Mengenal Ponpes As'adiyah Sengkang, Pesantren Tertua di Sulsel

Didirikan pada tahun 1930, punya banyak alumni cemerlang

Intinya Sih...

  • Pondok Pesantren As'adiyah didirikan pada tahun 1930 oleh Al-Alimu Al-allamah As-Syekh AGH Muhammad As'ad al-Bugisi di Sengkang, Sulawesi Selatan
  • As'ad mampu menghafal 30 juz Alquran pada usia 14 tahun dan mendapat bimbingan agama langsung dari ayahnya di Makkah
  • Pondok Pesantren As'adiyah terus berkembang pesat dengan membuka berbagai jenjang pendidikan dan memiliki banyak alumni cemerlang yang menjadi imam, mubaligh, dan guru besar di perguruan tinggi Islam

Makassar, IDN Times - Berdiri pada tahun 1930 sekaligus jadi yang tertua di Sulawesi Selatan (Sulsel), Pondok Pesantren As'adiyah yang berada di Sengkang tak dikenal luas sebab melahirkan banyak ulama dan cendekiawan. Tapi, sebelum bangunan utamanya semegah sekarang, pondok pesantren tersebut berangkat dari cita-cita yang sederhana.

Seperti dilansir oleh situs resmi mereka, Pondok Pesantren As'adiyah didirikan oleh Al-Alimu Al-allamah As-Syekh AGH Muhammad As'ad al-Bugisi pada Mei 1930. Meski begitu, aktivitas pengajiannya disebut sudah dimulai dua tahun sebelumnya. Beliau sendiri lebih sering disebut secara luas sebagai Puang Aji Sade atau Gurutta Sade, yang merupakan pelafalan nama As'ad dalam dialek Bugis.

Muhammad As'ad dilahirkan di Makkah pada hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Akhir 1326 H atau 6 Mei 1908. Ayahnya adalah Syekh Abdul Rasyid, seorang ulama Bugis yang tinggal di Makkah al-Mukarromah, sementara ibunya adalah Siti Saleha binti Haji Abdul Rahman yang juga dikenal dengan gelar Guru Terru al-Bugisy.

1. Didirikan oleh AGH Muhammad As'ad atau Puang Aji Sade pada Mei 1930

Mengenal Ponpes As'adiyah Sengkang, Pesantren Tertua di SulselFoto Muhammad As'ad al-Bugisi atau Puang Aji Sade, pendiri Pondok Pesantren As'adiyah di Sengkang, pada dekade 1930-an. (Dok. Media Center PP As'adiyah)

Dalam artikel ilmiah Peran Pesantren As'adiyah Sengkang dalam Membangun Moderasi Islam di Tanah Bugis (Jurnal Al-Mishbah, 2017), As'ad kecil sudah mendapat bimbingan agama langsung dari ayah. Beliau kemudian sudah mampu menghafal 30 juz Alquran pada usia 14 tahun, lalu dipercaya menjadi memimpin salat tarawih di Masjidil Haram saat masih 17 tahun, mengimami para ulama yang lebih senior.

Selama remaja, selama menimba ilmu di Madrasah al-Falah, beliau juga kerap berguru secara halaqah (diskusi di mana peserta duduk melingkar, mangaji tudang) di Masjidil Haram bersama banyak ulama dari berbagai negara. Sebut saja Umar bin Hamdan, Sa'id al-Yamani, Hasyim Nazirin hingga Hasan al-Yamani.

Meski begitu, ia tergugah untuk kembali ke tanah leluhur pada dekade 1920-an. Saat itu, ia bertemu dengan para jemaah haji Bugis dan mendapat gambaran perkembangan keagamaan. Saat itu, masih banyak praktek yang menyimpang terutama di daerah Wajo. Informasi tersebut ternyata sangat membekas dalam benak beliau.

2. Mulai menjalani proses modernisasi pada dekade 1950-an

Mengenal Ponpes As'adiyah Sengkang, Pesantren Tertua di SulselSuasana Masjid Jami yang berada di area Pondok Pesantren As'adiyah Sengkang pada tahun 1975. (Dok. Media Center PP As'adiyah)

Muhammad As'ad datang ke Sengkang pada 1928 dan berdakwah sekaligus mengajar, dengan menerapkan sistem halaqah yang ia dapatkan di Makkah. Aktivitas pengajian dilakukan di kediaman pribadi beliau, tapi kemudian dipindahkan ke Masjid Jami seiring bertambahnya jumlah murid.

Dalam artikel ilmiah berjudul Pola Pengkaderan Ulama di Sulawesi Selatan (Studi pada Program Ma'had Aly Pondok Pesantren As'adiyah Sengkang Kabupaten Wajo) (Jurnal Al-Ulum, 2017), beliau kemudian mengubah sistem halaqah menjadi madrasah klasikal pada Mei 1930. Berdirilah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang, dibantu oleh AGH Abdurrahman Ambo Dalle yang kelak mendirikan Pondok Pesantren DDI Mangkoso di tahun 1938.

Selepas Puang Aji Sade meninggal pada 29 Desember 1952, MAI Sengkang dipimpin oleh A.G.H. Muhammad Daud Ismail. Ia mengubah nama lembaga pendidikan tersebut menjadi Madrasah As'adiyah untuk menghormati A.G.H. Muhammad As'ad. Selain itu, A.G.H. Daud Ismail mendirikan yayasan sebagai entitas pengelola pesantren.

Baca Juga: Saat Kerajaan Luwu Menerima Islam yang Dibawa Datuk Pattimang

3. Saat ini sudah memiliki 350 cabang di seluruh Indonesia dan mencetak ribuan mubaligh

Mengenal Ponpes As'adiyah Sengkang, Pesantren Tertua di SulselSuasana Haul Ke-73 Anre Gurutta Al-Alim Al-Allamah Al-Haj Muhammad As’ad Al-Bugisy di Pondok Pesantren As'adiyah Sengkang pada Oktober 2023. (Dok. Media Center PP As'adiyah)

Sejak dekade 1950-an, Pondok Pesantren As'adiyah terus mengalami peningkatan pesat. Mereka bahkan membuka jenjang aliyah pada 1955, setelah sebelumnya hanya ibtidaiyah dan tsanawiyah. Ini diikuti oleh pembukaan SMP pada tahun 1956 dan SMA pada tahun 1959. Pada tahun 1964, dilakukan pembukaan jenjang pendidikan lainnya seperti TK, SD, dan Institut Agama Islam As'adiyah.

Dengan jumlah cabang yang mencapai 350 di seluruh Indonesia, Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang bukan hanya tempat untuk mendidik santri dalam bidang keagamaan secara konvensional. Mereka juga berfokus pada pembinaan penghafal Alquran yang disiapkan untuk menjadi imam. Turut pula dilakukan pengkaderan ulama untuk menjadi mubaligh.

Para alumni lembaga yang kini dipimpn oleh Prof. Nasaruddin Umar tersebut banyak yang menjadi mubaligh dan imam masjid. Bahkan ada pula yang mendirikan pondok pesantren baru di daerah lain atau menjadi pembina pesantren. Beberapa bahkan menjadi guru besar di beberapa perguruan tinggi Islam, seperti Prof. Kamaruddin Amin dan mendiang Prof. Raffi Yunus Martang di UIN Alauddin Makassar.

Baca Juga: Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi Selatan

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya