Pemilu 1955 di Sulsel: Pesta Demokrasi yang Dibayangi Teror DI/TII

Mengingat kembali Pemilu pertama, tepat 65 tahun yang lalu

Makassar, IDN Times - Indonesia pertama kali menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 1955. Pemilu ini terbagi menjadi dua tahap, yakni memilih anggota legislatif (29 Oktober 1955) dan badan konsituante (15 Desember 1955).

Pemilu perdana ini sendiri bukannya tanpa ujian. Dalam Jejak Demokrasi Pemilu 1955 (Arsip Nasional Republik Indonesia, 2019), butuh sembilan tahun hingga akhirnya bisa terwujud. Namun dorongan terbesarnya adalah peristiwa pengepungan gedung parlemen dan Istana Merdeka pada 17 Oktober 1952 oleh 30 ribu demonstran.

Massa saat itu mendesak Presiden Sukarno segera mengadakan Pemilu, demi merombak susunan parlemen. Menurut Herbert Feith di buku The Indonesian Elections of 1955 (Cornell University, 1971), para wakil rakyat saat itu dianggap adalah hasil kompromi dengan Belanda. Alias, masih menjadi jejak kolonialisme yang tersisa.

RUU Pemilu disahkan pada 1 April 1953, pada masa pemerintahan Kabinet Wilopo, setelah pembahasan selama empat bulan perdebatan plus 200 usulan amandemen. Masa persiapan 16 bulan dimulai sejak Januari 1954. Rencana awal, Juli dan Agustus 1955 jadi masa rakyat mencoblos. Namun ketidaksiapan panitia di daerah membuatnya molor hingga dijadwalkan ulang.

1. Pemilu sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1946, namun baru terwujud pada 1955

Pemilu 1955 di Sulsel: Pesta Demokrasi yang Dibayangi Teror DI/TIISuasana pencetakan formulir tanda gambar untuk Pemilu 1955 di Percetakan Negara, Jakarta, 23 Juli 1955. (Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia)

Sejatinya, Pemilu 1955 diselenggarakan saat situasi keamanan dalam negeri sedang bergolak. Di Sulawesi Selatan, gerilyawan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar sudah melancarkan teror sejak 1950. Serangan-serangan sporadis yang mereka lancarkan sangat meresahkan masyarakat.

Badan Permusyawaratan Nasional Makassar membahas isu keamanan jelang Pemilu pada rapat 20 Juli 1954. Sebuah pernyataan pun dibuat. Mereka meminta kepada Presiden Sukarno untuk memulihkan keamanan. Dalam artian, TNI harus diutus dalam sebuah operasi militer.

Selain itu, seluruh penduduk Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) diminta memberi bantuan untuk menciptakan suasana kondusif. Pernyataan ini disetujui oleh 21 partai politik dan organisasi massa yang hadir.

Tidak ada tindakan militer diambil oleh pemerintah pusat atas permintaan tersebut. Namun di beberapa wilayah dengan konflik, penjagaan oleh prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) ditingkatkan.

2. Partai-partai berlomba mencari suara dengan mengangkat isu pembangunan yang belum merata

Pemilu 1955 di Sulsel: Pesta Demokrasi yang Dibayangi Teror DI/TIISalah satu spanduk partai di masa kampanye Pemilu 1955 di Kota Makassar. (Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia)

Pemilu 1955 di Sulawesi Selatan tetap diadakan meski di bawah bayang-bayang DI/TII yang melarang aktivitas politik. Pemilihan umum ini punya makna krusial bagi republik muda ini. Ada fondasi demokrasi yang harus ditegakkan.

Terlebih, Bung Karno, pada pidato 17 Agustus 1955, melabeli pihak yang menghalang-halangi Pemilu sebagai "pengkhianat revolusi."

Padahal, masih ada hal teknis yang diperhatikan seperti komunikasi dan distribusi ke wilayah-wilayah terpencil. Belum lagi sebagian besar pemilih masih buta huruf.

Di sisi lain, peta politik di Sulsel waktu itu didominasi figur-figur tokoh agama dan ulama. Dalam buku Politik & Postkolonialitas di Indonesia (Penerbit Kanisius, 2003), para pemuka agama yang aktif berpolitik berasal dari kalangan bangsawan. Alhasil mencuatlah kekuatan partai-partai Islam seperti Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU).

Isu pembangunan juga jadi topik dominan selama masa kampanye. Pulau Sulawesi yang pada dekade 1950-an masih sulit mengembangkan ekonomi. Topik tersebut kemudian diangkat oleh banyak partai.

Baca Juga: Merah Darah di Geladak Phinisi: Situasi Makassar Pasca G30S 1965 (1)

3. Terjadi kecurangan dan penyerangan oleh DI/TII pada hari pemungutan suara

Pemilu 1955 di Sulsel: Pesta Demokrasi yang Dibayangi Teror DI/TIISebuah kentongan dipukul sebagai pemanggil para pemilih yang berhak dan telah ditentukan datang ke TPS guna memberi hak suaranya di Makassar, 19 Desember 1955. (Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia)

Pemungutan suara di dua pemilihan berjalan lancar. Warga Sulsel tetap datang mengantri ke TPS. Tetapi, kekhawatiran jadi nyata. Herbert Feith menjelaskan bahwa salah satu kelompok Kahar Muzakkar mengacau pada 29 September 1955. Sejumlah TPS dirusak, beberapa petugasnya bahkan dibunuh.

Tak sampai di situ, ternyata kecurangan terjadi. Pada 20 Oktober 1955, ANTARA memberitakan bahwa sebanyak 12 partai politik dan organisasi menolak hasil pemungutan suara di Kota Makassar. Ini didasarkan atas fakta bahwa bungkusan surat suara, alih-alih langsung diserahkan ke Panitia Pemungutan Daerah (PPD) XII, malah diinapkan di rumah Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kabupaten Kota besar Makassar selama dua hari.

Selama berada di tempat tersebut, bungkusan surat suara dibuka dan disortir oleh pihak-pihak yang tak berhak, atau di luar kepanitiaan yang telah ditunjuk.

Usai proses Pemilu yang melelahkan, hasil pun didapati. Seperti perkiraan banyak orang, Masyumi menjadi pemenang di wilayah Sulselra. Wakil rakyat yang duduk di parlemen antara lain Andi Sewang Daeng Muntu, Abdul Rasjid Faqih, Muhammad Aqib dan Ahmad Dara Sjahruddin.

Adapun anggota Konstituante terpilih dari Sulselra sebanyak 28 orang. Di antaranya yakni Andi Sultan Daeng Radja (tokoh pergerakan nasional asal Bulukumba) dan Abdurrahman Shihab (ahli tafsir Alquran dan ayah dari Quraish Shihab).

Baca Juga: Arief Rate: Memperjuangkan, Lalu Dikhianati Republik Sendiri

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya