Menjawab Seruan Sultan Alauddin: Kisah Masuknya Islam di Sidrap

Datuk ri Bandang jadi figur sentral di wilayah Ajattapareng

Makassar, IDN Times - Daerah Sidenreng Rappang (Sidrap) dan sekitarnya tidak luput dari kisah Datuk Tellue, tiga mubaligh penyebar Islam asal Minangkabau, Sumatera Barat. Tetap ada peran Datuk Tellue dalam masuknya Islam ke wilayah yang dikenal sebagai lumbung padi provinsi Sulawesi Selatan tersebut.

Alkisah dalam riwayat yang sudah turun temurun dituturkan oleh penduduk setempat, seorang pemuda bernama Abdul Rahman menimba ilmu agama dengan menjadi murid Khatib Abdul Makmur atau Datuk ri Bandang pada awal ke-17. Setelah ilmunya dinyatakan sudah memadai, sang guru mengutusnya ke utara Gowa-Tallo sebagai penyebar Islam.

Abdul Rahman bertugas di Maros, Pangkajene, Barru, serta sebagian wilayah konfederasi Ajatappareng yakni Sawitto, Suppa, Sidenreng, Rappang dan Allakuang. Kelak Abdul Rahman dikenal sebagai Tuang Pekki, yang berarti "yang pandai dalam mengajarkan agama Islam", yang namanya mahsyur di Barru. Gelar lainnya adalah Syekh Bojo, diambil dari nama kampung tempatnya menetap.

Namun, beberapa naskah lontarak menyatakan bahwa Datuk ri Bandang sendirilah yang menyebar Islam di daerah tersebut.

1. Satu abad sebelum Islam masuk, raja-raja di federasi Ajatappareng lebih dahulu menyambut para misionaris Kristen asal Portugis

Menjawab Seruan Sultan Alauddin: Kisah Masuknya Islam di SidrapTropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Sejarah sendiri mencatat bahwa wilayah Ajatappareng sebelumnya sudah mengenal agama Kristen yang dibawa oleh para misionaris asal Portugis. Dalam buku Sejarah Islam Sulawesi Selatan (Lamacca Press, 2013), Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas menjelaskan bahwa pendeta Antoniy de Payva datang ke Ajattapareng pada tahun 1544. Dua rekannya yang lain, Vicente Vegas dan Manuel Mentol, menyusul setahun kemudian.

Merapat di pelabuhan Bacukiki (kini Pare-Pare) setelah berangkat dari Malaka, Antoniy disambut oleh para pemimpin lokal. Ketiga misionaris Portugis tersebut berhasil mengkristenkan Datu' Kerajaan Suppa yakni La Makkarawi (nama baptis Don Juan Tubinanga) dan Arung Alitta bernama La Pakollongi (nama baptis Don Manuel). Ini pun tertulis dalam naskah Lontarak Akkarungeng Sawitto.

"Tuan La Makkarawi inilah yang mewarisi Kedatuan Suppa, datanglah seorang pendeta Kristen dari agama Katolik bernama Antoniy de Payva pada tahun 1544 M. Ia mengajak masuk agamanya kepada Tuan La Makkarawi Datu (raja) Suppa."

Hadirnya misionaris Portugis sebagai penyebar Kristen di Ajatappareng dan sekitarnya memang tak lepas dari reputasinya di abad ke-15 sebagai penguasa maritim dunia. Ada hegemoni yang hendak diraih di Nusantara. Mereka ingin menjalin hubungan dagang dengan banyak kerajaan Pulau Sulawesi. Di sisi lain, pedagang-pedagang muslim asal Arab dan Melayu sudah bermukim di Ajatappareng sejak awal tahun 1510-an.

2. Lima kerajaan yang tergabung dalam federasi Ajatappareng menyambut seruan penguasa Gowa-Tallo untuk menerima agama Islam

Menjawab Seruan Sultan Alauddin: Kisah Masuknya Islam di SidrapTropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Masuknya Islam di wilayah federasi Ajatappareng tak lepas dari seruan Gowa-Tallo yang menyeru agar para kerajaan tetangganya ikut memeluk agama tersebut. Setelah Raja Gowa ke-14 yakni I Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin (berkuasa 1593-1639) masuk Islam pada 22 September 1603, menyusul Arung (raja) Alitta ke-3 bernama La Massora di tahun yang sama lantaran saat itu sedang berada di Istana Gowa.

Tak perlu waktu lama, Sultan Alauddin kemudian mengutus Datuk ri Bandang untuk menyebar Islam di wilayah Ajatappareng. Petikan kalimat di beberapa lontarak mengonfirmasi keberadaan Datuk ri Bandang, salah satunya Lontarak Akkarungeng Sawitto.

"Adapun yang mula-mula mengislamkan Tana Ogi (Tanah Bugis) yaitu orang yang bernama Datuk ri Bandang dari Tana Marajae. Ia mengislamkan Makassar terlebih dahulu, kemudian sampai di Tanah Bugis."

Tanah Bugis adalah sebutan untuk federasi Ajatappareng dan aliansi Tellumpoccoe (Bone, Soppeng, Wajo) serta kerajaan Luwu sebab Bugis adalah bahasa yang dituturkan oleh mayoritas masyarakat wilayah tersebut. Strategi Datuk Tellue untuk menyebar Islam dengan menyasar keluarga kerajaan lebih dahulu (top down) terbukti jitu.

Raja Sidenreng yakni La Patiroi Addatuang Sidenreng Matinroe ri Massepe (1582-1612) mengucap dua kalimat syahadat pada 1607. Kemudian menyusul pemimpin Kerajaan Sawitto dan Kedatuan Suppa yakni seorang perempuan bernama We Passulle Daeng Bulaeng Datu Bissue (1603-1612) di tahun 1609, disaksikan langsung oleh Sultan Alauddin.

Baca Juga: Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-Tallo

3. Masjid Tua JerraE jadi salah satu saksi bisu perkembangan Islam di wilayah Sidenreng Rappang

Menjawab Seruan Sultan Alauddin: Kisah Masuknya Islam di SidrapDok. Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud

Beberapa peninggalan dari peradaban awal Islam di tanah Ajatappareng masih berdiri hingga kini. Salah satunya adalah Masjid Tua JerraE Allakuang yang dibangun oleh Raja Sidrap La Patiroi pada tahun 1609, dua tahun setelah ia resmi memeluk agama Islam. Masjid tersebut saat ini berada di Desa Allakuang, Kecamatan Maritengngae, Kabupaten Sidenreng Rappang.

Berdiri di area seluas 21 x 12 meter, Masjid Tua JerraE memiliki atap bersusun tiga yang mirip dengan Masjid Demak di Pulau Jawa. Konsep penggunaan tiang utama (soko guru) sebagai penopang atap masjid pun turut diadopsi. Bedanya, ada empat tiang utama di masjid ini alih-alih hanya satu. Tiang berdiameter 35 cm tersebut terbuat dari kayu ladang yang kokoh. Turut pula 16 tiang penopang tambahan di empat sisi lain dengan diameter 20 cm.

Selama tiga abad lebih, masjid yang berada di ketinggian 67 meter di atas permukaan laut ini menggunakan atap ijuk. Seng sebagai atap baru digunakan pada 1987. Renovasi terakhir dilakukan secara menyeluruh pada tahun 2018, yang dilakukan sesuai dengan arahan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.

Renovasi yang dilakukan dua tahun lalu itu menyasar bagian atap, pintu masuk, pemasangan jendela, dinding dan pemasangan pendingin ruangan. Yang mencolok, dinding Masjid Tua JerraE kini berwarna abu-abu setelah sebelumnya sarat dengan nuansa merah. Kendati demikian, warna merah tetap ada di area utama masjid.

4. Langgar Tungga juga menjadi bukti perkembangan Islam di Sidrap pada abad ke-17

Menjawab Seruan Sultan Alauddin: Kisah Masuknya Islam di SidrapDok. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan

Hanya terpisah beberapa meter dari bangunan Masjid Tua JerraE, terdapat makam Syekh Bojo yang dianggap sebagai tokoh perintis penyebaran Islam di masyarakat Kerajaan Rappang. Syekh Bojo pula yang dipercaya menjadi figur sentral di balik pendirian Masjid Tua JerraE, bersama Raja La Patiroi dan penasihatnya yakni La Pagala yang lebih dikenal dengan julukan Nenek Mallomo.

Selain itu, masjid lain yang sarat nilai historis adalah Langgara Tungga atau langgar tua. Terletak di Desa Tana Toro, Kecamatan Pitu Riase. Terletak 83 kilometer di timur laut ibu kota Sidrap yakni Maritengngae, langgar semi permanen tersebut menurut riwayat sudah berdiri sejak abad ke-17, bersamaan dengan masuknya Islam ke wilayah Ajatappareng.

Langgara Tungga sendiri diambil dari dua kata bahasa setempat. Langgara berarti "langgar/panggung yang dinaiki", sementara Tungga bermakna "satu atau tunggal". Bangunannya memang sederhana, namun langgar yang berada di ketinggian 216 meter di atas permukaan laut itu sudah beberapa kali mengalami renovasi. Namun, bentuk aslinya sebagai langgar sederhana tetap dipertahankan.

Baca Juga: Masjid Tua Gantarang dan Riwayat Penyebaran Islam di Pulau Selayar

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya