Sepak Terjang Para Kapitan Pemimpin Masyarakat Tionghoa di Makassar

Dipilih berdasarkan reputasinya pada bidang ekonomi

Makassar, IDN Times - Sepanjang sejarah masyarakat Tionghoa di Kota Makassar sejak abad ke-16, terdapat satu posisi dengan kedudukan tertinggi. Jabatan tersebut adalah "kapitan" (kap-pit-tan dalam dialek Hokkian) yang bertugas memimpin komunitas Tionghoa.

Justian Suhandinata dalam buku WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia (GPU, 2013) menulis bahwa kapitan ini bertugas menyelesaikan sengketa perdagangan dalam komunitasnya. Biasanya mereka adalah orang-orang terpandang lantaran memiliki kapasitas ekonomi dan politik yang besar.

Saat masa VOC berkuasa di Nusantara, para kapitan ini bahkan ditugasi untuk menangani urusan kependudukan. Sebut saja menarik pajak, izin tinggal hingga izin menikah. Sejarah pun mencatat bagaimana sepak terjang para kapitan Tionghoa yang iringi perkembangan Kota Makassar.

Baca Juga: Sejarah Awal Tionghoa di Makassar, Perdagangan dan Sebutan Sanggalea

1. Pada abad ke-17, ada nama kapitan Ong Goat Ko yang terkenal hingga Kerajaan Bone

Sepak Terjang Para Kapitan Pemimpin Masyarakat Tionghoa di MakassarPeta Makassar dan Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1638 menurut buku "Secret Atlas of the East India Company." (Wikimedia Commons)

Peneliti Yerry Wirawan dalam buku Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar (KPG, 2014) menulis bahwa kapitan Makassar yang paling awal diketahui adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Intje Couko atai Oeikoeko. Ia dipercaya oleh VOC untuk memonopoli penyulingan arak pada tahun 1674. Setelah Oeikoeko pindah ke Batavia pada 1679, usaha tersebut diserahkan pada anaknya yakni Ong Goat Ko.

Tak cuma usaha, Ong Goat Ko juga diwarisi jabatan sebagai kapitan komunitas Tionghoa. Meski begitu, Yerry menyebut proses pemilihan kapitan Tionghoa di Makassar masih belum diketahui secara pasti. Ong Goat Ko sendiri dikenal sebagai saudagar yang berdagang dari Filipina hingga Kepulauan Maluku.

Ia pun menjalin relasi dengan Arumpone (Raja Bone) Arung Palakka. Sebuah catatan yang dihimpun oleh sejarawan Leonard Andaya bahkan menyebut bahwa Ong Goat Ko ikut menghadiri pemakaman Arung Palakka saat wafat pada 1696. Lalu dua tahun berselang, ia turut andil menyelesaikan sengketa yang melibatkan pedagang Wajo, Melayu dan Tionghoa di Makassar.

2. Klenteng Thian Hou (kini Vihara Ibu Agung Bahari) didirikan pada masa jabatan kapitan Ong Goat Ko

Sepak Terjang Para Kapitan Pemimpin Masyarakat Tionghoa di MakassarFoto Klenteng Thian Hou Kong di Kota Makassar antara tahun 1900 dan 1920. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Tak cuma membina relasi dengan orang-orang berpengaruh di Sulawesi Selatan waktu itu, Ong Goat Ko turut membangun kehidupan sosio-kultural masyarakat Tionghoa Makassar. Kala menjabat sebagai kapitan, ia mendirikan sebuah kelenteng yang dipersembahkan untuk Dewi Langit (Tianhou, kini menjadi Vihara Ibu Agung Bahari) yang melindungi para pelaut dan pedagang saat dalam perjalanan.

Titik terang tentang pemilihan kapitan di Makassar baru terkuak berkat catatan tahun 1701. Saat itu, pihak Batavia-lah yang memilih sendiri sang pejabat kapitan. Tapi nama-nama tersebut harus direkomendasikan oleh para penguasa Makassar. Yang terpilih adalah Ongkiego, putra dari Ong Goat Ko.

Berbeda dengan Ong Goat Ko, Yenny Wirawan menulis bahwa hanya sedikit yang bisa diketahui tentang sepak terjang Ongkiego di dunia perdagangan. Saat Ong Kie Go meninggal dunia pada 1732, sang anak yakni Ongkingsay dipilih menjadi kepala masyarakat. Tapi, Ongkingsay terpaksa harus mundur sebagai kapitan lantaran masalah keuangan.

3. Di abad ke-18, para kapitan Tionghoa lebih banyak terlibat dengan kegiatan sosial-budaya

Sepak Terjang Para Kapitan Pemimpin Masyarakat Tionghoa di MakassarSuasana pelabuhan Makassar antara tahun 1883 hingga 1889 berdasarkan litograf karya Josias Cornelis Rappard. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Didapuk sebagai kapitan pengganti Ongkingsay pada tahun 1738 adalah Lijauko, seorang saudagar sukses. Lombard-Salmon dalam artikel La vie littéraire et artistique des Chinois peranakan de Makassar (1983) menulis bahwa Lijauko memperbaiki klenteng Tianhou agar bagian depannya menghadap gunung menghadap gunung dan bagian belakang menghadap ke arah pesisir Makassar.

Kendati demikian, sejarah tidak merekam secara rinci perihal riwayat sepak terjang kapitan Tionghoa di Makassar pada parah akhir abad ke-18. Tapi nama mereka tetap tercatat yakni Lim Lamseeng serta Ongtoeiko. Sebuah catatan sendiri mengungkap bahwa pada tahun 1766, saat Lim Lamseeng menjadi kapitan, komunitas Tionghoa menerima hibah sebidang tanah dari VOC untuk dijadikan sebagai lahan perkuburan.

Setelah VOC tumbang pada 1799, pemerintah Hindia-Belanda meneruskan sistem kapitan. Menjadi kapitan di Makassar pertama pada masa kolonial adalah Oey Nyeeko yang menjabat sejak akhir abad ke-18. Beberapa hal yang ia lakukan seperti mengajukan permohonan pada pemerintah kota terkait perpanjangan hak penggunaan lahan pemakaman, serta kembali merenovasi klenteng Tianhou pada tahun 1803.

4. Sepanjang abad ke-19, beberapa anggota keluarga Nio menjabat sebagai kapitan

Sepak Terjang Para Kapitan Pemimpin Masyarakat Tionghoa di MakassarIlustrasi suasana interior salah satu rumah masyarakat Tionghoa di Kota Makassar antara tahun 1898 hingga 1907. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Sepanjang abad ke-19, keluarga Nio mencuat pemimpin komunitas Tionghoa di Makassar. Beberapa anggota yang menjadi kapitan. Ada Nio Kikong (1817-1833), Nio Hwaytjoh (1834-1836) serta Nio Tek Hoe (1864-1876). Yerry menulis bahwa keluarga Nio diperkirakan turut membangun jaringan pedagang mulai dari Banda sebagai pusat rempah-rempah hingga Bali. Pada masa Nio Hwaytjoh, klenteng Tianhou bahkan kembali jalani restorasi untuk kali kedua sejak didirikan.

Masuk akhir abad ke-19 terdapat sejumlah sosok kapitan seperti Lie An Djiang (1880-1887) dari keluarga Lie yang banyak terlibat kegiatan amal. Kemudian ada Thoeng Tjam (1893-1908), saudagar pemilik perusahaan bernama Shungfenghao, yang mendirikan rumah abu pemujaan utama (Chongben tang).

Thoeng Tiong Pie, anak asuh Thoeng Jam, kemudian menjadi kapitan dari 1911 hingga 1916. Sumbangsihnya untuk kehidupan kultural masyarakat Tionghoa di Makassar adalah pendirian yayasan Tjong Tek Tok, yang berarti "Ruangan bagi Pemujaan Kebijaksanaan." Thong Tiong Pie pun menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk Tiong Hoa Hak Tong, sekolah Tionghoa modern pertama di Makassar yang didirikan pada tahun 1900.

5. Kapitan Nio Eng Boe (menjabat 1916-1921) adalah salah satu sosok penting di sektor ekonomi Makassar awal abad ke-20

Sepak Terjang Para Kapitan Pemimpin Masyarakat Tionghoa di MakassarSuasana kawasan Pecinan di Kota Makassar antara tahun 1898 hingga 1902. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Setelah Thong Tiong Pie, Thio Tjong Tiat menjadi kapitan pada 1916 tapi meninggal pada tahun yang sama. Thio Tjong Tiat sendiri sebelum menjabat sebagai kapitan adalah seorang pemimpin perkumpulan pemuda Tionghoa yang dikenal dengan nama Tiong Hoa Siao Leang Hwee.

Tepat usai Thio Tjong Tiat mangkat, salah satu anggota keluarga Nio kembali menjadi kapitan. Ia adalah Nio Eng Boe, generasi keenam, yang ikut aktif dalam perkembangan ekonomi Kota Makassar. Salah satunya saat ia mendirikan pabrik minyak Insulinde pada 1921 atau tahun terakhir masa jabatannya sebagai kapitan.

Nio Eng Boe bahkan ikut mengelola bank Tionghoa yakni Hoa Kiauw Gin Hang yang didirikan oleh Thong Tiong Pie pada tahun 1914. Tak cuma di ekonomi, Nio Eng Boe turut menjadi pemilik saham perusahaan media Handelsdrukkerij en Kantoorhandel Celebes yang menerbitkan surat kabar Pemberita Makassar.

Dengan riwayat panjang tersebut, tak salah jika menyebut para kapitan Tionghoa sebagai bagian penting dari sejarah Kota Makassar.

Baca Juga: Perjuangan Etnis Tionghoa dan Akulturasi Budaya di Indonesia

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya