Mengenang Sumbangsih Masyarakat Tionghoa untuk Literasi Makassar

Mulai dari penerjemahan hingga mencipta lagu-lagu Makassar

Makassar, IDN Times - Banyak catatan yang mengungkapkan bahwa masyarakat Tionghoa di Makassar melakukan akulturasi dan asimilasi dengan mulus. Tak cuma untuk kepentingan bisnis saja, tapi kelak turut mewarnai perkembangan seni-budaya lokal. Semuanya diawali dari penggunaan bahasa Makassar atau Bugis.

Peneliti Yerry Wirawan dalam buku Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar (KPG, 2014) menemukan sebuah kebiasaan menarik. Perempuan yang bertandatangan dalam kontrak peminjaman uang sering terlihat mampu menulis namanya dengan huruf Bugis atau Makassar.

Yerry menyebut ini adalah bukti perempuan Tionghoa Makassar mendapatkan pelajaran pelajaran menulis dalam keluarganya. Tapi, ini tak lepas dari faktor budaya di mana perempuan dipingit dalam rumah sang ayah dan mendapat pelajaran tulis menulis atai membaca dari ibu mereka.

Baca Juga: Riwayat Akulturasi dan Asimilasi Masyarakat Tionghoa di Sulsel

1. Liem Kheng Yong menerjemahkan kisah roman China ke dalam bahasa Makassar

Mengenang Sumbangsih Masyarakat Tionghoa untuk Literasi MakassarDua lembar manuskrip kisah negeri China tentang Dewi Kwan Im yang ditulis oleh Liem Kheng Yong dalam bahasa Makassar beraksara Lontara. (Twitter.com/dreamsea_mss)

Pekembangan budaya Tionghoa di Makassar sendiri berjalan dengan pesat. Salah satu yang mengawalinya adalah kegemaran pada roman-roman dari negeri leluhur. Sebut saja Shi Gong'an, sejarah Xue Rengui dan putranya Xue Dingshan dalam Sie Djin Kui, atau petualangan Sun Go Kong dalam mencari kitab suci berjudul Xiyou ji.

Liem Kheng Yong menjadi sosok yang berjasa. Lahir dari keluarga pemilik toko keramik pada 1875, Liem Kheng Yong sudah tertarik pada dunia sastra pada usia muda. Ia kemudian menerjemahkan lebih dari 60 roman dari bahasa Tionghoa ke bahasa Makassar dan aksara Lontara Bugis.

Buku-buku terjemahan Liem Kheng Yong sangat berpengaruh pada awal abad ke-20. Surat kabar Pemberita Makassar edisi 30 September 1941 bahkan menyebut 75 persen penduduk Tionghoa Makassar kenal dengan banyak hikayat kuno China berkat upaya sosok yang meninggal dunia pada tahun 1938 tersebut.

2. Ang Ban Tjiong menyusun pantun Melayu berbahasa Makassar pada dekade 1930-an

Mengenang Sumbangsih Masyarakat Tionghoa untuk Literasi MakassarSastrawan Tionghoa-Makassar, Ang Ban Tjiong (kanan) dan karya tulisnya yakni Pantoen Melajoe-Makassar. (Kolase Berbagai Sumber)

Pada dekade 1930-an mencuat Ang Ban Tjiong yang lahir di Makassar pada 3 Juni 1910. Saat berkarier sebagai jurnalis untuk Pemberita Makassar, minatnya terhadap kesusasteraan juga tumbuh. Yerry Wirawan, dalam artikel In Memorial Ang Ban Tjiong 1910-1938, Buku Pantun Melayu-Makassar, menulis bahwa Ang Ban Tjiong lebih rajin menulis cerita pendek sebelum menyusun pantun Melayu berbahasa Makassar.

Lantas darimana ide Ang Ban Tjiong memadukan bahasa Melayu dan Makassar dalam pantun? Dalam buku Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (KPG, 2004), pakar sastra Tionghoa-Melayu Myra Sidharta menyebut ini tak lepas dari ketertarikan masyarakat Makassar (termasuk Tionghoa) kepada tradisi bertutur puitis ala Tanah Melayu saat itu.

Namun, tak ada yang berani mengambil inisiatif tersebut, sehingga Ang Ban Tjiong maju menjadi pelopor. Tema dalam pantun-pantunnya sendiri sangat beragam. Mulai dari asmara, ajakan tetap giat mencari penghidupan, religi hingga rasa duka lara dalam hidup. Sebanyak 200 pantun dikumpulkan dalam buku Pantoen Melajoe-Makassar yang terbit sebelum Perang Dunia II. Hanya itu karyanya semasa hidup.

3. Hoo Eng Djie menggubah lagu-lagu China ke bahasa Makassar, salah satunya Ati Radja

Mengenang Sumbangsih Masyarakat Tionghoa untuk Literasi MakassarMusisi Tionghoa-Makassar, Hoo Eng Djie (kanan) dan salah satu piringan hitam rekamannya. (Kolase Berbagai Sumber)

Masih pada dekade 1930-an, ada juga musisi Hoo Eng Djie yang lahir di Maros pada tahun 1906. Bakat tarik suaranya sudah terlihat saat ia bekerja sebagai awak kapal. Di saat yang sama, ia juga membaca buku-buku sastra Melayu-Tionghoa. Perlahan-lahan, Hoo Eng Djie mulai berani menulis puisi, yang kemudian menjadi lagu.

Menurut buku Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa (Claudine Salmon, KPG, 2010), Hoo Eng Djie menciptakan sekitar 3.000 lagu dari tahun 1930 hingga 1940. Banyak di antaranya merupakan adaptasi lagu Tionghoa ke bahasa Makassar. Sebut saja Ati Radja, Sai Long, Pasang Teng dan Sio Sayang. Ia pun membangun reputasi sebagai penghibur tetamu dalam acara perjamuan dan pesta pernikahan.

Sebuah capaian monumental juga dilakukan oleh Hoo Eng Djie. Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia (2015, GagasMedia) menyebutnya sebagai penyanyi Makassar pertama yang masuk industri rekaman. Pada tahun 1938, Hoo Eng Djie merekam lagu-lagunya di Studio Soo Hoeng Soo yang berada di Kota Surabaya, Jawa Timur. Atas kontribusinya pada musik Makassar, ia diberi penghargaan oleh RRI pada 1962.

4. Baba Moeh. Chasim membantu penyebaran sastra Bugis-Makassar dalam bentuk cetak

Mengenang Sumbangsih Masyarakat Tionghoa untuk Literasi MakassarLukisan G.S. Smithard dan J.S. Skelton tentang kedatangan ulama asal Sulawesi Selatan, Syekh Yusuf, di Cape Town pada tahun 1693. (Wikimedia Commons)

Lebih jauh, golongan Peranakan Muslim juga memiliki peran penting dalam perkembangan budaya Makassar. Salah satu yang tercatat dalam sejarah adalah Baba Moeh. Chasim yang memiliki perusahaan percetakan Volksdrukkerij. Ia turut menaruh minat pada penyebaran sastra lokal Bugis/Makassar dalam bentuk karya cetak.

Memang tidak diketahui secara rinci karya karya yang mereka terbitkan. Tapi, menurut buku Literary Migrations: Traditional Chinese Fiction in Asia (1991), ada dua terbitan Volksdrukkerij yang bisa diperoleh para peneliti. Yang pertama adalah terjemahan buku bahasa Arab berjudul Munabbiaat, serta kisah kepahlawanan Syekh Yusuf dari masa pergolakan Perang Banten hingga diasingkan ke Afrika Selatan.

Dari Liem Kheng Yong hingga Baba Moeh. Chasim, bisa ditarik kesimpulan bahwa komunitas Tionghoa pun turut membangun literasi. Proses asimilasi dan akulturasi budaya yang terjadi turut memperkaya khazanah budaya di Kota Makassar secara khusus.

Baca Juga: Sepak Terjang Para Kapitan Pemimpin Masyarakat Tionghoa di Makassar

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya