Merah Darah di Geladak Phinisi: CIA Tahu Peristiwa di Bone (3-Habis)

Kapan upaya rekonsiliasi akhirnya membuahkan hasil?

Makassar, IDN Times - Dalam satu dekade terakhir, Central Intelligence Agency (CIA) merilis sejumlah dokumen rahasia yang telah disensor perihal aktivitas mereka dari dekade 1950-an hingga 1960-an kepada publik. Dokumen yang dirilis termasuk kawat komunikasi antara seluruh utusan diplomatik AS di seluruh dunia dengan Gedung Putih.

Salah satunya yang dirilis badan intelijen Amerika Serikat itu adalah arsip korespondensi antara pihak Kedubes AS di Jakarta dengan Washington DC. Sejumlah fakta terungkap, salah satunya bagaimana pemerintahan Negeri Paman Sam mengikuti secara cermat gejolak politik dalam negeri Indonesia jelang Gerakan 30 September (G30S). Kala itu, AS memang tengah berusaha membendung komunisme dan pengaruh Uni Soviet di Asia Tenggara.

Dari arsip yang mencapai ribuan halaman itu, terselip fakta-fakta perihal sejumlah aksi main hakim sendiri yang menyasar anggota dan simpatisan PKI di seluruh Indonesia. Melalui laporan harian rutin setiap pagi --biasa disebut President's Daily Brief-- Presiden Lyndon B Johnson tahu bahwa di sebuah tempat yang berjarak 16 ribu kilometer dari Ruang Oval, tempatnya bekerja, sesuatu yang besar sedang terjadi.

Baca Juga: Merah Darah di Geladak Phinisi: Situasi Makassar Pasca G30S 1965 (1)

1. Di sejumlah daerah, penolakan masyarakat kepada PKI berujung pada kerusuhan berbau SARA seperti yang terjadi di Watampone

Merah Darah di Geladak Phinisi: CIA Tahu Peristiwa di Bone (3-Habis)Repro. "Fajar Orde Baru" (Yayasan Kesejahteraan Jayakarta - Kodam V Jaya; Badan Penerbit Almanak RI/B.P. Alda)

Salah satu peristiwa yang masuk dalam laporan CIA adalah pembantaian di Watampone, Kabupaten Bone pada awal November 1965. Warga dilaporkan menyerbu Penjara Kodim Watampone kemudian membunuh kurang lebih 200 orang sipil yang berasal dari Jawa. Di buku "Kamp Pengasingan Moncongloe" (Desantara Foundation, 2009), dijelaskan bahwa mereka adalah pekerja di pabrik gula Arasoe.

Sebuah sentimen berbau SARA tumbuh di daerah setelah peristiwa G30S. Entah siapa yang memulai, namun di masa penuh ketidakpastian tersebut, muncul desas-desus bahwa orang Jawa identik dengan PKI. Namun dalam laporan CIA --berdasarkan keterangan Peperda Sulselra yakni Brigjen TNI Solichin GP-- disebut bahwa orang-orang tersebut adalah anggota PKI, Barisan Tani Indonesia (BTI), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Pemuda Rakyat.

Sejarawan Rum Aly menggambarkan dengan rinci kengerian pembantaian Bone dalam "Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1996" (Kata Hasta Pustaka, 2006) :

"Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepada yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga 'terpisah' dalam potongan-potongan."

2. Petikan isi telegram antara Dubes AS Marshall Green dengan pemerintah AS yang berisi kondisi di Makassar pada November 1965

Merah Darah di Geladak Phinisi: CIA Tahu Peristiwa di Bone (3-Habis)CIA.gov

Telegram bertanggal 12 November 1965, CIA mendapat laporan dari Dubes AS untuk Indonesia saat itu, yakni Marshall Green. Disebut bahwa pada 10 November sebelumnya terjadi penjarahan dan perusakan lebih dari 90 persen toko milik warga peranakan Tionghoa di Makassar. Seperti yang terjadi di banyak daerah, pembasmian simpatisan PKI berubah menjadi kerusuhan etnis dan rasialis.

Salah satu narasi yang berkembang pasca G30S adalah adanya campur tangan pemerintah Republik Rakyat Cina --kekuatan komunis terbesar setelah Uni Soviet-- dalam peristiwa tersebut. Alhasil warga peranakan Tionghoa, yang sama sekali tidak memiliki hubungan atau terlibat dalam gonjang-ganjing politik di Jakarta, menjadi sasaran amuk massa.

Bulan November agaknya jadi masa paling genting. Marshall Green melaporkan secara rinci sejumlah pembantaian yang terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tangerang. Sementara itu, situasi berbeda dirasakan pihak militer. Dalam telegram tertanggal 18 November 1965, ia menulis bahwa TNI khawatir jika pelarangan PKI bisa berujung pada terciptanya sistem satu partai tunggal. Sebuah kekhawatiran yang tak terjadi.

3. Usaha rekonsiliasi dengan para tapol yang menjadi korban pelanggaran HAM berat masih berjalan di tempat

Merah Darah di Geladak Phinisi: CIA Tahu Peristiwa di Bone (3-Habis)IDN Times/Fitria Madia

Para sejarawan mengakui bahwa jumlah penangkapan anggota dan simpatisan PKI di Indonesia timur --khususnya Sulawesi Selatan-- memang tidaklah semasif dan seberingas apa yang terjadi di Jawa, Sumatera dan Bali. Namun kekacauan tetap ada di sejumlah kabupaten. Bahkan ada sebuah desa di Takalar di mana seluruh penduduknya dicap PKI lantaran sejumlah petaninya pernah diberi bantuan cangkul.

Namun, pelanggaran HAM tetap terjadi. Para tahanan politik ini dieksploitasi tenaganya. Mereka menjadi pekerja kasar minim upah. Dimanfaatkan, ditindas dan dikucilkan. Itulah yang dialami hampir seribu tapol yang diasingkan ke Kamp Moncongloe. Mereka harus menghadapi malnutrisi hingga perlakuan tak berperikemanusiaan dari para petugas.

Pada tahun 2000, lahir UU No. 26 perihal Pengadilan HAM untuk para korban dan tapol yang dilindas tanpa ampun oleh rezim diktator Soeharto. Sebagai tindak lanjut, terbit pula TAP MPR No. V/MPR/2000 yang mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun tetap saja peristiwa pasca 1965 masih berusaha disembunyikan atau dilupakan. Upaya pembahasannya oleh para penyintas bahkan dibenturkan dengan narasi kebangkitan PKI.

Kalau selalu begini, kapan kita benar-benar saling memaafkan dan menjadi bangsa yang utuh?

Referensi :

  • "Kamp Pengasinganj Moncongloe", Taufik, Desantara Foundation, 2009
  • "Penyusupan PKI ke Dalam Media Massa Indonesia, 1948-1965", Sumono Mustoffa dan Mohammad Chudori, Penerbit Adijaya, 1995
  • "Amuk Makassar", Institut Studi Arus Informasi, 1998
  • "The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68", Douglas Anton Kammen dan Katherine E. McGregor, Asian Studies Association of Australia, 2012
  • "The Indonesian Genocide of 1965", Katherine E. McGregor dkk., Springer, 2018
  • "The Broken Triangle: Peking, Djakarta and PKI", Sheldon W. Simon, Johns Hopkins Press, 1969

Baca Juga: Merah Darah di Geladak Phinisi: Amuk Massa dan Tritura di Makassar (2)

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya