Perjuangan Gigih BF Matthes dan Colliq Pujie Bukukan I La Galigo

Hasil kerja yang perkenalkan epos Bugis ke sastra dunia

Makassar, IDN TimesI La Galigo adalah tradisi kesusasteraan lisan dengan makna sakral. Setiap ritual adat masyarakat Bugis di masa lampau selalu didahului dengan pembacaan beberapa baris atau episode dari isi epos tersebut oleh kaum Bissu, pendeta kepercayaan lama.

Nah, penggunaan bahasa Bugis Kuno (basa to ri olo) menguatkan posisi La Galigo di mata masyarakat sebagai warisan budaya. Kedatangan bangsa Barat ke Kepulauan Nusantara banyak mempengaruhi minat penelitian atas ragam bahasa dan sastra lokal. I La Galigo sendiri pertama kali disinggung dalam catatan mashyur milik Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Jawa, yang terbit pada 1817. Ditulis sebagai "syair kepahlawanan yang dibacakan dengan suara bernyanyi," Raffles malah menganggap I La Galigo nama penulis epos tersebut.

Seiring waktu, ketertarikan juga diperlihatkan pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1847, Benjamin Frederik Matthes ditunjuk oleh pengurus organisasi Alkitab Belanda (Nederlandsch Bijbelgenootschap) untuk meneliti sastra Bugis, termasuk I La Galigo, secara ilmiah langsung di Sulawesi Selatan. Selain itu, Matthes juga ditugasi menjadi misionaris, serta menerjemahkan Alkitab ke bahasa Bugis dan bahasa Makassar.

1. Upaya mengumpukan seluruh naskah I La Galigo pertama kali dicetuskan oleh Benjamin Frederik Matthes, misionaris dan peneliti lingustik asal Belanda

Perjuangan Gigih BF Matthes dan Colliq Pujie Bukukan I La GaligoCollection Rijksmuseum Amsterdam (J.P. Berghaus)

Pada 20 Desember 1848, setahun lebih setelah penunjukan dan pelayaran panjang, Matthes beserta sang istri merapat ke geladak pelabuhan Makassar. Namun lulusan Sastra Semitik dan Teologi Universitas Leiden itu rupanya menekuni bahasa Makassar dahulu dengan alasan kemudahan. Ini ia lakukan karena catatan yang sempat diperolehnya di Batavia, perihal tempatnya akan bertugas, ternyata tidak memadai.

Setelah tinggal beberapa tahun di Kota Daeng, Matthes baru mengalihkan fokus ke bahasa Bugis. Sejumlah perjalanan kemudian ia lakukan ke wilayah Bugis di utara Makassar seperti Maros, Pangkajene dan Tanete (Barru). Ketika singgah di Tanete pada Agustus 1852, Matthes bertemu seseorang yang dengan senang hari mengantar dirinya ke dalam keagungan I La Galigo : Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae.

"Yang lebih bermanfaat ialah perkenalan dengan putrinya, Aroe-Pantjana, sekarang seorang janda yang umurnya sekitar 40 tahun. Dia sungguh-sungguh wanita berpengetahuan sastra, yang mengarang segala surat penting ayahnya. Bukan hanya bahasa kedaton Bone yang difahaminya, bahkan ia mahir dalam bahasa La Galigo yang kuno dan sekarang ini tak digunakan lagi," kenang Matthes dalam catatannya.

Baca Juga: I La Galigo, Epos Asli Bugis dan Karya Sastra Terpanjang di Dunia

2. Colliq Pujie, bangsawan dan ratu Kerajaan Tanete, banyak membantu usaha Matthes membukukan I La Galigo selama 20 tahun

Perjuangan Gigih BF Matthes dan Colliq Pujie Bukukan I La GaligoLeiden University Libraries - Digital Collections

Colliq Pujie --diperkirakan lahir pada 1812-- adalah putri dari La Rumpang, penguasa Kerajaan Tanete saat itu. Dibesarkan di Lamuru, sekarang jadi wilayah Kabupaten Bone, ia dikaruniai tiga anak dari pernikahan dengan La Tanampareq sebelum sang suami mangkat pada 1852. Setelah berstatus janda, sosok yang juga Ratu Tanete ini menghabiskan waktunya tinggal bersama sang ayah sekaligus menunaikan tugas korespondensi.

Lantaran kisruh Kerajaan Tanete dan sikapnya melawan kebijakan Belanda, Colliq Pujie terpaksa diasingkan ke Makassar sejak 1857 mengandalkan tunjangan yang tak seberapa besar dari pemerintah daerah. Selama tinggal di Makassar itulah ia menjadi narasumber, asisten sekaligus guru bahasa Matthes. Dalam surat bertanggal 7 Mei 1861 kepada NBG, Matthes menulis bahwa Colliq Pujie menyambung hidup dengan upah tiap kali memberi keterangan perihal I La Galigo ataupun menyalinnya.

Di sisi lain, kendati tak mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat Sulawesi, tekad Matthes untuk mengumpulkan naskah I La Galigo jauh lebih besar. Sejumlah wilayah ia datangi seperti Parepare, Amparita (Sidenreng), Lagusi (Wajo) dan Bone. Matthes pun berkenalan dengan bangsawan yang fasih melagukan syair-syair penciptaan peradaban di Sulawesi tersebut.

3. Naskah I La Galigo berlabel NBG-188 yang disusun Matthes-Pujie jadi pijakan banyak pihak untuk berkenalan dengan sastra Bugis

Perjuangan Gigih BF Matthes dan Colliq Pujie Bukukan I La GaligoANTARA FOTO/Yusran Uccang

Sejumlah kalangan berpendapat permintaan Matthes untuk membukukan Sureq I La Galigo terdengar janggal bagi sejumlah orang Bugis. (Koolhof 2004) menulis mayoritas masyarakat mengonsumsi cerita I La Galigo dengan cara mendengar, bukan membaca. Selain itu, epos tersebut berkembang sesuai zaman dan keperluan masyarakat yang mengarangnya. Alhasil, upaya mengumpulkan seluruh teks dengan "lengkap dan utuh" memang terdengar mustahil. Barulah belakangan ia menyadari fakta tersebut.

Pada tahun 1872, setelah bekerja selama dua dekade, terkumpullah naskah setebal 2.850 halaman folio. Namun Matthes memperkirakan itu hanya sepertiga dan seluruh cerita I La Galigo. Kini naskah tersebut, dilabeli NBG 188, menjadi milik perpustakaan KITLV. Pada 2017 silam, Universitas Leiden telah melakukan digitalisasi Warisan Dunia UNESCO tersebut agar bisa dinikmati oleh khalayak luas.

Pasca merampungkan tugas dan penelitian di Makassar, Matthes kembali ke Belanda dan mangkat pada tahun 1908 di kota Nijmegen. Sementara itu, Colliq Pujie berpulang pada 1876 di Lamuru, Bone. Kendati sumbangsihnya bagi kesusastraan Bugis dan Nusantara tak ternilai, termasuk buku syair Sureq Baweng menciptakan aksara bilang-bilang yang dipakai para pejuang sebagai kata sandi, Colliq Pujie rupanya belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional hingga detik ini.

Baca Juga: Sulawesi Selatan, Pintu Gerbang Kawasan Indonesia Timur

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya