Riwayat Bugis dan Makassar dalam Denyut Perdagangan Nusantara

Sama-sama jadi pemain penting, relasi memburuk usai perang

Makassar, IDN Times - Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh pada 1377 dan Bandar Melaka direbut Portugis tahun 1511, para pedagang di luar kongsi milik kerajaan-kerajaan Eropa mulai mencari pelabuhan baru untuk disinggahi. Masih di area Nusantara, tapi seluruh pelaut punya banyak opsi tempat singgah di tengah perjalanan panjang atau bahkan untuk menjajakan jualan.

Ada Aceh yang masih berada di sekitar Selat Melaka, Banten sebagai gerbang masuk Pulau Jawa, dan sejumlah bandar sepanjang pesisir timur Pulau Kalimantan. Dan tak jauh dari situ, terdapat Makassar, lokasi persinggahan ideal (selain Bau-Bau) untuk kapal-kapal yang bertolak menuju atau pulang dari Kepulauan Maluku, gugusan kaya rempah di timur Nusantara.

1. Setelah daerah barat Nusantara dikuasai VOC, Makassar jadi tujuan baru pedagang

Riwayat Bugis dan Makassar dalam Denyut Perdagangan NusantaraPemandangan pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1899 hingga 1900. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Reputasi Makassar sebagai bandar strategis kian kuat pada abad ke-17. VOC yang memonopoli perdagangan di Nusantara Barat (Sumatra, Selat Melaka dan Jawa) membuat pedagang asal Inggris, Denmark, Arab hingga China mencari-cari pelabuhan yang masih belum dipengaruhi Kompeni. Sejawaran M.A.P. Meilink-Roeloefz dalam buku Asian Trade and European Influence (1962) menulis bahwa satu-satunya wilayah yang memenuhi kriteria tersebut adalah sebuah bandar di wilayah Kesultanan Gowa.

Dalam waktu beberapa tahun saja, Makassar menjadi sebuah "commercial metropolis" untuk kapal dagang asing yang tak terikat dengan VOC. Maka tak heran, dalam peta Pelabuhan Sombaopu milik East Indies Company pada 1638, bendera Denmarak-Inggris-Portugis berkibar selaras di tepian Sungai Jeneberang dan sisi pesisir. Sekali lagi, letak yang berada di tengah-tengah Jawa dan Maluku membuat Makassar jadi tujuan utama pegadang rempah-rempah.

Tanpa VOC yang masih sibuk mengekploitasi Nusantara Barat, aktivitas Bandar Sombaopu berdampak pada para saudagar Bugis dan Makassar. Sejarawan J.C. van Leur dalam buku Indonesia Trade and Society (1960) kemudian menulis bahwa para pedagang lokal mengganti peran orang Melayu dan Jawa  membuat mereka turut kaya dan makmur. Birokrasi rumit dan setumpuk larangan di Batavia tak berlaku di Makassar. Sultan Alauddin, penguasa pertama Gowa yang masuk Islam, membuka pintu pelabuhan selebar-lebarnya.

2. Orang Bugis dikenal lebih dulu sebagai pedagang-pelaut ulung

Riwayat Bugis dan Makassar dalam Denyut Perdagangan NusantaraPemandangan pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1923 dan 1925. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Sebelum pedagang Makassar menikmati masa jaya, kapal-kapal saudagar Bugis sudah jauh lebih dulu melanglang buana ke Melaka, Gujarat hingga Coromandel. Bahkan dalam catatan Suma Oriental milik Tomé Pires di awal abad ke-16, ia menulis orang Bugis sebagai pedagang-pelaut yang ulung. Mereka mengenal setiap jengkal samudra seperti seorang kawan lama. Tak heran mereka membawa kapal ke Madagaskar, Papua, Filipina, Siam (Thailand) sampai pesisir utara Australia (Marege).

Para pedagang Bugis selama berabad-abad dikenal selalu membawa komoditas yang jadi buruan utama. Mulai dari rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, kayu amber, kayu damar, sarang burung walet, sagu, hingga sirip ikan hiu yang dikeringkan.

Pengetahuan dan kearifan orang Bugis tentang lautan membuat Sultan Melaka ke-8, Sultan Mahmud Syah (1488-1511), menulis hukum maritim berdasarkan cerita-cerita pelaut Bugis. Sedangkan peraturan laut Amana Gappa yang disusun para matoa (ketua) yang mengorganisir masyarakat Bugis-Wajo dengan nama lengkap "Ade allopi loping bicaranna pa'balu baluE" atau etika pelayaran dan perdagangan baru lahir pada 1676.

Baca Juga: Berlayar dengan Kapal Pinisi Bersama Pelaut Bugis di Labuan Bajo

3. Nasib satu sama lain berubah drastis usai peristiwa Perang Makassar

Riwayat Bugis dan Makassar dalam Denyut Perdagangan NusantaraPemandangan Istana Balla Lompoa yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Gowa antara tahun 1883 hingga 1889, dalam lukisan litograf karya Josias Cornelis Rappard. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Awalnya, hubungan Makassar dengan kerajaan Bugis ibarat dua saudara tua. Tapi, kebijakan ekspansionis yang diambil Sultan Alauddin pada 1616 membuat hubungan Gowa dan Bone retak. Ketegangan kian memuncak ketika Sultan Hasanuddin membawa 10.000 orang Bone sebagai pekerja paksa untuk menggali kanal di sekitar Benteng Panakkukang. Aru Palakka, sosok bangsawan yang terusir dari Bone, kemudian diangkat menjadi salah satu pemimpin perlawanan.

VOC memang tak senang dengan berkembangnya Makassar sebagai "commercial metropolis" lantaran Batavia dirugikan. Alhasil, saat Bone meminta bantuan untuk melawan Gowa, Kompeni langsung menyanggupi. Ini adalah kesempatan untuk meruntuhkan supremasi maritim Gowa dan Makassar sebagai bandar tujuan baru.

Pada akhirnya, Gowa benar-benar jatuh ke tangan Kompeni pada 1669. Perjanjian Bongaya membuat supremasi maritim dan reputasi Pelabuhan Makassar sebagai tujuan kapal pun luntur. Tapi, para saudagar Bugis masih tetap melayari lautan membawa barang dagangan hingga abad ke-19. Komunitas diaspora Bugis kian mudah ditemui dan tumbuh di mana-mana. Mereka perlahan jadi pemain penting dalam percaturan politik wilayah yang mereka tinggali.

Baca Juga: Kisah Prajurit Bugis dan Makassar di Keraton Jogja

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya