Pramoedya: Antara Jeruji, Tetralogi Buru, dan Pelarangan Buku

Salah satu penulis terbaik yang dimiliki Indonesia

Makassar, IDN Times - Agustus tahun ini jadi bulan yang istimewa bagi para pengagum Pramoedya Ananta Toer dan tulisan-tulisannya. Dua film adaptasi novelnya, Bumi Manusia (1980) dan Perburuan (1950), dilepas ke pasar. Publik menyambutnya dengan senang hati, tanpa sweeping dan penolakan reaksioner --ingat "Dilan 1992" di Makassar?-- sejauh ini.

Bumi Manusia yang dibesut sutradara kawakan Hanung Bramantyo menyedot nyaris 100 ribu penonton di hari perdana pemutarannya. Sedang Perburuan karya Richard Oh --dibintangi Adipati Dolken dan Ayushita-- rilis bersamaan dengan Bumi Manusia yakni pada Kamis 15 Agustus lalu.

Euforia atas karya-karya Pram melonjak. Bukan karena statusnya yang laris manis di toko buku, namun sebagian berpendapat ini adalah indikasi penting bahwa Indonesia mulai melepas warisan Orde Baru sedikit demi sedikit. Mungkin saja anggapan tersebut masih prematur mengingat buku-buku 'kiri' masih menjadi momok untuk beberapa kalangan, namun nama Pram beserta tulisan-tulisannya kini bebas duduk di rak buku mana saja.

1. Pram mulai menulis sejak masih berstatus sebagai pejuang

Pramoedya: Antara Jeruji, Tetralogi Buru, dan Pelarangan BukuRepro. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (1962)

Lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925, kebolehannya menulis tumbuh saat ia berjuang mengusir Belanda yang hendak kembali menduduki Indonesia. Meski dibui pemerintah kolonial dari 1947 hingga 1949, Pram malah tinggal di Negeri Kincir Angin selama beberapa tahun pada dekade 1950-an sebagai bagian dari program pertukaran budaya.

Pulang dari Belanda, dia jadi lebih produktif. Sejumlah penghargaan disabet oleh Pram seperti Sayembara Balai Pustaka 1949 untuk novel Perburuan serta karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional 1953 untuk kumpulan cerita pendek bertajuk Cerita Dari Blora. Namun daya kritiknya masih sanggup membuat telinga Soekarno panas.

Puncaknya saat Hoakiau di Indonesia terbit pada 1960. Buku yang mengulas sejarah etnis Tionghoa di tanah air sekaligus kritik atas kebijakan Jawa-sentris ternyata dilarang beredar oleh pemerintah masa Demokrasi Terpimpin. Tak sampai di situ, Pram pun bahkan dijebloskan ke penjara selama setahun.

2. Jadi tapol di Pulau Buru jadi masa terberat dalam hidup Pram

Pramoedya: Antara Jeruji, Tetralogi Buru, dan Pelarangan Bukuypkp1965.org

Namun siksaan batin paling hebat yang dialaminya adalah 14 tahun masa terungku pada Orde Baru. Setelah persitiwa G30S, Pram termasuk dalam tokoh intelektual yang ditahan di era Orde Baru tanpa proses pengadilan terlebih dulu. Ia mendekam dalam penahanan dari 1965 hingga 1979. Tempatnya pun berpindah-pindah mulai dari Jakarta, Pulau Nusa Kambangan, Pulau Buru, hingga Magelang.

Semasa menjadi tahanan politik di Buru (Agustus 1969 - November 1979) inilah lahir Tetralogi Buru, empat serangkai novel perihal kronologis tumbuhnya paham nasionalisme di Hindia-Belanda dari kurun waktu 1898 hingga 1912. Tetralogi ini digarap dengan mesin tik reyot, proses kreatif dalam keadaan serba terbatas dan fragmen-fragmen cerita yang disedar ke beberapa rekan sesama tapol.

Singkat cerita, Pram akhirnya bebas dari penjara lewat secarik kertas yang menyebut ia tak bersalah atau terlibat dalam G30S pada 21 Desember 1979. Bumi Manusia jadi proyek pertamanya setelah bertahun-tahun dibuang jauh dari tanah kelahirannya. Berbekal manuskrip selundupan teman dan sanak keluarga yang datang menjenguk, novel tersebut akhirnya terbit pada 25 Agustus 1980. Setahun kemudian, Anak Semua Bangsa menyusul.

3. Tetralogi Buru sempat dilarang oleh rezim Orde Baru

Pramoedya: Antara Jeruji, Tetralogi Buru, dan Pelarangan BukuDokumentasi Pribadi

Sempat banjir puja-puji dari kritikus sastra hingga artis ternama, nasib Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yang terjual lebih dari 20 ribu eksemplar berbalik pada 29 Mei 1981. Jaksa Agung RI menerbitkan surat bernomor Kep-082/JA/5/1981 yang menyatakan buku terbitan Hasta Mitra itu dilarang beredar, tidak diperkenankan disimpan, diperdagangkan dan dimiliki. Yang menyimpan, memiliki dan memperdagangkannya harus menyerahkan novel tersebut ke pihak berwajib.

Dalam harian Kompas edisi Senin 1 Juni 1981, surat tersebut diterbitkan atas alasan telah "menimbulkan tanggapan di berbagai kalangan dalam masyarakat, dan telah berkembang serta mempengaruhi situasi keamanan dan ketertiban (Kamtib) umum". Lebih jauh, dua novel tersebut "secara halus dan terselubung, melalui kelincahan dan kemahiran pengarangnya, melalui data sejarah telah disusupkan ajaran Marxisme-Leninisme."

Hal serupa juga menimpa dua novel Tetralogi Buru selanjutnya, yakni Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1989). Novel-novel tersebut langsung dilarang hanya 1-2 bulan setelah rilis. Tak sampai di situ, beberapa karya lain Pram juga masuk dalam daftar cekal seperti Sang Pemula (1985), Gadis Pantai (1987), Hikayat Siti Mariah (1987), Memoar Oei Tjoe Tat (1995) ditambah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995).

4. Pelarangan oleh Jaksa Agung RI tak lantas membuat Pram berhenti menulis

Pramoedya: Antara Jeruji, Tetralogi Buru, dan Pelarangan BukuLontar Foundation

Larangan tersebut dianggap berkaitan erat dengan fobia komunisme Orde Baru. Latar belakang Pram yang pernah menjadi anggota organisasi kebudayaan Lekra membuat pemberian cap haram ini sarat alasan politis. Toko buku digeledah, koleksi pribadi milik khalayak umum turut disisir. Namun yang terkumpul hanya ratusan kopi. Orang yang kedapatan menyebarkan atau menjualnya dihukum penjara atas dakwaan subversif.

Akan tetapi, daya tarik karya Pram di mata umum --khususnya mahasiswa dan aktivis-- malah melonjak. Banyak cerita tentang bagaimana Tetralogi Buru dibaca secara sembunyi-sembunyi atau disimpan dalam tempat rahasia yang dijamin luput dari amatan. Transaksi pembeliannya pun begitu. Novel atau karta nonfiksi Pram harus disamarkan sedemikian rupa agar tak terendus aparat.

"Saya sama seperti Mas Hanung (Bramantyo, sutradara film Bumi Manusia), membaca novel itu sambil sembunyi-sembunyi. Saya dulu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Itu salah satu (kampus) yang diberi otoritas untuk membaca pikiran Karl Marx. Jadi, relatif kami mengenal beberapa telaah, tulisan termasuk novel Bumi Manusia," kenang Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, saat bertemu dengan para pemain Bumi Manusia dan Perburuan pada 8 Agustus lalu.

Baca Juga: Cerita Khofifah yang Baca "Bumi Manusia" Saat Kuliah Sambil Sembunyi

5. Setelah Orde Baru tumbang, Pram (paling kiri) diundang ke berbagai tempat. Salah satunya memenuhi undangan University of Michigan pada 1999

Pramoedya: Antara Jeruji, Tetralogi Buru, dan Pelarangan BukuUniversity of Michigan/Bob Kalmbach

Setelah Orde Baru tumbang pada 1998, status tahanan negara Pram dicabut. Di usia senja, ia melakukan sejumlah perjalanan ke luar negeri sebagai dosen kuliah umum dan penerima penghargaan. Pram pun diundang ke simposium atau seminar perihal sejarah dan karya-karyanya yang diadakan sejumlah kampus ternama. Animo khalayak umum atas Tetralogi Buru kembali tumbuh, jauh lebih subur ketimbang sebelumnya.

Puncaknya saat Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010 menyatakan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain, kejaksaan tak memiliki wewenang untuk menyita atau melarang buku dan hanya melakukan pengawasan.

Seluruh karya Pram --termasuk Tetralogi Buru yang dilabeli mahakarya-- kini dicetak ulang dan diedarkan oleh Lentera Dipantara, sebuah penerbitan yang dikelola oleh putri kandung Pram, yakni Astuti Ananta Toer.

Pram wafat di Jakarta, 30 April 2006, di usia 81 tahun, meninggalkan puluhan karya dan warisan ingatan sarat sejarah untuk Indonesia dan dunia. Buku-buku Pram kini sudah diterjemahkan ke lebih dari 42 bahasa asing. 

Baca Juga: Genangan Darah di Sepatu Lars Kapten Raymond Westerling

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya