Kabupaten Kolaka terakhir mengadakannya pada Februari 2019, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-59 kabupaten tersebut.

Baca Juga: Penutur Sisa Hitungan Jari, 5 Bahasa Daerah di Sulawesi Terancam Punah

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya