Perjanjian Bongaya 18 November 1667, Siasat VOC Redam Perang Makassar 

Salah satu peristiwa penting dalam kecamuk Perang Makassar

Makassar, IDN Times - Perang Makassar yang berkecamuk mulai 1666 hingga 1669 sempat diselingi oleh Perjanjian Bongaya di tahun 1667. Kampanye militer VOC yang dipimpin oleh Laksamana Cornelis Speelman --kelak menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda-- berhasil merebut sejumlah benteng pertahanan strategis milik Gowa mulai dari Benteng Galesong, Barombong, dan Panakkukang.

Melihat koalisi pimpinan Kompeni terus merangsek dari arah selatan, Sultan Hasanuddin menyetujui ajakan untuk berunding. Bongaya, sebuah desa kecil di sekitar Barombong --kini menjadi bagian dari Kecamatan Tamalate, Kota Makassar-- dipilih menjadi tempat pihak-pihak yang saling bertikai.

Sejarawan Leonard F. Andaya dalam buku "The Heritage of Arung Palakka" (1981) dan Ivie Carbon Esteban dalam makalah "The Narrative of War in Makassar: Its Ambiguities and Contradictions" (2010) menjelaskan dengan rinci hari-hari perundingan yang penuh tarik ulur dan saling sodor tuntutan.

1. Petinggi Gowa sadar bahwa sebagian poin tuntutan Belanda akan memakan waktu lama untuk dilaksanakan, termasuk kebijakan pelayaran di Pelabuhan Makassar

Perjanjian Bongaya 18 November 1667, Siasat VOC Redam Perang Makassar Johannes Vingboons (Nationaal Archief)

Pada Minggu pagi tanggal 13 November 1667, kubu Speelman dan Hasanuddin --beserta seluruh pasukannya-- saling berhadapan dari kedua sisi lapangan yang menjadi tempat perundingan. Negosiasi memakan waktu lantaran yang bekerja adalah penerjemah Sultan yang bolak-balik membawa poin tuntutan.

Speelman melihat ini tidak efektif. Sang laksamana kemudian mengusulkan agar perundingan lebih baik dilakukan dalam bahasa Portugis, bahasa yang dikuasai oleh kedua pihak. Karaeng Karunrung, yang waktu itu menjabat sebagai Tumabbicara butta' Gowa (penasehat sekaligus mahapatih) yang juga fasih berbahasa Portugis, ditunjuk oleh Sultan untuk menjadi juru runding.

Pihak Kompeni menyodorkan 26 tuntutan yang direspons dengan gelisah oleh kubu Sultan. Makassar meminta waktu beberapa hari untuk mendiskusikannya, namun hanya diizinkan sehari. Saat tuntutan tersebut dipelajari, para pejabat tinggi Gowa menyadari ada beberapa poin yang butuh waktu lama untuk diterapkan.

2. Kendati berbeda faksi, Arung Palakka Sang Raja Bone, tetap disambut dengan bersahabat oleh para bangsawan Makassar selama perundingan

Perjanjian Bongaya 18 November 1667, Siasat VOC Redam Perang Makassar Romeyn de Hooghe (Wikimedia Commons)

Ketika mempelajari tuntutan Kompeni, para bangsawan Makassar ternyata pecah menjadi dua kubu. Pertama, mereka yang tetap setia di sisi Sultan Hasanuddin. Kedua, beberapa yang siap bersekutu dengan VOC jikalau hasil perundingan ini justru membuat pihak Batavia urung melontarkan kata sepakat.

Tak ada perundingan pada Senin 14 November 1667 lantaran Sultan dan pejabatnya masih sibuk mencari mufakat atas tuntutan Kompeni. Namun pada malam harinya, sejumlah bangsawan Makassar menyeberang garis depan menuju kemah pasukan VOC untuk menemui Arung Palakka, sang Raja Bone.

Andaya dalam bukunya menulis bahwa Speelman memang menyadari sikap "bersahabat tak biasa" yang ditunjukkan delegasi Makassar kepada penguasa Bone dan permaisurinya, Arung Kaju. Kehadiran Sultan Ternate serta bangsawan Buton dalam perundingan justru diabaikan sepenuhnya (hal. 102).

Baca Juga: Mengenang Perlawanan Orang Makassar Digempur Ribuan Prajurit Thailand

3. Laksamana Cornelis Speelman, pemimpin kampanye Kompeni di Sulawesi Selatan, jengah dengan proses perundingan yang terkesan lamban

Perjanjian Bongaya 18 November 1667, Siasat VOC Redam Perang Makassar Wikimedia Commons (Vaderlandse Historie 2, 1926)

Di kemah VOC, para bangsawan Makassar ini --nama mereka tak pernah disebut oleh Speelman dalam catatannya dengan alasan keamanan-- mengutarakan niat untuk menjalin persahabatan. Speelman memandang hal tersebut sebagai peluang menurunkan mental lawan dan mempercepat Sultan untuk mengabulkan tuntutan Kompeni.

Pada Selasa 15 November 1667, Gowa menunjuk Karaeng Lengkese (saudara ipar Arung Palakka) dan Karaeng Bontosunggu (saudara kandung Karaeng Karunrung) sebagai utusan dengan wewenang penuh dalam perundingan. Namun pembicaraan justru menemui kebuntuan. Kompeni cenderung tergesa-gesa, di saat pejabat Gowa berdiskusi sengit siang malam di Istana Somba Opu.

Namun di hari yang sama, kedua pihak menyepakati beberapa poin. Gowa menyerahkan Sultan Bima dan para pengikutnya. Namun sebelum diserahkan mereka malah "melarikan diri", demikian laporan kepada Speelman. Selain itu, Karaeng Bontosunggu turut mengembalikan keris dan senjata Speelman yang sempat dirampasnya. Sultan turut meyerahkan 176 keping emas dan para pembelot dari kubu Kompeni.

Baca Juga: Kisah Dua Pangeran Makassar yang Mengabdi di Kerajaan Prancis

4. Sultan Hasanuddin turut menghadiri dan menandatangani langsung naskah Perjanjian Bongaya

Perjanjian Bongaya 18 November 1667, Siasat VOC Redam Perang Makassar Lukisan wajah Pahlawan Nasional asal Sulawesi Selatan dan Sultan Gowa XVI, Sultan Hasanuddin, dalam prangko Indonesia terbitan tahun 2006. (Wikimedia Commons/WNSStamps.ch)

Hari sudah masuk Rabu 16 November 1667, dan Speelman mulai jengah dengan mandeknya perundingan. Ia memberi ultimatum jika Gowa tak kunjung berpartisipasi hingga 18 November, Kompeni bakal minggat dari Bongaya sekaligus mengakhiri proses pembicaraan. Mereka juga meminta Sultan Hasanuddin untuk hadir langsung dalam penandatanganan dokumen.

Pagi hari Jumat 18 November 1667, ketika Speelman baru keluar dari tenda tidurnya, ia sudah melihat kamp VOC dipenuhi oleh ratusan orang Makassar. Muda, tua, pria, wanita. Agaknya ini menjadi reaksi masyarakat setempat atas ketakutan dan teror bernama perang. Matahari kian tinggi, namun Sultan beserta rombongan tak kunjung tiba di tempat perundingan.

Speelman bersama Kapten Dupon langsung meninggalkan kamp VOC lalu bertolak menuju Somba Opu untuk menemui Sultan. Kedatangan sang laksamana ternyata tak disambut baik oleh petinggi istana. Dalam kebiasaan waktu itu, tak semestinya Sultan melakukan negosiasi seorang diri. Speelman coba melunak. Ia menawarkan opsi seluruh bangsawan datang mewakili Sultan, sementara Sultan hanya bertugas untuk membubuhkan cap di kertas perjanjian.

5. Dalam salah satu poin perjanjian, Benteng Ujung Pandang (kini menjadi Benteng Fort Rotterdam) diserahkan kepada VOC

Perjanjian Bongaya 18 November 1667, Siasat VOC Redam Perang Makassar Pemandangan Benteng Fort Rotterdam di Kota Makassar dalam lukisan karya Josias Cornelis Rappard antara tahun 1883 hingga1889. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

F.W. Stapel, dalam buku "Het Bongaais Verdrag" yang ditulis pada 1922, menyebut bahwa Sultan Hasanuddin resah akan ditawan oleh pihak Belanda lantaran membiarkan Sultan Bima kabur alih-alih diserahkan. Namun Speelman bersikukuh ini adalah permintaannya pribadi. Sang penguasa Makassar akhirnya mau ikut serta dalam negosiasi dengan datang pada siang hari.

Singkat cerita, negosiasi masih berjalan alot sementara butir kesepakatan ditambah menjadi 30 poin. Namun itu tak berlangsung lama. Para pemimpin saling membubuhkan tanda tangan dan bersumpah di bawah kitab suci agama Islam dan Kristen. Pihak Gowa berjanji bakal mengosongkan Benteng Ujung Pandang agar ditempati oleh Belanda esoknya.

Saat supremasi Gowa seolah baru saja dilucuti, Sultan Hasanuddin menolak menyerah. Ia masih melancarkan "keusilan" terakhir. Ketika Speelman memasuki Benteng Ujung Pandang pada Sabtu 19 November 1667, ia terkejut mendapati seluruh rumah di dalam benteng tersebut sudah dibongkar meski sudah ada kesepakatan bahwa benteng diserahkan dalam keadaan utuh.

Untuk "menenangkan" Belanda, Sultan Hasanuddin membuat dan mengirim dua rumah baru ke dalam benteng. Namanya pun diubah menjadi Fort Rotterdam, sesuai dengan tempat kelahiran Speelman.

Baca Juga: Perang Makassar: Jatuhnya Sang Ayam Jantan dari Timur (1)

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya