Suasana Makassar Tahun 1856 dalam Catatan Alfred Russell Wallace

Ia kagum pada peraturan menyiram jalan tiap jam empat sore

Makassar, IDN Times - Setelah tiga hari berlayar dari Lombok, penjelajah-naturalis asal Inggris yakni Alfres Russel Wallace akhirnya menatap pemandangan Makassar. Kota tersebut rupanya sudah lama ia ingin singgahi sejak memulai perjalanan melanglang buana di Jazirah Melayu pada tahun 1854.

Wallace menceritakan secara rinci seperti apa keadaan Makassar di pertengahan abad ke-19. dalam buku The Malay Archipelago yang diterbitkan pada 1869. Saat kapalnya bersandar di dermaga pelabuhan di tanggal 2 November 1856 subuh, ia mendeskripsikan secara rinci bentang alam Makassar dan sekitarnya yang sangat berbeda dengan sekarang.

"Beberapa bukit, yang tidak terlalu tinggi, terlihat di latar belakang Makassar. Tapi karena kabut yang terus-menerus menutupi daratan saat saya dayang, saya tidak dapat melihat dataran tinggi di tengah semenanjung, atau puncak Bantaeng (Gunung Lompobattang) yang termahsyur di ujung selatannya," tulis Wallace.

Baca Juga: 5 Fakta Menarik Alfred Russel Wallace, Penemu Garis Imajiner Nusantara

1. Dulu area Makassar hanya mencakup kawasan kota tua di utara Benteng Fort Rotterdam

Suasana Makassar Tahun 1856 dalam Catatan Alfred Russell WallaceSuasana pelabuhan dan kawasan kota tua Makassar antara tahun 1883 hingga 1889 dalam ilustrasi litograf karya Josias Cornelis Rappard. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Culture)

Dalam catatannya, Wallace bahkan menjelaskan secara rinci suasana Makassar. Saat itu, areanya hanya bagian utara Benteng Rotterdam, yang kini membentang dari Jalan Timor ke selatan yakni Jalan Ahmad Yani. Kawasan tersebut sudah menjadi pusat perniagaan sejak abad ke-16, jauh sebelum Wallace datang. Tapi hal tersebut masih bertahan hingga detik ini.

"Kota ini terutama terdiri dari satu jalan sempit yang panjang, di sepanjang tepi laut, yang dikhususkan untuk bisnis, dan sebagian besar ditempati oleh kantor dan gudang pedagang Belanda dan China, serta toko atau pasar pribumi," tulis Wallace.

"Sejajar dengan jalan ini terdapat dua jalan pendek, yang membentuk kota tua Belanda, dan dikelilingi oleh gerbang. Ini terdiri dari rumah-rumah pribadi, dan di ujung selatannya terdapat benteng, gereja, dan jalan yang lurus ke arah pantai, berisi rumah Gubernur dan para pejabat utama," kenangnya.

Dari deskripsi Wallace, bisa disimpulkan bahwa kawasan kota tua Makassar dulu menjadi area kediaman para pembesar. Kendati kini sudah berganti menjadi barisan pertokoan, beberapa gedung bergaya klasik masih berdiri kokoh. Beberapa memang sudah terlihat lusuh dimakan usia, tapi masih banyak yang berfungsi dan dikunjungi wisatawan.

2. Wallace juga turut menyusuri area perkampungan penduduk lokal

Suasana Makassar Tahun 1856 dalam Catatan Alfred Russell WallaceSuasana perkampungan penduduk Bugis dan Makassar di luar kota tua Makassar antara tahun 1905 hingga 1914. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)

Lebih jauh, di bagian utara kawasan kota tua saat Wallace datang adalah kampung-kampung dengan deretan rumah panggung tradisional. Meski digambarkan dengan kata "memprihatinkan", tapi ia memuji area tersebut lantaran berjejer rapi dan terasa teduh berkat kehadiran pohon-pohon buah.

"Kawasan ini biasanya dipenuhi oleh lelaki asli Bugis dan Makassar, yang mengenakan celana panjang berbahan katun dengan panjang sekitar dua belas inci, hanya menutup pinggul hingga separuh paha, dan sarung Melayu universal berwarna kotak-kotak yang dikenakan melingkari pinggang atau melintasi bahu dengan berbagai cara," kenang Wallace.

Area pemukiman non-Eropa lainnya juga terdapat di selatan Benteng, yang kini menjadi Jalan Penghibur. Tapi di sekelilingnya terbentang luas berhektar-hektar lahan sawah. Sayangnya, saat Wallace datang, kemarau sedang melanda dan petani tak bisa bercocok tanam. Ia membandingkan pemandangan ini dengan apa yang ia lihat di Bali enam bulan sebelumnya.

"Beberapa bulan yang lalu area ini menghasilkan tanaman hijau yang melimpah, dan penampakannya yang tandus pada musim ini sangat kontras dengan tanaman tahunan di negara yang sama seperti di Lombok dan Bali, yang musimnya sama persis, tapi memiliki sistem penanaman yang rumit yakni irigasi yang menghasilkan efek mata air abadi," tulisnya.

3. Merasa kagum pada peraturan unik untuk menyiram jalanan tiap jam empat sore

Suasana Makassar Tahun 1856 dalam Catatan Alfred Russell WallaceSuasana kawasan Benteng Fort Rotterdam di Makassar antara tahun 1883 hingga 1889 dalam ilustrasi litograf karya Josias Cornelis Rappard. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Culture)

Wallace turut menaruh perhatian pada beberapa peraturan lokal lantaran Makassar adalah kota kolonial Belanda pertama yang dikunjunginya. Ada dua hal yang ia anggap mengagumkan, yakni perintah agar seluruh rumah dicat putih, dan menyiram jalan saat sore hari.

"Semua rumah orang Eropa harus dijaga agar tetap bercat putih dengan baik, dan setiap orang harus, pada pukul empat sore, menyirami jalan di depan rumahnya," jelas Wallace tentang dua peraturan pemerintah tersebut.

"Jalan-jalan pun bersih dari sampah, dan saluran-saluran air yang tertutup membawa semua kotoran ke dalam selokan-selokan besar yang terbuka, tempat air pasang masuk saat air pasang dan dibiarkan mengalir keluar ketika air surut, sehingga membawa semua limbah ke laut," demikian penjelasan Wallace yang baru berusia 33 tahun saat singgah ke Makassar.

Mamajang menjadi tempatnya tinggal dari September 1856 hingga Januari 1857. Ketika kembali dari menjelajah Kepulauan Kei dan Aru (Januari - Juli 1857), Wallace menyinggahi Tanah Daeng lagi pada 11 Juli 1857 dan tinggal di sana hingga akhir November. Makassar juga menjadi satu-satunya kota yang dia kunjungi dua kali dalam penjelajahannya di Hindia-Belanda selama delapan tahun.

Baca Juga: 10 Potret Sejarah Makassar dari Abad ke Abad, Apa Saja yang Berubah?

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya